Meski pandemi masih terus merajalela di berbagai kawasan di dunia, tetapi sejumlah negara di wilayah Asia telah menunjukkan pemulihan yang diindikasikan dari semakin sedikitnya jumlah kasus baru yang ditemukan di negara tersebut.
Dengan memulihnya sejumlah negara dari wabah virus corona seperti yang terjadi di Republik Rakyat China dan Vietnam, maka hal tersebut juga dapat menjadi peluang untuk meningkatkan laju ekspor, terutama untuk sektor kelautan dan perikanan nasional.
Untuk itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengajak berbagai pemangku kepentingan untuk terus mengoptimalkan produksi budidaya laut yang kerap menjadi komoditas ekspor seperti kakap putih, bawal bintang, dan udang vaname, serta rumput laut, pada masa pandemi ini.
Menurut Edhy Prabowo, meski dalam suasana pandemi COVID-19, proses produksi tetap harus produktif yakni dengan menerapkan protokol kesehatan yang baik.
Dalam kunjungannya ke Kepulauan Seribu pada 19 Mei, Menteri Edy juga telah melakukan panen beberapa komoditas unggulan yakni kakap putih, bawal bintang sirip pendek, dan udang vaname milik perusahaan PT. Lucky Samudera, dan juga panen rumput laut milik masyarakat di sekitar Pulau Karya.
Kegiatan panen di PT. Lucky Samudera tersebut menghasilkan sebanyak 3 ton untuk komoditas bawal bintang, 1 ton untuk komoditas kakap putih dan 1 ton untuk komoditas udang vaname. Kegiatan panen dilakukan dengan intensitas 4 kali dalam satu minggu.
Menteri Kelautan dan Perikanan menilai kegiatan panen komoditas unggulan marikultur ini, mengindikasikan mulai adanya proses pemulihan kondisi ekonomi secara global. Hal itu, terutama berkaitan dengan terbukanya permintaan pasar khususnya untuk komoditas ekspor perikanan.
Menteri Edhy juga meyakini bahwa industri pangan, terutama ikan tidak akan lesu, bahkan FAO mengatakan bahwa sektor industri secara keseluruhan memang turun 25 persen, tapi industri makanan justru diprediksi naik 25 persen.
Hal ini karena orang lebih suka masak dan sering makan selama menjalankan pola WFH (kerja dari rumah). "Oleh karenanya ini sebenarnya potensi besar, hanya pola hidup saja yang berubah, jadi tidak usah khawatir bahwa yang diproduksi tidak akan laku," ucap Edhy.
Terus melaju
Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto menyatakan kegiatan ekspor rumput laut menandakan bahwa aktivitas bisnis sektor kelautan di Tanah Air terus melaju di tengah pandemi COVID-19.
Slamet mengutarakan hal tersebut terkait dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang melepas ekspor rumput luat jenis spinosum di Serang, Banten, 25 April 2020.
Ia mengutarakan harapannya agar aktivitas ekspor rumput laut akan turut menyumbang devisa di tengah dampak ekonomi akibat COVID-19 yang mempengaruhi kinerja ekonomi nasional.
Tidak hanya rumput laut, ujar dia, komoditas lainnya seperti kerapu dan udang juga memberikan kepastian bahwa ekspor produk perikanan tetap berjalan dan prospektif di tengah pandemi.
Slamet mengajak pula masyarakat pembudidaya untuk melakukan budidaya rumput laut dengan cara yang benar sesuai dengan SOP yang ada sehingga akan dihasilkan produk rumput laut dengan kandungan agar atau karagenan atau alginate yang bagus.
"Kita tahu sebelumnya market rumput laut kita didominasi ke China dan Filipina. Terbukanya ekspor ke Vietnam, ini akan menaikkan nilai ekonomi jenis Spinosum yang sangat potensial di Indonesia. Artinya akan lebih banyak masyarakat yang terlibat dalam usaha budidaya rumput laut ini," ujarnya.
Sebagai informasi bahwa Indonesia diuntungkan sebagai negara dengan potensi sumber daya rumput laut yang besar. Sebagai bagian dari segi karang dunia, Indonesia memiliki setidaknya 550 jenis varian rumput laut bernilai ekonomis tinggi.
Sebelumnya pada 2019, tercatat nilai ekspor rumput laut Indonesia mencapai 324,84 juta dolar AS atau tumbuh 11,31 persen dibanding tahun 2018 yang mencapai 291,83 juta dolar. Sementara KKP menargetkan tahun 2020 produksi rumput laut mencapai 10,99 juta ton dan diproyeksikan mencapai 12,33 juta ton pada tahun 2024.
Pemerintah telah membentuk Pokja untuk melakukan percepatan industrialisasi nasional, dan KKP juga telah menyusun peta jalan percepatan produksi rumput laut nasional.
Selain itu, ujar dia, telah menyalurkan bantuan sebanyak 53,1 juta ekor benih ke berbagai daerah selama periode Maret hingga April 2020, yang merupakan masa pandemi COVID-19 mulai merebak di Indonesia.
Slamet memaparkan, bantuan benih sebanyak 52,1 juta ekor benih ikan/undang itu telah disebarkan di 67 kabupaten/kota dan diterima oleh sekitar 1.060 pembudidaya yang tergabung dalam 106 kelompok pembudidaya ikan skala kecil.
Bantuan benih tersebut terdiri dari 6,5 juta ekor untuk benih ikan air tawar; sebanyak 44,7 juta ekor benih ikan air payau dan 1,9 juta ekor benih ikan air laut.
"Stimulus jangka pendek ini kami pastikan terus didorong di berbagai daerah melalui 15 UPT yang tersebar di Indonesia. KKP ingin pastikan bahwa produksi harus tetap berjalan. Tiap hari distribusi bantuan benih ini terus berjalan dan menyasar pembudidaya ikan terdampak," ujarnya.
KKP juga telah mengapresiasi kepada sejumlah perusahana pakan nasional yang membatalkan kenaikan harga pakan sebagai bentuk kepekaan mereka terhadap kondisi ekonomi para pembudidaya.
Tidak hanya dalam bidang perikanan budidaya, KKP juga menilai bahwa industri perikanan tangkap masih memiliki momentum yang besar untuk memberikan kesejahteraan nelayan dan perekonomian nasional di tengah pandemi.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, M. Zulficar Mochtar memaparkan, produksi perikanan tangkap nasional sekitar 8 juta ton per tahun, masih lebih rendah dari potensi yang perlu dicapai, yakni sebesar 12,5 juta ton per tahun.
"Artinya ada gap yang belum kita manfaatkan dari delapan juta ton. Artinya momentum perikanan tangkap kita sangat luar biasa juga untuk perekonomian," ucapnya.
Maka itu, ia mengatakan, harus ada tata kelola yang ketat untuk kapal asing maupun investasi asing di sektor kelautan dan perikanan agar keberlangsungan ekonomi di sektor itu tetap terjaga.
Investasi-perdagangan global
Zulficar Mochtar juga mengakui untuk memanfaatkan momentum industri perikanan tangkap, Indonesia membutuhkan investasi yang besar.
Senada, Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengatakan, Indonesia perlu memanfaatkan momentum perubahan yang terjadi pada Rantai Nilai Global atau Global Value Chains (GVC) yang selama ini terpusat di China.
Guna memaksimalkan peluang masuknya Penanaman Modal Asing (PMA) ke Indonesia, ada beberapa hal yang CIPS rekomendasikan ke pemerintah, antara lain perlunya memperpanjang waktu untuk peraturan pelaksanaan RUU Cipta Kerja.
Presiden dan DPR harus mempertimbangkan mengubah tenggat waktu satu bulan untuk penyesuaian dan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Peraturan Presiden (Perpres) yang baru. Presiden dan DPR harus memastikan PP dan Perpres didukung dengan Naskah Akademik yang ekstensif dan konsultasi publik yang intensif.
"Setidaknya dibutuhkan waktu hingga 6 bulan atau atur tenggat waktu berjalan selama 3 bulan untuk pembahasan setiap klaster. Prioritas harus diberikan kepada klaster yang penting bagi pemulihan ekonomi, seperti pertanian dan manufaktur," ucapnya.
Peneliti CIPS lainnya, Felippa Ann Amanta mengatakan, di tengah pandemi, negara-negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia, perlu berkomitmen serius untuk meninggalkan kebijakan proteksionisme dan memastikan perdagangan antar negara bisa tetap berjalan.
Hal itu sangat penting untuk memastikan ketersediaan barang-barang penting, seperti komoditas pangan, obat-obatan serta peralatan medis. Kebijakan proteksionisme mengganggu kelancaran rantai pasok dan menghambat ketersediaan pasokan di pasar yang akan berujung pada kelangkaan.
"Salah satu yang bisa dilakukan untuk meninggalkan kebijakan proteksionisme dan memastikan perdagangan tetap berjalan adalah dengan mengeliminir hambatan perdagangan, baik hambatan tarif maupun hambatan nontarif," ucapnya.
Mengenai perdagangan global, KKP juga memastikan terus menjaga mutu dan keamanan termasuk komoditas kelautan dan perikanan, mengingat ekspor perikanan masih meningkat di tengah pandemi COVID-19.
"Pemerintah selalu hadir untuk menjaga mutu dan keamanan hasil perikanan, layanan penerbitan SKP (sertifikat kelayakan pengolahan) kita juga tetap optimal, sampai tanggal 12 Mei 2020 ini sudah terbit 1.011 SKP," kata Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Nilanto Perbowo.
KKP juga telah menggelar pembekalan SNI 1:2011 yang berisi tentang prinsip umum higienis pangan dan analisa risiko COVID-19 pada penanganan dan pengolahan ikan. Pembekalan ini juga menjadi salah satu bentuk kehadiran pemerintah dalam menjaga eksistensi berjalannya bisnis produksi oleh para pelaku usaha pengolahan ikan, terutama dalam menjaga mutu dan keamanan hasil perikanan. Terlebih di tengah pandemi, ekspor hasil perikanan cenderung meningkat.
Analisa risiko
Sementara itu, Direktur lembaga riset kelautan dan perikanan, The Spring Institute Sunarya mengingatkan tentang analisa risiko pada penanganan dan pengolahan ikan.
Ia memaparkan sejumlah langkah yang harus dilakukan untuk evaluasi risiko dalam unit pengolahan ikan antara lain memonitor sumber dan asal bahan baku, perlunya jaga jarak selama bekerja, pemeriksaan rutin kesehatan personal setiap hari, inspeksi kesehatan siapapun yang mau masuk pabrik, pengelompokan karyawan, serta menyediakan alat sanitasi di areal kritis.
Selain itu, pelaku usaha perikanan juga perlu melakukan sosialisasi wajib lapor bagi karyawan yang kurang sehat, penyediaan APD yang baik dan memadai, dan cuci tangan secara regular.
Pengamat sektor perikanan yang juga Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, menyatakan keinginan mendorong ekspor perikanan di tengah pandemi, harus mempertimbangkan kebutuhan domestik.
Selain itu dia menegaskan bahwa produk yang diekspor seharusnya bukan berbentuk benih, melainkan ikan berukuran dewasa yang dianggap sudah mencukupi untuk kebutuhan nasional.
Dia mengingatkan pula peningkatan ekspor perikanan harus dinikmati manfaatnya terutama oleh produsen perikanan skala kecil seperti nelayan tradisional di Tanah Air.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
Dengan memulihnya sejumlah negara dari wabah virus corona seperti yang terjadi di Republik Rakyat China dan Vietnam, maka hal tersebut juga dapat menjadi peluang untuk meningkatkan laju ekspor, terutama untuk sektor kelautan dan perikanan nasional.
Untuk itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengajak berbagai pemangku kepentingan untuk terus mengoptimalkan produksi budidaya laut yang kerap menjadi komoditas ekspor seperti kakap putih, bawal bintang, dan udang vaname, serta rumput laut, pada masa pandemi ini.
Menurut Edhy Prabowo, meski dalam suasana pandemi COVID-19, proses produksi tetap harus produktif yakni dengan menerapkan protokol kesehatan yang baik.
Dalam kunjungannya ke Kepulauan Seribu pada 19 Mei, Menteri Edy juga telah melakukan panen beberapa komoditas unggulan yakni kakap putih, bawal bintang sirip pendek, dan udang vaname milik perusahaan PT. Lucky Samudera, dan juga panen rumput laut milik masyarakat di sekitar Pulau Karya.
Kegiatan panen di PT. Lucky Samudera tersebut menghasilkan sebanyak 3 ton untuk komoditas bawal bintang, 1 ton untuk komoditas kakap putih dan 1 ton untuk komoditas udang vaname. Kegiatan panen dilakukan dengan intensitas 4 kali dalam satu minggu.
Menteri Kelautan dan Perikanan menilai kegiatan panen komoditas unggulan marikultur ini, mengindikasikan mulai adanya proses pemulihan kondisi ekonomi secara global. Hal itu, terutama berkaitan dengan terbukanya permintaan pasar khususnya untuk komoditas ekspor perikanan.
Menteri Edhy juga meyakini bahwa industri pangan, terutama ikan tidak akan lesu, bahkan FAO mengatakan bahwa sektor industri secara keseluruhan memang turun 25 persen, tapi industri makanan justru diprediksi naik 25 persen.
Hal ini karena orang lebih suka masak dan sering makan selama menjalankan pola WFH (kerja dari rumah). "Oleh karenanya ini sebenarnya potensi besar, hanya pola hidup saja yang berubah, jadi tidak usah khawatir bahwa yang diproduksi tidak akan laku," ucap Edhy.
Terus melaju
Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto menyatakan kegiatan ekspor rumput laut menandakan bahwa aktivitas bisnis sektor kelautan di Tanah Air terus melaju di tengah pandemi COVID-19.
Slamet mengutarakan hal tersebut terkait dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang melepas ekspor rumput luat jenis spinosum di Serang, Banten, 25 April 2020.
Ia mengutarakan harapannya agar aktivitas ekspor rumput laut akan turut menyumbang devisa di tengah dampak ekonomi akibat COVID-19 yang mempengaruhi kinerja ekonomi nasional.
Tidak hanya rumput laut, ujar dia, komoditas lainnya seperti kerapu dan udang juga memberikan kepastian bahwa ekspor produk perikanan tetap berjalan dan prospektif di tengah pandemi.
Slamet mengajak pula masyarakat pembudidaya untuk melakukan budidaya rumput laut dengan cara yang benar sesuai dengan SOP yang ada sehingga akan dihasilkan produk rumput laut dengan kandungan agar atau karagenan atau alginate yang bagus.
"Kita tahu sebelumnya market rumput laut kita didominasi ke China dan Filipina. Terbukanya ekspor ke Vietnam, ini akan menaikkan nilai ekonomi jenis Spinosum yang sangat potensial di Indonesia. Artinya akan lebih banyak masyarakat yang terlibat dalam usaha budidaya rumput laut ini," ujarnya.
Sebagai informasi bahwa Indonesia diuntungkan sebagai negara dengan potensi sumber daya rumput laut yang besar. Sebagai bagian dari segi karang dunia, Indonesia memiliki setidaknya 550 jenis varian rumput laut bernilai ekonomis tinggi.
Sebelumnya pada 2019, tercatat nilai ekspor rumput laut Indonesia mencapai 324,84 juta dolar AS atau tumbuh 11,31 persen dibanding tahun 2018 yang mencapai 291,83 juta dolar. Sementara KKP menargetkan tahun 2020 produksi rumput laut mencapai 10,99 juta ton dan diproyeksikan mencapai 12,33 juta ton pada tahun 2024.
Pemerintah telah membentuk Pokja untuk melakukan percepatan industrialisasi nasional, dan KKP juga telah menyusun peta jalan percepatan produksi rumput laut nasional.
Selain itu, ujar dia, telah menyalurkan bantuan sebanyak 53,1 juta ekor benih ke berbagai daerah selama periode Maret hingga April 2020, yang merupakan masa pandemi COVID-19 mulai merebak di Indonesia.
Slamet memaparkan, bantuan benih sebanyak 52,1 juta ekor benih ikan/undang itu telah disebarkan di 67 kabupaten/kota dan diterima oleh sekitar 1.060 pembudidaya yang tergabung dalam 106 kelompok pembudidaya ikan skala kecil.
Bantuan benih tersebut terdiri dari 6,5 juta ekor untuk benih ikan air tawar; sebanyak 44,7 juta ekor benih ikan air payau dan 1,9 juta ekor benih ikan air laut.
"Stimulus jangka pendek ini kami pastikan terus didorong di berbagai daerah melalui 15 UPT yang tersebar di Indonesia. KKP ingin pastikan bahwa produksi harus tetap berjalan. Tiap hari distribusi bantuan benih ini terus berjalan dan menyasar pembudidaya ikan terdampak," ujarnya.
KKP juga telah mengapresiasi kepada sejumlah perusahana pakan nasional yang membatalkan kenaikan harga pakan sebagai bentuk kepekaan mereka terhadap kondisi ekonomi para pembudidaya.
Tidak hanya dalam bidang perikanan budidaya, KKP juga menilai bahwa industri perikanan tangkap masih memiliki momentum yang besar untuk memberikan kesejahteraan nelayan dan perekonomian nasional di tengah pandemi.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, M. Zulficar Mochtar memaparkan, produksi perikanan tangkap nasional sekitar 8 juta ton per tahun, masih lebih rendah dari potensi yang perlu dicapai, yakni sebesar 12,5 juta ton per tahun.
"Artinya ada gap yang belum kita manfaatkan dari delapan juta ton. Artinya momentum perikanan tangkap kita sangat luar biasa juga untuk perekonomian," ucapnya.
Maka itu, ia mengatakan, harus ada tata kelola yang ketat untuk kapal asing maupun investasi asing di sektor kelautan dan perikanan agar keberlangsungan ekonomi di sektor itu tetap terjaga.
Investasi-perdagangan global
Zulficar Mochtar juga mengakui untuk memanfaatkan momentum industri perikanan tangkap, Indonesia membutuhkan investasi yang besar.
Senada, Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengatakan, Indonesia perlu memanfaatkan momentum perubahan yang terjadi pada Rantai Nilai Global atau Global Value Chains (GVC) yang selama ini terpusat di China.
Guna memaksimalkan peluang masuknya Penanaman Modal Asing (PMA) ke Indonesia, ada beberapa hal yang CIPS rekomendasikan ke pemerintah, antara lain perlunya memperpanjang waktu untuk peraturan pelaksanaan RUU Cipta Kerja.
Presiden dan DPR harus mempertimbangkan mengubah tenggat waktu satu bulan untuk penyesuaian dan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Peraturan Presiden (Perpres) yang baru. Presiden dan DPR harus memastikan PP dan Perpres didukung dengan Naskah Akademik yang ekstensif dan konsultasi publik yang intensif.
"Setidaknya dibutuhkan waktu hingga 6 bulan atau atur tenggat waktu berjalan selama 3 bulan untuk pembahasan setiap klaster. Prioritas harus diberikan kepada klaster yang penting bagi pemulihan ekonomi, seperti pertanian dan manufaktur," ucapnya.
Peneliti CIPS lainnya, Felippa Ann Amanta mengatakan, di tengah pandemi, negara-negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia, perlu berkomitmen serius untuk meninggalkan kebijakan proteksionisme dan memastikan perdagangan antar negara bisa tetap berjalan.
Hal itu sangat penting untuk memastikan ketersediaan barang-barang penting, seperti komoditas pangan, obat-obatan serta peralatan medis. Kebijakan proteksionisme mengganggu kelancaran rantai pasok dan menghambat ketersediaan pasokan di pasar yang akan berujung pada kelangkaan.
"Salah satu yang bisa dilakukan untuk meninggalkan kebijakan proteksionisme dan memastikan perdagangan tetap berjalan adalah dengan mengeliminir hambatan perdagangan, baik hambatan tarif maupun hambatan nontarif," ucapnya.
Mengenai perdagangan global, KKP juga memastikan terus menjaga mutu dan keamanan termasuk komoditas kelautan dan perikanan, mengingat ekspor perikanan masih meningkat di tengah pandemi COVID-19.
"Pemerintah selalu hadir untuk menjaga mutu dan keamanan hasil perikanan, layanan penerbitan SKP (sertifikat kelayakan pengolahan) kita juga tetap optimal, sampai tanggal 12 Mei 2020 ini sudah terbit 1.011 SKP," kata Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Nilanto Perbowo.
KKP juga telah menggelar pembekalan SNI 1:2011 yang berisi tentang prinsip umum higienis pangan dan analisa risiko COVID-19 pada penanganan dan pengolahan ikan. Pembekalan ini juga menjadi salah satu bentuk kehadiran pemerintah dalam menjaga eksistensi berjalannya bisnis produksi oleh para pelaku usaha pengolahan ikan, terutama dalam menjaga mutu dan keamanan hasil perikanan. Terlebih di tengah pandemi, ekspor hasil perikanan cenderung meningkat.
Analisa risiko
Sementara itu, Direktur lembaga riset kelautan dan perikanan, The Spring Institute Sunarya mengingatkan tentang analisa risiko pada penanganan dan pengolahan ikan.
Ia memaparkan sejumlah langkah yang harus dilakukan untuk evaluasi risiko dalam unit pengolahan ikan antara lain memonitor sumber dan asal bahan baku, perlunya jaga jarak selama bekerja, pemeriksaan rutin kesehatan personal setiap hari, inspeksi kesehatan siapapun yang mau masuk pabrik, pengelompokan karyawan, serta menyediakan alat sanitasi di areal kritis.
Selain itu, pelaku usaha perikanan juga perlu melakukan sosialisasi wajib lapor bagi karyawan yang kurang sehat, penyediaan APD yang baik dan memadai, dan cuci tangan secara regular.
Pengamat sektor perikanan yang juga Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, menyatakan keinginan mendorong ekspor perikanan di tengah pandemi, harus mempertimbangkan kebutuhan domestik.
Selain itu dia menegaskan bahwa produk yang diekspor seharusnya bukan berbentuk benih, melainkan ikan berukuran dewasa yang dianggap sudah mencukupi untuk kebutuhan nasional.
Dia mengingatkan pula peningkatan ekspor perikanan harus dinikmati manfaatnya terutama oleh produsen perikanan skala kecil seperti nelayan tradisional di Tanah Air.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020