Majelis hakim menolak permohonan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi untuk menjadi "justice collaborator", sehingga menjatuhkan vonis 7 tahun penjara ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp18,154 miliar.
"Menolak permohonan 'justice collaborator' yang diajukan oleh terdakwa," kata ketua majelis hakim Rosmina, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Imam dalam nota pembelaannya (pleidoi) mengatakan mengajukan diri sebagai pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) untuk membongkar aliran dana Rp11,5 miliar yang menurutnya tidak ia nikmati.
Baca juga: Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara
Baca juga: Taufik Hidayat akui jadi kurir penerima uang untuk Imam Nahrawi
Dalam perkara ini, Imam divonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan, karena terbukti menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,348 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
"Mempertimbangkan permohonan 'justice collaborator' (JC) yang diajukan melalui surat 19 Juni 2020 dengan alasan ingin mengungkap aliran hibah Rp11,5 miliar berdasarkan SEMA 04 Tahun 2011 syarat untuk menjadi JC adalah bukan pelaku utama, sehingga tidak cukup syarat untuk menjadi JC terhadap terdakwa," kata anggota majelis hakim Muslim.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim juga menilai sejumlah hal memberatkan untuk Imam.
"Keadaan memberatkan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi, terdakwa adalah pimpinan tertinggi kementerian yang seharusnya jadi panutan, terdakwa tidak mengakui perbuatan. Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan, terdakwa adalah kepala keluarga, terdakwa punya tanggung jawab anak-anak yang masih kecil dan belum pernah dihukum," ujar hakim Rosmina.
Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara sejumlah Rp18.154.203.882 dan bila tidak mampu membayar dipidana penjara selama 2 tahun.
Dalam dakwaan pertama, Imam Nahrawi bersama bekas asisten pribadinya Miftahul Ulum dinilai terbukti menerima uang seluruhnya berjumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy.
Tujuan pemberian suap itu adalah untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan Bantuan Dana Hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora tahun kegiatan 2018.
Pada proposal pertama, KONI mengajukan proposal pengawasan dan pendampingan sejumlah Rp51,592 miliar. Kedua, terkait proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018 dengan usulan dana Rp16,462 miliar dan diubah lagi menjadi Rp27,5 miliar.
"Hubungan kedekatan Miftahul Ulum dan terdakwa Imam Nahrawi dan disposisi terdakwa menimbulkan keyakinan majelis bahwa uang dari KONI tersebut sudah diterima terdakwa," kata anggota majelis Saifuddin Zuhri.
Selanjutnya dalam dakwaan kedua, Imam Nahrawi bersama-sama Ulum didakwa menerima gratifikasi senilai total Rp8,35 miliar yang berasal dari sejumlah pihak.
Pertama, penerimaan Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy. Uang itu diminta Ulum kepada Sekretaris Menpora pada 2015, Alfitra Salamm untuk membiayai kegiatan Muktamar NU di Jombang. Uang Rp300 juta diberikan pada 6 Agustus 2015 di satu rumah di Jombang oleh Alfitra Salamm kepada Ulum di hadapan Imam.
Kedua, gratifikasi sebesar Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015-2016 Lina Nur Hasanah. Uang digunakan antara lain untuk membayar tagihan kartu kredit Imam, perjalanan ke Melbourne, pembayaran tiket masuk F1 rombongan Kemenpora pada 19-20 Maret 2016, membayar acara buka puasa, membayar tagihan pakaian Imam, hingga membayar tagihan kartu kredit Ulum.
Ketiga, penerimaan gratifikasi sejumlah Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah untuk merenovasi rumah pribadi Imam di Cipayung, Jakarta Timur, desain interior Hatice Boutique and Cafe di Kemang, desain asrama untuk santri, pendopo dan lapangan bulu tangkis di tanah seluas 3.022 meter persegi di Cipedak, Jagakarsa.
Keempat, gratifikasi sejumlah Rp1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima 2016-2017. Uang diserahkan pada Agustus 2018 melalui bantuan pebulutangkis Taufik Hidayat di rumah Taufik di Jalan Wijaya Kebayoran baru.
Kelima, gratifikasi sebesar Rp400 juta dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode tahun 2017-2018 Supriyono sebagai uang honor untuk kegiatan Satlak Prima.
Atas putusan tersebut, Imam Nahrawi menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Terkait perkara ini, Miftahul Ulum selaku mantan asisten pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan pada 15 Juni 2020 lalu.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
"Menolak permohonan 'justice collaborator' yang diajukan oleh terdakwa," kata ketua majelis hakim Rosmina, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Imam dalam nota pembelaannya (pleidoi) mengatakan mengajukan diri sebagai pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) untuk membongkar aliran dana Rp11,5 miliar yang menurutnya tidak ia nikmati.
Baca juga: Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara
Baca juga: Taufik Hidayat akui jadi kurir penerima uang untuk Imam Nahrawi
Dalam perkara ini, Imam divonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan, karena terbukti menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,348 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
"Mempertimbangkan permohonan 'justice collaborator' (JC) yang diajukan melalui surat 19 Juni 2020 dengan alasan ingin mengungkap aliran hibah Rp11,5 miliar berdasarkan SEMA 04 Tahun 2011 syarat untuk menjadi JC adalah bukan pelaku utama, sehingga tidak cukup syarat untuk menjadi JC terhadap terdakwa," kata anggota majelis hakim Muslim.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim juga menilai sejumlah hal memberatkan untuk Imam.
"Keadaan memberatkan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi, terdakwa adalah pimpinan tertinggi kementerian yang seharusnya jadi panutan, terdakwa tidak mengakui perbuatan. Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan, terdakwa adalah kepala keluarga, terdakwa punya tanggung jawab anak-anak yang masih kecil dan belum pernah dihukum," ujar hakim Rosmina.
Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara sejumlah Rp18.154.203.882 dan bila tidak mampu membayar dipidana penjara selama 2 tahun.
Dalam dakwaan pertama, Imam Nahrawi bersama bekas asisten pribadinya Miftahul Ulum dinilai terbukti menerima uang seluruhnya berjumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy.
Tujuan pemberian suap itu adalah untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan Bantuan Dana Hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora tahun kegiatan 2018.
Pada proposal pertama, KONI mengajukan proposal pengawasan dan pendampingan sejumlah Rp51,592 miliar. Kedua, terkait proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018 dengan usulan dana Rp16,462 miliar dan diubah lagi menjadi Rp27,5 miliar.
"Hubungan kedekatan Miftahul Ulum dan terdakwa Imam Nahrawi dan disposisi terdakwa menimbulkan keyakinan majelis bahwa uang dari KONI tersebut sudah diterima terdakwa," kata anggota majelis Saifuddin Zuhri.
Selanjutnya dalam dakwaan kedua, Imam Nahrawi bersama-sama Ulum didakwa menerima gratifikasi senilai total Rp8,35 miliar yang berasal dari sejumlah pihak.
Pertama, penerimaan Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy. Uang itu diminta Ulum kepada Sekretaris Menpora pada 2015, Alfitra Salamm untuk membiayai kegiatan Muktamar NU di Jombang. Uang Rp300 juta diberikan pada 6 Agustus 2015 di satu rumah di Jombang oleh Alfitra Salamm kepada Ulum di hadapan Imam.
Kedua, gratifikasi sebesar Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015-2016 Lina Nur Hasanah. Uang digunakan antara lain untuk membayar tagihan kartu kredit Imam, perjalanan ke Melbourne, pembayaran tiket masuk F1 rombongan Kemenpora pada 19-20 Maret 2016, membayar acara buka puasa, membayar tagihan pakaian Imam, hingga membayar tagihan kartu kredit Ulum.
Ketiga, penerimaan gratifikasi sejumlah Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah untuk merenovasi rumah pribadi Imam di Cipayung, Jakarta Timur, desain interior Hatice Boutique and Cafe di Kemang, desain asrama untuk santri, pendopo dan lapangan bulu tangkis di tanah seluas 3.022 meter persegi di Cipedak, Jagakarsa.
Keempat, gratifikasi sejumlah Rp1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima 2016-2017. Uang diserahkan pada Agustus 2018 melalui bantuan pebulutangkis Taufik Hidayat di rumah Taufik di Jalan Wijaya Kebayoran baru.
Kelima, gratifikasi sebesar Rp400 juta dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode tahun 2017-2018 Supriyono sebagai uang honor untuk kegiatan Satlak Prima.
Atas putusan tersebut, Imam Nahrawi menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Terkait perkara ini, Miftahul Ulum selaku mantan asisten pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan pada 15 Juni 2020 lalu.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020