Pada kasus COVID-19 sering terjadi pembekuan darah sebagai salah satu reaksi imun atau hasil peperangan saat antibodi melawan virus SARS-CoV-2. Pengobatan kondisi ini bisa melalui pemberian pengecer darah sesuai prosedur dari Kementerian Kesehatan.
Artinya pengobatan kasus pembekuan darah tidak bisa sembarang misalnya dengan memberi air minum banyak pada pasien seperti pendapat seseorang yang muncul di media sosial beberapa waktu lalu.
Pakar kesehatan yang mengambil spesialisasi jantung dan pembuluh darah dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI), Vito A. Damay mengatakan, pasien bisa diberikan antikoagulan yang bertugas melarutkan kembali bekuan-bekuan darah yang berbahaya akibat peradangan infeksi pada pasien COVID-19.
Baca juga: Pasien sembuh COVID-19 di Indonesia bertambah 9.520 menjadi 982.972 jiwa
Ada dua jenis antikoagulan yang biasanya diberikan pada pasien COVID-19 yakni LMWH atau Low Molecular Weight Heparin dan Unfractionated Heparin.
Pemberian antikoagulan ini pun memperhitungkan risiko terjadi pengenceran darah yang juga mengikuti pengentalan darah. Tubuh orang yang terkena COVID-19 mengalami inflamasi virus SARS-CoV-2 menyebabkan koagulopati atau gangguan pembekuan darah.
"Koagulopati adalah istilah medis untuk gangguan pembekuan darah. Proses pembekuan darah ini menjadi kacau sehingga terjadi aktivitas berlebihan. Darah menggumpal dan terjadi thrombosis (penggumpalan darah) pada pembuluh vena (pembuluh balik) yang mengalir ke jantung," tutur Vito kepada ANTARA belum lama ini.
Lebih lanjut, gumpalan darah ini akhirnya menyumbat pembuluh darah jantung yang harusnya mengalirkan darah ke paru-paru, akibatnya aliran dari jantung kanan ke paru-paru sangat berkurang atau tidak ada. Inilah alasan saturasi oksigen (kadar oksigen dalam darah) mendadak turun dan terjadi (risiko) kematian pada pasien.
Pakar hematologi dari the Johns Hopkins University School of Medicine, Roberts Brodsky dan dokter spesialis pengobatan paru di Johns Hopkins Bayview Medical Center, Panagis Galiatsatos mengungkapkan, selain paru-paru, pembekuan darah termasuk yang terkait dengan COVID-19 juga dapat membahayakan sistem saraf.
Menurut mereka, gumpalan darah di arteri yang menuju ke otak dapat menyebabkan stroke. Beberapa orang yang tadinya sehat lalu terkena COVID-19 bisa mengalami stroke, kemungkinan karena pembekuan darah yang tidak normal.
Beberapa orang dengan COVID-19 juga dapat mengembangkan gumpalan darah kecil yang menyebabkan area kemerahan atau ungu pada jari kaki. Gejalanya bisa terasa gatal atau nyeri.
Parameter untuk memeriksa adanya gumpalan darah antara lain D Dimer dan fibrinogen. Semakin banyak pembekuan darah yang terjadi maka semakin banyak juga proses melarutkan bekuan itu yang akhirnya menyebabkan semakin tinggi pula D Dimer.
"D Dimer bagian dari penyakit COVID-19 yang masih menyimpan banyak misteri, salah satunya pembekuan darah yang kacau, merangsang proses keenceran darah. Maka, pemberian pengencer darah tidak boleh sembarangan," kata Vito.
Pembekuan ini berbeda dengan istilah kekentalan darah yang sebagian orang anggap bisa diatasi dengan meminum banyak air agar darah menjadi lebih encer.
Pada kondisi darah mengental misalnya saat seseorang dehidrasi maka viskositas (kekentalan) dan osmolalitas (keseimbangan cairan dan garam tubuh)-nya meningkat dan terjadi hemokonsentrasi.
Mudahnya, disebut darah mengental dan ini berbeda dengan darah menggumpal atau adanya bekuan darah seperti pada kasus COVID-19.
Pengobatan pasien
Pasien COVID-19 yang menjalani perawatan di rumah sakit biasanya juga diinfus cairan saline NaCL 0.9 persen kecuali apabila dia mengalami kondisi lain. Komposisi cairan ini sama seperti pada tubuh sehingga mencukupi kebutuhan walaupun pasien lupa minum air.
"Sekali lagi itulah fungsinya ada cairan infus diberikan agar mencukupi kebutuhan cairan harian apalagi kalau lupa minum selama diopname," ujar Vito.
Vito menyayangkan ada pendapat di masyarakat yang menyebut pengobatan COVID-19 hanya cukup dengan banyak minum air bukannya dengan cara yang selama ini dilakukan para dokter.
Pendapat ini bersumber dari seorang pria melalui video yang beredar beberapa waktu lalu. Dia mempertanyakan alasan rumah sakit tidak mewajibkan pasien COVID-19 minum air. Sang pria lalu mengklaim penelitian menunjukkan pasien COVID-19 mengalami pengentalan darah sehingga diberi obat heparin dan aspirin. Padahal seharusnya pasien ini diberi minum air hangat.
Vito menyatakan tegas pendapat pria ini salah. Menurut dia, pengobatan standar sudah merujuk pada panduan pengobatan pasien COVID-19 yang diberikan Kementerian Kesehatan berdasarkan rekomendasi resmi para dokter termasuk spesialis paru, jantung dan pembuluh darah, penyakit dalam, spesialis anak dan anestesi.
Jadi, berdasarkan paparan yang diungkapkan pada paragraf-paragraf di atas, pembekuan darah pada kasus COVID-19 memang dapat mengakibatkan pembekuan darah vena yang fatal dan tidak bisa diobati dengan minum air yang banyak.
Di sisi lain, dia mengingatkan aktifnya pembekuan darah selain karena virus penyebab COVID-19 juga bisa diperparah kebiasaan sedenter atau tak aktif semisal rebahan.
Selain itu, waspadai kondisi obesitas. Pada mereka yang mengalami obesitas, di dalam tubuhnya terjadi peradangan kronik yang meningkatkan risiko terjadinya pembekuan darah.
"Kalau orangnya banyak rebahan, menyebabkan pembekuan darah semakin tinggi. Bahkan pada kasus bukan COVID-19, kebiasaan ini bisa menyebabkan pembekuan darah vena," tutur Vito.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021
Artinya pengobatan kasus pembekuan darah tidak bisa sembarang misalnya dengan memberi air minum banyak pada pasien seperti pendapat seseorang yang muncul di media sosial beberapa waktu lalu.
Pakar kesehatan yang mengambil spesialisasi jantung dan pembuluh darah dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI), Vito A. Damay mengatakan, pasien bisa diberikan antikoagulan yang bertugas melarutkan kembali bekuan-bekuan darah yang berbahaya akibat peradangan infeksi pada pasien COVID-19.
Baca juga: Pasien sembuh COVID-19 di Indonesia bertambah 9.520 menjadi 982.972 jiwa
Ada dua jenis antikoagulan yang biasanya diberikan pada pasien COVID-19 yakni LMWH atau Low Molecular Weight Heparin dan Unfractionated Heparin.
Pemberian antikoagulan ini pun memperhitungkan risiko terjadi pengenceran darah yang juga mengikuti pengentalan darah. Tubuh orang yang terkena COVID-19 mengalami inflamasi virus SARS-CoV-2 menyebabkan koagulopati atau gangguan pembekuan darah.
"Koagulopati adalah istilah medis untuk gangguan pembekuan darah. Proses pembekuan darah ini menjadi kacau sehingga terjadi aktivitas berlebihan. Darah menggumpal dan terjadi thrombosis (penggumpalan darah) pada pembuluh vena (pembuluh balik) yang mengalir ke jantung," tutur Vito kepada ANTARA belum lama ini.
Lebih lanjut, gumpalan darah ini akhirnya menyumbat pembuluh darah jantung yang harusnya mengalirkan darah ke paru-paru, akibatnya aliran dari jantung kanan ke paru-paru sangat berkurang atau tidak ada. Inilah alasan saturasi oksigen (kadar oksigen dalam darah) mendadak turun dan terjadi (risiko) kematian pada pasien.
Pakar hematologi dari the Johns Hopkins University School of Medicine, Roberts Brodsky dan dokter spesialis pengobatan paru di Johns Hopkins Bayview Medical Center, Panagis Galiatsatos mengungkapkan, selain paru-paru, pembekuan darah termasuk yang terkait dengan COVID-19 juga dapat membahayakan sistem saraf.
Menurut mereka, gumpalan darah di arteri yang menuju ke otak dapat menyebabkan stroke. Beberapa orang yang tadinya sehat lalu terkena COVID-19 bisa mengalami stroke, kemungkinan karena pembekuan darah yang tidak normal.
Beberapa orang dengan COVID-19 juga dapat mengembangkan gumpalan darah kecil yang menyebabkan area kemerahan atau ungu pada jari kaki. Gejalanya bisa terasa gatal atau nyeri.
Parameter untuk memeriksa adanya gumpalan darah antara lain D Dimer dan fibrinogen. Semakin banyak pembekuan darah yang terjadi maka semakin banyak juga proses melarutkan bekuan itu yang akhirnya menyebabkan semakin tinggi pula D Dimer.
"D Dimer bagian dari penyakit COVID-19 yang masih menyimpan banyak misteri, salah satunya pembekuan darah yang kacau, merangsang proses keenceran darah. Maka, pemberian pengencer darah tidak boleh sembarangan," kata Vito.
Pembekuan ini berbeda dengan istilah kekentalan darah yang sebagian orang anggap bisa diatasi dengan meminum banyak air agar darah menjadi lebih encer.
Pada kondisi darah mengental misalnya saat seseorang dehidrasi maka viskositas (kekentalan) dan osmolalitas (keseimbangan cairan dan garam tubuh)-nya meningkat dan terjadi hemokonsentrasi.
Mudahnya, disebut darah mengental dan ini berbeda dengan darah menggumpal atau adanya bekuan darah seperti pada kasus COVID-19.
Pengobatan pasien
Pasien COVID-19 yang menjalani perawatan di rumah sakit biasanya juga diinfus cairan saline NaCL 0.9 persen kecuali apabila dia mengalami kondisi lain. Komposisi cairan ini sama seperti pada tubuh sehingga mencukupi kebutuhan walaupun pasien lupa minum air.
"Sekali lagi itulah fungsinya ada cairan infus diberikan agar mencukupi kebutuhan cairan harian apalagi kalau lupa minum selama diopname," ujar Vito.
Vito menyayangkan ada pendapat di masyarakat yang menyebut pengobatan COVID-19 hanya cukup dengan banyak minum air bukannya dengan cara yang selama ini dilakukan para dokter.
Pendapat ini bersumber dari seorang pria melalui video yang beredar beberapa waktu lalu. Dia mempertanyakan alasan rumah sakit tidak mewajibkan pasien COVID-19 minum air. Sang pria lalu mengklaim penelitian menunjukkan pasien COVID-19 mengalami pengentalan darah sehingga diberi obat heparin dan aspirin. Padahal seharusnya pasien ini diberi minum air hangat.
Vito menyatakan tegas pendapat pria ini salah. Menurut dia, pengobatan standar sudah merujuk pada panduan pengobatan pasien COVID-19 yang diberikan Kementerian Kesehatan berdasarkan rekomendasi resmi para dokter termasuk spesialis paru, jantung dan pembuluh darah, penyakit dalam, spesialis anak dan anestesi.
Jadi, berdasarkan paparan yang diungkapkan pada paragraf-paragraf di atas, pembekuan darah pada kasus COVID-19 memang dapat mengakibatkan pembekuan darah vena yang fatal dan tidak bisa diobati dengan minum air yang banyak.
Di sisi lain, dia mengingatkan aktifnya pembekuan darah selain karena virus penyebab COVID-19 juga bisa diperparah kebiasaan sedenter atau tak aktif semisal rebahan.
Selain itu, waspadai kondisi obesitas. Pada mereka yang mengalami obesitas, di dalam tubuhnya terjadi peradangan kronik yang meningkatkan risiko terjadinya pembekuan darah.
"Kalau orangnya banyak rebahan, menyebabkan pembekuan darah semakin tinggi. Bahkan pada kasus bukan COVID-19, kebiasaan ini bisa menyebabkan pembekuan darah vena," tutur Vito.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021