Dampak ekonomi Pandemi COVID-19 terasa betul di Kabupaten Mandailing Natal. Jadi bukan hanya di perkotaan sebagaimana dugaan sebagian orang.

Itu gara-gara masyarakat tidak boleh melakukan keramaian, tidak boleh pesta, dan berbagai pembatasan lainnya.

"Bayangkan saja, harga cabai pernah hanya empat ribu rupiah, harga sayur hanya Rp. 500 dan lain-lain," ujar budayawan Mandailing Natal, Askolani Nasution kepada ANTARA, Kamis (02/07).

Baca juga: Pascakerusuhan Mompang Julu, tiga orang diamankan polisi

Baca juga: Warga Mompang Julu kembali blokir Jalinsum

Akibat dampak COVID-19 tersebut, Askolani menyebut rumah makan saja nyaris tutup karena sekolah juga libur.

Konsumen rumah makan terbesar di Mandailing Natal itu guru dan pegawai kantoran, karena mereka jumlah terbesar pekerja sektor jasa yang memiliki kemampuan untuk makan di rumah makan.

"Itu yang nyaris tidak ada. Bayangkan saja, satu rumah makan yang biasa melayani ratusan pelanggan per hari, tiba-tiba hanya rata-rata 10 orang," ujarnya.

Begitu juga dengan kegiatan pesta juga tidak ada. Padahal, itu yang paling banyak menyerap kebutuhan cabe misalnya. Untuk konsumsi rumah tangga sangat kecil. 

Dia mencontokan di kampungnya biasanya ada setengah ton per hari produksi cabe, ribuan kilo sayuran.

Padahal jumlah KK hanya 200. Tidak ada pembeli luar karena pasar juga mati suri. Lebih mahal upah buruh pemetik cabe dan sayuran daripada harga jualnya.

"Jadi ladang palawija dibiarkan, cabe dibiarkan membusuk, kacang panjang dibiarkan mati sendiri. Itu persoalan yang sangat serius bagi hidup petani di pedesaan. Tragisnya lebih dari 80 persen penduduk Mandailing Natal tinggal di pedesaan. Mereka yang mengalami dampak terburuk dari Pandemi COVID-19," sebut budayawan Mandailing Natal itu.

Karena itu dia menyebut begitu mendengar adanya BLT, masyarakat amat berharap bahwa bantuan itu akan dapat menolong kesulitan mereka. Ternyata bantuan itu justru membuat masalah baru yang menyebabkan kecemburuan dan keputusasaan sosial.

Itu gara-gara Pemerintah Desa tidak terbuka dalam menentukan daftar penerima BLT. Bayangkan saja, tidak ada publikasi sama sekali.

Warga mencoba bertanya ke kantor pos, data tidak diberikan. Sementara di lopo kopi dan pasar pagi, berseliweran cerita bahwa beberapa orang yang jauh lebih kaya untuk ukuran desa disebut-sebut menerima BLT.

Lalu dihubungkan lagi dengan hubungan pertemanan dan kekeluargaan dengan pemerintah desa. Masyarakat yang sudah bertahun-tahun memendam kekecewan dengan pengelolaan dana desa yang tidak transparan, dugaan penyelewengan dana dan sebagainya.

Akhirnya, begitu ada yang mengajak ribut, langsung disambuti. Dengan beringas. Karena itu semua ekspresi dari keputusasaan sosial atas memburuknya ekonomi.

Apalagi negara terkesan tidak kreatif untuk mengelola distorsi sosial yang ada. Seolah-olah hanya kalau anarkis baru negara turun tangan. Itu pembelajaran yang buruk, tapi tidak ada cara lain yang lebih efektif. Makanya memblokir jalan dan anarkis.

Pewarta: Holik

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020