Butiran air mata dari isak tangis warga Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, seakan sulit mengering saat realisasi pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional Danau Toba yang diprogramkan Presiden Jokowi justru merampas tanah yang diklaim warga sebagai tanah adat warisan leluhur mereka.
"Sekarang, semuanya pembohong. Pemerintah yang dulu menjanjikan kebangkitan perekonomian kami, yakni warga sekitar, atas realisasi pembangunan The Kaldera Toba sebagai bagian dari program kawasan strategis pariwisata nasional Danau Toba oleh Presiden Jokowi, justru menyengsarakan kami," ungkap Mangatas Togi Butarbutar, saat ANTARA berupaya menemui warga Desa Sigapiton, seusai upaya pemberian biaya pembersihan rumah milik mereka oleh Badan Pelaksana Otorita Danau Toba, ditolak mentah warga, Rabu (26/8).
Baca juga: Bupati Tapsel tinjau peningkatan jalan Tapsel-Taput
Menurut Mangatas bersama puluhan warga Desa Sigapiton lainnya, kondisi kebutuhan akan air telah memaksa sebagian dari leluhurnya sekira tahun 1900-an untuk bermukim ke arah lembah yakni pantai Danau Toba, meski wilayah permukiman awal yakni Dusun Sileangleang dan sebagian besar wilayah lainnya dalam lingkup Desa Sigapiton atau areal The Kaldera Toba Resort, saat ini, masih tetap dijadikan sebagai lahan permukiman dan perladangan.
"Tak lagi hanya mata kami yang berlinang, batin kami pun menangis atas hal ini. Kami dipaksa untuk hengkang dari tanah ulayat kami, sejarah pun diobok-obok hingga wilayah Kaldera ini dipaksakan menjadi bagian dari Desa Pardamean Sibisa, tak lagi wilayah Desa Sigapiton," sebutnya.
Baca juga: Lagi, warga Pagaran Taput dinyatakan sembuh COVID-19, warga diimbau hindari stigmatisasi
Menurutnya, fakta sejarah tersebut tidak akan terbantahkan oleh siapapun atas keberadaan situs leluhur mereka di Dusun Sileangleang berupa makam para pendahulu mereka yang meninggal di tahun 1800-an.
"Mereka yang ingin mengusir kami dari tanah leluhur kami pasti akan mengungkapkan hal apapun sesuai keinginannya. Namun, sejengkalpun kami tidak akan bergeming," ujarnya.
Mereka menepis tudingan para pihak yang menyebutkan jika warga Sigapiton telah berupaya membangun unit perumahan di sekitar kawasan The Kaldera Toba setelah KSPN Danau Toba diprogramkan pemerintah pusat.
Sebab, di sekitar rumah hunian warga yang dibangun pada 2018, juga terdapat bangunan-bangunan rumah warga yang menurut mereka telah didirikan pada 1992.
"Jika ada sebutan wilayah ini menjadi bagian Desa Pardamean Sibisa, itu barangkali berdasarkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan yang diperoleh BPODT pada 2018 dan hal itu tidak diketahui warga Desa Sigapiton. Ini sengaja dikondisikan untuk menghilangkan sejarah," imbuhnya.
Senada, Apron Sirait, mantan anggota DPRD Kabupaten Tobasamosir (Kabupaten Toba, saat ini) periode 2014-2019, keberadaan wilayah dimaksud sebagai wilayah Desa Sigapiton diakui oleh setiap warga Desa Pardamean Sibisa, hingga dimulainya pembangunan The Kaldera Toba.
"Tetapi, kenapa akhir-akhir ini, wilayah ini disebut menjadi wilayah Desa Pardamean Sibisa. Kita juga jadi bingung dan heran, bagaimana semuanya bisa berubah dalam sekejap," kata mantan anggota Komisi A DPRD Tobasamosir itu.
Apron mengatakan, saat ini, warga Desa Sigapiton sedang mempertahankan tanah adatnya sesuai dengan sejarah dan alat bukti yang dimiliki.
"Masyarakat ini juga sangat mendukung pembangunan oleh badan otorita. Tetapi bagaimana pengakuan atas tanah adat mereka dan ganti untung yang layak untuk diterima warga atas bangunan dan tanah," jelasnya.
Hisar Gultom, Kepala Desa Sigapiton juga berkomentar bahwa dari sisi administrasi kependudukan, warga yang bermukim di wilayah tersebut selalu melakukan pengurusan ke Desa Sigapiton, bukan ke Desa Pardamean Sibisa.
"Kalau ada pernyataan lain yang menyebutkan ini wilayah Desa Pardamean Sibisa, itu jelas ada kejanggalan dan menutupi kesalahan untuk memuluskan tujuan mereka," ucapnya.
Demikian halnya, saat penyerahan pada 1975 pun, wilayah tersebut masih termaktub dalam kawasan Dusun Silelangleang, Desa Sigapiton.
"Jika dikatakan keberadaan rumah penduduk di sini dibangun setelah adanya BPODT, itu pembohongan publik. Rumah saya juga ada di sini yang dibangun di 2015, sebelum adanya BPODT," tegasnya.
Malanthon Sirait (75), seorang tetua Warga Desa Sigapiton juga mantan perangkat desa sejak 1972 saat Kepala Desa dijabat oleh Jahim Gultom, memaparkan wilayah Desa Sigapiton meliputi dusun-dusun di wilayah The Kaldera Toba, yakni Sileangleang, Pakpak, Sihariman, Ambolung.
Dia juga menjelaskan keberadaan batas-batas Desa Sigapiton, diantaranya ada Holbung inaina, Simanarua dan Sanggar bariba di tepi pantai.
"Bahkan masih ada teman sejawat saya bernama Japitar Nadapdap yang lahir di Dusun Ambolung, dia masih hidup," tuturnya.
Sebelumnya, Direktur Keuangan, Umum dan Komunikasi Publik Badan Pelaksana Otorita Danau Toba, Bambang Cahyo Murdoko menjelaskan histori berdirinya berdasarkan Peraturan Presiden nomor 49 tahun 2016.
"Berdasarkan itu ada peta yang diberikan kepada BPODT adalah seluas 600 hektar. Namun, setelah dilakukan penelusuran ke lapangan oleh Kementerian LHK, lahan yang bisa dimanfaatkan adalah 386 hektar dan diteruskan ke ATR yang kemudian ATR memberikan kewenangan pengelolaan lahan melalui sertifikat nomor 0102 tanggal 20 Desember 2018," jelasnya.
Dikatakan, keberadaan sejumlah rumah bangunan tidak berizin yang disebut baru dibangun setelah keberadaan BPODT menjadi kendala pembangunan yang menurutnya meski sudah diingatkan beberapa kali untuk melakukan pembersihan namun tidak diindahkan.
"Selain bangunan tadi, ada juga tanaman tegakan yang oleh pemerintah dapat diganti dengan dana kerohiman bagi 204 orang di 255 lahan sebesar Rp.25,8 miliar. Itu sudah diserahkan kepada warga, walau masih menyisakan 21 orang yang belum menerima dana santunan," terangnya.
Direktur Destinasi BPODT Ridwanullah juga menekankan bahwa wilayah Desa Sigapiton hanyalah bagian lembah di bawah The Kaldera Toba yang dihuni oleh sekitar 600 orang penduduk atau 150 KK.
Ditemui terpisah di ruang kerjanya, Sekretaris Daerah Kabupaten Toba, Audi Murphy Sitorus juga menyebutkan, bahwa The Kaldera Toba sudah berada di wilayah Desa Pardamean Sibisa.
"Lokasi itu sudah wilayah Desa Pardamean Sibisa, namun warganya adalah warga Desa Sigapiton," ujarnya.
Terkait pengakuan akan tanah ulayat warga Desa Sigapiton seiring histori keberadaan leluhur mereka di wilayah dimaksud, menurut Audi Murphy, wilayah tersebut juga telah diserahkan kepada jawatan kehutanan pada 1952.
"Betawi dulu di Jakarta itu semua. Apakah itu kita akui bahwa semua itu lahan Betawi. Sultan Deli juga di Medan, semua dulu. Kalau mereka ada di situ, maka itu milik mereka semua, nggak," ketusnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
"Sekarang, semuanya pembohong. Pemerintah yang dulu menjanjikan kebangkitan perekonomian kami, yakni warga sekitar, atas realisasi pembangunan The Kaldera Toba sebagai bagian dari program kawasan strategis pariwisata nasional Danau Toba oleh Presiden Jokowi, justru menyengsarakan kami," ungkap Mangatas Togi Butarbutar, saat ANTARA berupaya menemui warga Desa Sigapiton, seusai upaya pemberian biaya pembersihan rumah milik mereka oleh Badan Pelaksana Otorita Danau Toba, ditolak mentah warga, Rabu (26/8).
Baca juga: Bupati Tapsel tinjau peningkatan jalan Tapsel-Taput
Menurut Mangatas bersama puluhan warga Desa Sigapiton lainnya, kondisi kebutuhan akan air telah memaksa sebagian dari leluhurnya sekira tahun 1900-an untuk bermukim ke arah lembah yakni pantai Danau Toba, meski wilayah permukiman awal yakni Dusun Sileangleang dan sebagian besar wilayah lainnya dalam lingkup Desa Sigapiton atau areal The Kaldera Toba Resort, saat ini, masih tetap dijadikan sebagai lahan permukiman dan perladangan.
"Tak lagi hanya mata kami yang berlinang, batin kami pun menangis atas hal ini. Kami dipaksa untuk hengkang dari tanah ulayat kami, sejarah pun diobok-obok hingga wilayah Kaldera ini dipaksakan menjadi bagian dari Desa Pardamean Sibisa, tak lagi wilayah Desa Sigapiton," sebutnya.
Baca juga: Lagi, warga Pagaran Taput dinyatakan sembuh COVID-19, warga diimbau hindari stigmatisasi
Menurutnya, fakta sejarah tersebut tidak akan terbantahkan oleh siapapun atas keberadaan situs leluhur mereka di Dusun Sileangleang berupa makam para pendahulu mereka yang meninggal di tahun 1800-an.
"Mereka yang ingin mengusir kami dari tanah leluhur kami pasti akan mengungkapkan hal apapun sesuai keinginannya. Namun, sejengkalpun kami tidak akan bergeming," ujarnya.
Mereka menepis tudingan para pihak yang menyebutkan jika warga Sigapiton telah berupaya membangun unit perumahan di sekitar kawasan The Kaldera Toba setelah KSPN Danau Toba diprogramkan pemerintah pusat.
Sebab, di sekitar rumah hunian warga yang dibangun pada 2018, juga terdapat bangunan-bangunan rumah warga yang menurut mereka telah didirikan pada 1992.
"Jika ada sebutan wilayah ini menjadi bagian Desa Pardamean Sibisa, itu barangkali berdasarkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan yang diperoleh BPODT pada 2018 dan hal itu tidak diketahui warga Desa Sigapiton. Ini sengaja dikondisikan untuk menghilangkan sejarah," imbuhnya.
Senada, Apron Sirait, mantan anggota DPRD Kabupaten Tobasamosir (Kabupaten Toba, saat ini) periode 2014-2019, keberadaan wilayah dimaksud sebagai wilayah Desa Sigapiton diakui oleh setiap warga Desa Pardamean Sibisa, hingga dimulainya pembangunan The Kaldera Toba.
"Tetapi, kenapa akhir-akhir ini, wilayah ini disebut menjadi wilayah Desa Pardamean Sibisa. Kita juga jadi bingung dan heran, bagaimana semuanya bisa berubah dalam sekejap," kata mantan anggota Komisi A DPRD Tobasamosir itu.
Apron mengatakan, saat ini, warga Desa Sigapiton sedang mempertahankan tanah adatnya sesuai dengan sejarah dan alat bukti yang dimiliki.
"Masyarakat ini juga sangat mendukung pembangunan oleh badan otorita. Tetapi bagaimana pengakuan atas tanah adat mereka dan ganti untung yang layak untuk diterima warga atas bangunan dan tanah," jelasnya.
Hisar Gultom, Kepala Desa Sigapiton juga berkomentar bahwa dari sisi administrasi kependudukan, warga yang bermukim di wilayah tersebut selalu melakukan pengurusan ke Desa Sigapiton, bukan ke Desa Pardamean Sibisa.
"Kalau ada pernyataan lain yang menyebutkan ini wilayah Desa Pardamean Sibisa, itu jelas ada kejanggalan dan menutupi kesalahan untuk memuluskan tujuan mereka," ucapnya.
Demikian halnya, saat penyerahan pada 1975 pun, wilayah tersebut masih termaktub dalam kawasan Dusun Silelangleang, Desa Sigapiton.
"Jika dikatakan keberadaan rumah penduduk di sini dibangun setelah adanya BPODT, itu pembohongan publik. Rumah saya juga ada di sini yang dibangun di 2015, sebelum adanya BPODT," tegasnya.
Malanthon Sirait (75), seorang tetua Warga Desa Sigapiton juga mantan perangkat desa sejak 1972 saat Kepala Desa dijabat oleh Jahim Gultom, memaparkan wilayah Desa Sigapiton meliputi dusun-dusun di wilayah The Kaldera Toba, yakni Sileangleang, Pakpak, Sihariman, Ambolung.
Dia juga menjelaskan keberadaan batas-batas Desa Sigapiton, diantaranya ada Holbung inaina, Simanarua dan Sanggar bariba di tepi pantai.
"Bahkan masih ada teman sejawat saya bernama Japitar Nadapdap yang lahir di Dusun Ambolung, dia masih hidup," tuturnya.
Sebelumnya, Direktur Keuangan, Umum dan Komunikasi Publik Badan Pelaksana Otorita Danau Toba, Bambang Cahyo Murdoko menjelaskan histori berdirinya berdasarkan Peraturan Presiden nomor 49 tahun 2016.
"Berdasarkan itu ada peta yang diberikan kepada BPODT adalah seluas 600 hektar. Namun, setelah dilakukan penelusuran ke lapangan oleh Kementerian LHK, lahan yang bisa dimanfaatkan adalah 386 hektar dan diteruskan ke ATR yang kemudian ATR memberikan kewenangan pengelolaan lahan melalui sertifikat nomor 0102 tanggal 20 Desember 2018," jelasnya.
Dikatakan, keberadaan sejumlah rumah bangunan tidak berizin yang disebut baru dibangun setelah keberadaan BPODT menjadi kendala pembangunan yang menurutnya meski sudah diingatkan beberapa kali untuk melakukan pembersihan namun tidak diindahkan.
"Selain bangunan tadi, ada juga tanaman tegakan yang oleh pemerintah dapat diganti dengan dana kerohiman bagi 204 orang di 255 lahan sebesar Rp.25,8 miliar. Itu sudah diserahkan kepada warga, walau masih menyisakan 21 orang yang belum menerima dana santunan," terangnya.
Direktur Destinasi BPODT Ridwanullah juga menekankan bahwa wilayah Desa Sigapiton hanyalah bagian lembah di bawah The Kaldera Toba yang dihuni oleh sekitar 600 orang penduduk atau 150 KK.
Ditemui terpisah di ruang kerjanya, Sekretaris Daerah Kabupaten Toba, Audi Murphy Sitorus juga menyebutkan, bahwa The Kaldera Toba sudah berada di wilayah Desa Pardamean Sibisa.
"Lokasi itu sudah wilayah Desa Pardamean Sibisa, namun warganya adalah warga Desa Sigapiton," ujarnya.
Terkait pengakuan akan tanah ulayat warga Desa Sigapiton seiring histori keberadaan leluhur mereka di wilayah dimaksud, menurut Audi Murphy, wilayah tersebut juga telah diserahkan kepada jawatan kehutanan pada 1952.
"Betawi dulu di Jakarta itu semua. Apakah itu kita akui bahwa semua itu lahan Betawi. Sultan Deli juga di Medan, semua dulu. Kalau mereka ada di situ, maka itu milik mereka semua, nggak," ketusnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020