Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang diajukan Asosiasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki).
Aspataki mempersoalkan modal yang harus disetor penyalur tenaga kerja Indonesia (TKI) sebesar Rp5 miliar yang diatur dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU PPMI serta ancaman pidana dan denda dalam Pasal 82 huruf a serta Pasal 85 huruf a UU PPMI.
Dalam sidang pengucapan putusan, di Gedung MK, Jakarta, Rabu yang disiarkan secara daring, hakim konstitusi Manahan MP Sitompul menuturkan syarat modal disetor sebesar Rp5 miliar agar penyalur TKI mendapatkan surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SIP3MI) merupakan bagian dari upaya memberikan jaminan kualifikasi dan kredibilitas perusahaan penyalur sebagai pelaksana penempatan pekerja migran Indonesia.
Ia mengatakan fakta hukum menunjukkan masih terjadi kasus kelalaian perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI), baik sejak rekrutmen hingga TKI selesai bekerja sehingga modal disetor sebesar Rp5 miliar tidak terelakkan.
"Menurut Mahkamah, P3MI yang mendapatkan SIP3MI haruslah P3MI yang bukan hanya profesional dan bonafide, tetapi juga memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk menjaga dan menjamin hak-hak asasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi," kata Manahan Sitompul.
Persyaratan itu dipandang perusahaan penyalur benar-benar membuat perencanaan secara profesional yang didasarkan kepada kemampuan perusahaan dan fakta-fakta yang diperkirakan secara cermat dan rasional.
Menurut MK, syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 UU PPMI justru memberikan kepastian berusaha dan perlindungan hukum untuk P3MI, mitra P3MI, calon pekerja migran maupun pemerintah yang saling terkait dan sama-sama bertanggung jawab dalam rangka melindungi pekerja migran secara komprehensif.
"Dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU 18/2017 tidak beralasan menurut hukum," ujar Manahan Sitompul.
Pendapat berbeda
Adapun terhadap putusan Mahkamah Konstitusi itu, empat hakim konstitusi, yakni Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Aswanto, dan Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) menyangkut norma dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a UU PPMI.
Keempat hakim tersebut memandang yang dipersoalkan oleh pemohon adalah hanya perusahaan baru yang harus memenuhi syarat modal disetor sebesar Rp5 miliar, sementara perusahaan lama yang telah berbadan hukum tidak.
Untuk itu, modal disetor tidak berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perlindungan pekerja migran, melainkan merupakan bagian dari syarat untuk mendirikan suatu perseroan.
Karena itu, perseroan yang sudah didirikan dan mengantongi surat izin pelaksana penempatan TKI (SIPPTKI) swasta hanya perlu disesuaikan besaran depositonya untuk jaminan perlindungan TKI.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
Aspataki mempersoalkan modal yang harus disetor penyalur tenaga kerja Indonesia (TKI) sebesar Rp5 miliar yang diatur dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU PPMI serta ancaman pidana dan denda dalam Pasal 82 huruf a serta Pasal 85 huruf a UU PPMI.
Dalam sidang pengucapan putusan, di Gedung MK, Jakarta, Rabu yang disiarkan secara daring, hakim konstitusi Manahan MP Sitompul menuturkan syarat modal disetor sebesar Rp5 miliar agar penyalur TKI mendapatkan surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SIP3MI) merupakan bagian dari upaya memberikan jaminan kualifikasi dan kredibilitas perusahaan penyalur sebagai pelaksana penempatan pekerja migran Indonesia.
Ia mengatakan fakta hukum menunjukkan masih terjadi kasus kelalaian perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI), baik sejak rekrutmen hingga TKI selesai bekerja sehingga modal disetor sebesar Rp5 miliar tidak terelakkan.
"Menurut Mahkamah, P3MI yang mendapatkan SIP3MI haruslah P3MI yang bukan hanya profesional dan bonafide, tetapi juga memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk menjaga dan menjamin hak-hak asasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi," kata Manahan Sitompul.
Persyaratan itu dipandang perusahaan penyalur benar-benar membuat perencanaan secara profesional yang didasarkan kepada kemampuan perusahaan dan fakta-fakta yang diperkirakan secara cermat dan rasional.
Menurut MK, syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 UU PPMI justru memberikan kepastian berusaha dan perlindungan hukum untuk P3MI, mitra P3MI, calon pekerja migran maupun pemerintah yang saling terkait dan sama-sama bertanggung jawab dalam rangka melindungi pekerja migran secara komprehensif.
"Dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU 18/2017 tidak beralasan menurut hukum," ujar Manahan Sitompul.
Pendapat berbeda
Adapun terhadap putusan Mahkamah Konstitusi itu, empat hakim konstitusi, yakni Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Aswanto, dan Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) menyangkut norma dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a UU PPMI.
Keempat hakim tersebut memandang yang dipersoalkan oleh pemohon adalah hanya perusahaan baru yang harus memenuhi syarat modal disetor sebesar Rp5 miliar, sementara perusahaan lama yang telah berbadan hukum tidak.
Untuk itu, modal disetor tidak berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perlindungan pekerja migran, melainkan merupakan bagian dari syarat untuk mendirikan suatu perseroan.
Karena itu, perseroan yang sudah didirikan dan mengantongi surat izin pelaksana penempatan TKI (SIPPTKI) swasta hanya perlu disesuaikan besaran depositonya untuk jaminan perlindungan TKI.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020