Pandemi COVID-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia telah membuat The Great Reset pada berbagai sendi kehidupan manusia; dunia me-lock down diri (lock down world), diplomasi dilakukan dari konvensional ke digital (digital diplomacy) begitupun pelayanan birokrasi (services) yang dahulu dilakukan secara konvensional kini dilakukan secara digital.
Di sektor ekonomi COVID-19 telah menekan perekonomian global ke titik nadir. Hampir semua negara di dunia terjerembab ke jurang resesi (deep recession) dan menyebabkan ratusan juta manusia kehilangan pekerjaan mereka. Interaksi manusia dilakukan dengan tetap menjaga physical distancing dan membuat kehidupan manusia di dunia benar-benar berubah direset oleh pandemi virus.
The Great Reset sendiri merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Thierry Malleret pendiri Monthly Barometer dan Klaus Schwab, founder and executive Chairman of the World Economic Forum untuk menggambarkan betapa COVID-19 seperti telah mengubah aspek kehidupan, bahkan telah mengubah (shifting) tatanan geopolitik dunia.
Baca juga: Penambahan kasus harian baru COVID-19 di Indonesia mencapai 9.321 orang
Bagaimana tidak setelah sebelas bulan negara-negara di dunia berperang melawan pandemi COVID-19 tidak ada kepastian kapan pandemi ini berakhir sehingga menimbulkan disrupsi fundamental pada berbagai sektor kehidupan; ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan telah mengubah pola hidup masyarakat secara fundamental.
Berbagai negara di dunia berlomba-lomba untuk menciptakan vaksin Covid-19; Cina, Amerika, Inggris, Rusia termasuk Indonesia berlomba-lomba untuk menciptakan vaksin untuk mengakhiri pandemi ini.
Sinovac, Pfizer-BioNtech, Sputnik V, AstraZeneca, Novavax, Merah Putih adalah di antara nama-nama vaksin itu. Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), bekerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkmen, LIPI, UGM, ITB, UI, dan Universitas Airlangga berkomitmen untuk membuat vaksin Merah Putih.
Prinsip moral pembuatan vaksin Merah Putih sendiri adalah tentang kemandirian, lebih-lebih terkait tenaga ahli dan fasilitas penelitian kita sebagai bangsa dan negara Indonesia. Sebagaimana negara-negara maju, mereka menunjukkan rasa percaya diri dengan mengandalkan saintis dan teknologi sendiri demi untuk memproduksi vaksin yang akan diberikan kepada warga negaranya sendiri. Begitu pun seharusnya negara kita tercinta, Indonesia.
Sudah saatnya Indonesia mandiri dan bergantung pada saintis dan inovasi anak-anak bangsa sendiri. Karena kemandirian saintis linier dan erat kaitannya dengan pemulihan ekonomi nasional di satu sisi. Kebergantungan pada vaksin impor tidak cukup bijak tatkala pandemi COVID-19 sempat menghentikan roda ekonomi negara. Mengurangi kebergantungan pada impor dengan mengandalkan produk dalam negeri jauh lebih strategis.
Di sisi lain, spirit zaman kontemporer berupa antusiasme pada sains dan teknologi. Negara-negara menjadi besar, maju, dan adidaya tidak lepas dari prestasi para sainstis mereka. Bahkan, sebuah negara mampu mendominasi di tingkat global ketika pencapaian sains mereka selangkah lebih maju dari lainnya. Sampai di sini, vaksin Merah Putih menjadi supra-struktur ketahanan nasional.
Ketahanan nasional berbasis kemandirian saintis, khususnya dalam memproduksi vaksin Merah Putih ini, sepenuhnya persoalan kebijakan pemerintah. Pemerintahan kita dapat memaknai dan belajar pada negara-negara maju dalam membuat kebijakan. Pemerintahan mereka menciptakan vaksin dan didistribusikan kepada warga negaranya sendiri. Dengan cara yang sama, Indonesia dapat meniru mereka dalam hal kemandirian politik.
Kemandirian politik tersebut secara erat terkait psikologi sosial. Masyarakat kita dibutuhkan kontribusinya dalam mendukung kebijakan pemerintah dan tidak perlu cemas dengan kualitas produk dalam negeri, kapasitas ilmuwan Indonesia, dan kepastian jaminan kehalalannya.
Tanpa legitimasi sosial semacam ini, saintis kita tidak akan mendapat dukungan moril. Dampaknya, pemerintah pun tidak bisa mandiri dengan mengandalkan mereka.
Salah satu lembaga yang paling dapat diandalkan untuk menjaga dukungan moril warga negara adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Lembaga keagamaan yang satu ini memiliki segudang kapasitas intelektual tentang dalil-dalil agama, yang dibutuhkan umat terkait pengobatan darurat akibat pandemi COVID-19 termasuk pemakaian vaksin impor sebelum kita memakai vaksin Merah Putih buatan anak-anak bangsa sendiri. MUI sebagai salah satu elemen bangsa diharapkan perannya mampu menopang riset dan pembuatan vaksin Merah Putih oleh saintis kita sendiri.
Kolaborasi MUI dan komunitas saintis pengembang vaksin Merah Putih menjadi modal simbolik bagi pemerintah dalam membuat kebijakan. Pemerintah akan lebih legitimit karena mendapatkan dukungan publik yang luas termasuk dari kalangan ulama.
Dengan cara ini, potensi untuk keluar dari ketergantungan pada vaksin impor semakin kecil. Bahkan, tidak tertutup peluang, vaksin Merah Putih menjadi produk unggulan dalam negeri yang bisa diekspor ke negara-negara lain khususnya negara-negara Muslim di berbagai negara di dunia.
Modal kebangkitan ekonomi
Perdagangan global hari ini tidak sederhana. Ada tiga elemen dasar yang harus terpenuhi bersamaan; sains, politik, dan agama. Dalam kasus produksi vaksin, kualitas harus betul-betul teruji secara klinis-ilmiah sehingga bisa diterima oleh publik nasional maupun internasional. Namun, itupun tidak cukup. Misalnya, bagi negara dengan mayoritas penduduk yang beragama, standar moral agama harus terakomodir. Di sinilah, peran politik pemerintah dan agamawan sangat menentukan.
Perdagangan global hari ini juga sangat ‘anarkis’. Negara-negara maju (super power) sering kali tidak kenal ampun saat berhadapan dengan negara-negara berkembang dan tertinggal. Mereka bermodalkan prestasi sains dan produk teknologinya, kerap menekan negara-negara lain agar terus-menerus mempunyai ketergantungan. Globalisasi kadang menampilkan wajah baru kolonialisme dari pada pemakmuran masyarakat dunia.
Di tengah kepungan negara-negara maju di bidang sains-teknologi mereka, Indonesia tidak punya pilihan lain. Kemandirian politik, kemandirian saintis, dan dukungan agamawan adalah prasyarat mutlak untuk meraih kedaulatan.
Soliditas tiga elemen ini merupakan modal awal untuk kebangkitan ekonomi negara di era pandemi Covid-19 disamping tentu saja negara membutuhkan dukungan penuh masyarakat demi terciptanya; kemandirian saintis untuk kedaulatan ekonomi.
Tantangan paling besar di era globalisasi seperti sekarang adalah pesimisme dan sinisme. Ketidakpercayaan terhadap kualitas saintis dan produk teknologi dalam negeri dapat meruntuhkan apa saja. Sinisme publik bahkan menjadi pintu masuk neo-kolonialisme, berupa ketergantungan pada impor teknologi asing, dan pembuatan kebijakan politis yang tidak nasionalis, tidak pro-rakyat.
Sinisme publik terhadap kualitas saintis dan produk teknologi dalam negeri, khususnya vaksin Merah Putih, juga bisa menjadi batu sandungan bagi upaya merubah paradigma politik global kita, dari yang semula berorientasi pada impor ke orientasi ekspor.
Sementara itu impor-ekspor itu sendiri bukan lagi semata urusan perdagangan “an sich” melainkan juga bermuatan politis.
John Adam Smith dalam An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776), bapak kapitalisme, menyebutnya dilema ekspor ketika penduduk negara koloni mampu memproduksi sendiri.
Negara-negara kolonial paham betul, pada bidang-bidang tertentu, negara-negara koloni mereka mampu memproduksi barang yang berkualitas tinggi. Jika bersaing secara fair dan jujur, negara koloni tidak butuh produk negara kolonial. Karenanya, represi politik oleh kolonial terhadap koloni menjadi urgen. Satu-satunya perlawanan terhadap kolonialisme di era globalisasi, dengan demikian, adalah kebanggaan terhadap produk dalam negeri, termasuk vaksin Merah Putih nanti.
Alhasil, komitmen kuat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang PS Brodjonegoro, untuk mempercepat vaksin Merah Putih adalah komitmen berbasis nasionalisme, berwujud cinta produk dalam negeri.
Nasionalisme ini butuh kolaborasi solid seluruh elemen bangsa, mulai dari pemerintah, saintis, agamawan, hingga warga negara tanpa kecuali. Penggunaan vaksin Merah Putih tidak saja akan menjadi realisasi upaya kemandirian dan kedaulatan melainkan juga merupakan implementasi rasa nasionalisme pada bangsa tercinta Indonesia.
*) Mujahidin Nur adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Kajian Strategis dan Global, Universitas Indonesia, Anggota Komisi Infokom MUI dan Direktur The Islah Centre, Jakarta
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021