Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menyambut baik atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terkait syarat mantan terpidana perkara korupsi maju dalam pildaka.
"Itu kami harus menghargai putusan itu dan saya pikir ini juga harus disambut baik baik oleh pemerintah maupun parlemen ataupun partai politik," ucap Syarif di Jakarta, Rabu.
Adapun uji materi tersebut diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
"Karena terus terang banyak mendapatkan juga laporan dari kader partai politik yang bagus ini ngapain saja, sih. Kami yang bagus-bagus meniti karier dari bawah sampai ke atas ini kami tidak pernah di-support malah karena ada uangnya men-support mantan napi. Ngapain seperti itu," ungkap Syarif.
Ia menyatakan bahwa permasalahan tersebut juga berdasarkan penelitian antara lembaganya dan Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) dan parpol tentang kaderisasi dan penegakan etik parpol.
"Ini kader-kader yang baik ini mengeluh karena tidak mendapatkan support dari parpolnya bahwa tiba-tiba ada 'kutu loncat' dari luar karena bawa uang gede ada kabarnya di-push jadi anggota legislatif, jadi wali kota, bupati, gubernur seperti itu. Jadi, paslah itu, terima kasih kepada MK itu putusan progresif," tuturnya.
Ketua MK Anwar Usman pada amar putusannya mengabulkan sebagian permohonan dari ICW dan Perludem tersebut.
Anwar menyatakan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Artinya, mantan terpidana baru bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah setelah melalui masa tunggu lima tahun usai menjalani pidana penjara.
Dengan demikian MK mengabulkan permohonan adanya masa tunggu bagi mantan terpidana selama 5 tahun sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Adapun permohonan ICW dan Perludem mengenai waktu masa tunggu selama 10 tahun, tidak dikabulkan.
Atas putusan MK tersebut, Syarif pun mengharapkan kualitas tata kelola partai politik dapat meningkat.
"Jadi, kami terima kasih saya pikir itu putusan Mahkamah Konstitusi yang bagus. Saya pikir juga itu akan lebih bagus untuk meningkatkan kualitas tata kelola partai politik," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
"Itu kami harus menghargai putusan itu dan saya pikir ini juga harus disambut baik baik oleh pemerintah maupun parlemen ataupun partai politik," ucap Syarif di Jakarta, Rabu.
Adapun uji materi tersebut diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
"Karena terus terang banyak mendapatkan juga laporan dari kader partai politik yang bagus ini ngapain saja, sih. Kami yang bagus-bagus meniti karier dari bawah sampai ke atas ini kami tidak pernah di-support malah karena ada uangnya men-support mantan napi. Ngapain seperti itu," ungkap Syarif.
Ia menyatakan bahwa permasalahan tersebut juga berdasarkan penelitian antara lembaganya dan Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) dan parpol tentang kaderisasi dan penegakan etik parpol.
"Ini kader-kader yang baik ini mengeluh karena tidak mendapatkan support dari parpolnya bahwa tiba-tiba ada 'kutu loncat' dari luar karena bawa uang gede ada kabarnya di-push jadi anggota legislatif, jadi wali kota, bupati, gubernur seperti itu. Jadi, paslah itu, terima kasih kepada MK itu putusan progresif," tuturnya.
Ketua MK Anwar Usman pada amar putusannya mengabulkan sebagian permohonan dari ICW dan Perludem tersebut.
Anwar menyatakan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Artinya, mantan terpidana baru bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah setelah melalui masa tunggu lima tahun usai menjalani pidana penjara.
Dengan demikian MK mengabulkan permohonan adanya masa tunggu bagi mantan terpidana selama 5 tahun sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Adapun permohonan ICW dan Perludem mengenai waktu masa tunggu selama 10 tahun, tidak dikabulkan.
Atas putusan MK tersebut, Syarif pun mengharapkan kualitas tata kelola partai politik dapat meningkat.
"Jadi, kami terima kasih saya pikir itu putusan Mahkamah Konstitusi yang bagus. Saya pikir juga itu akan lebih bagus untuk meningkatkan kualitas tata kelola partai politik," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019