Harga minyak dunia melonjak pada akhir perdagangan Selasa (Rabu pagi WIB), rebound dari kerugian sesi sebelumnya didukung data ekonomi kuat dari China yang mengimbangi tambahan pasokan.

Namun kenaikan dibatasi oleh perkiraan pemulihan yang lambat dalam permintaan minyak global saat kasus virus corona meningkat.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember berakhir 73 sen atau 1,8 persen lebih tinggi, menjadi 42,45 dolar AS per barel. Minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November bertambah 77 sen atau sekitar 2,0 persen, menjadi ditutup di 40,20 dolar AS per barel.

Pada perdagangan Senin (12/10/2020), kedua kontrak acuan minyak berjangka tersebut jatuh hampir tiga persen.

China, importir minyak mentah terbesar dunia, menerima 11,8 juta barel per hari (bph) minyak pada September, naik 5,5 persen dari Agustus dan naik 17,5 persen dari setahun sebelumnya. Tetapi masih di bawah rekor tertinggi 12,94 juta barel per hari pada Juni, data bea cukai menunjukkan.

“Harga minyak, yang mengalami pukulan cukup keras pada hari sebelumnya, mencari titik terang dan Selasa (13/10/2020) menawarkan hal itu,” kata analis pasar minyak senior Rystad Energy, Paola Rodriguez-Masiu.

“Kami menemukan bahwa catatan pertumbuhan minyak mentah China siap dihentikan ketika kilang-kilang independen hampir sepenuhnya menggunakan kuota impor yang dikeluarkan negara dan perusahaan beroperasi dengan persediaan minyak mentah yang sangat tinggi. Oleh karena itu, terlepas dari antusiasme awal, kami menemukan bahwa kenaikan harga minyak saat ini tidak tepat.”

Badan Energi Internasional (IEA) -- yang menasihati pemerintah Barat tentang kebijakan energi -- mengatakan dalam World Energy Outlook bahwa dalam skenario utamanya, vaksin dan pengobatan dapat berarti ekonomi global pulih pada 2021 dan permintaan energi pulih pada 2023.

Tetapi dalam "skenario pemulihan yang tertunda," dikatakan bahwa pemulihan permintaan energi didorong kembali ke 2025.

“Era pertumbuhan permintaan minyak global akan berakhir dalam 10 tahun ke depan, tetapi dengan tidak adanya perubahan besar dalam kebijakan pemerintah-pemerintah, saya tidak melihat tanda yang jelas sebuah puncaknya,” kata kepala IEA Fatih Birol kepada Reuters.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga memperkirakan pemulihan permintaan yang lebih lambat pada Selasa (13/10/2020).

Dalam laporan bulanan, disebutkan permintaan minyak akan naik 6,54 juta barel per hari tahun depan menjadi 96,84 juta barel per hari, 80.000 barel per hari kurang dari yang diperkirakan sebulan lalu.

Pembatasan sosial diperketat di Inggris dan Republik Ceko untuk memerangi meningkatnya kasus COVID-19. Perdana Menteri Prancis Jean Castex mengatakan dia tidak dapat mengesampingkan penguncian lokal.

Di sisi pasokan, pekerja telah kembali ke anjungan Teluk Meksiko AS setelah Badai Delta dan pekerja Norwegia kembali ke rig lepas pantai setelah mengakhiri pemogokan.

Menteri energi dari Uni Emirat Arab (UEA) mengatakan pada Selasa (13/10/2020) bahwa produsen minyak OPEC+ akan tetap pada rencana mereka untuk mengurangi pengurangan produksi minyak mulai Januari 2021.

Anggota OPEC Libya pada Minggu (11/10/2020) juga mencabut keadaan force majeure di ladang minyak Sharara.

Total produksi Libya pada Senin (12/10/2020) diperkirakan mencapai 355.000 barel per hari sementara pengembalian penuh ladang Sharara 300.000 barel per hari hampir dua kali lipatnya.

“Agar harga terus naik, kami pikir peningkatan kapasitas produksi cadangan di antara OPEC+ perlu dikurangi. Inilah mengapa kami menggambarkan pasar minyak saat ini secara artifisial, dan tidak secara struktural, ketat. Grup dapat dengan mudah bereaksi terhadap gangguan produksi yang besar dengan menggunakan kapasitas produksi cadangannya untuk meningkatkan produksi jika terjadi lonjakan harga,” kata analis UBS dalam sebuah catatan.


 

Pewarta: Apep Suhendar

Editor : Akung


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020