Mantan Ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki, mengatakan penerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) KPK adalah langkah yang konstitusional lantaran telah diatur dalam UUD 1945.
"Penerbitan Perppu itu konstitusional, diatur dalam UUD, jadi itu adalah hak presiden," ujar Ruki di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan Presiden Joko Widodo tidak perlu khawatir menerbitkan Perppu, karena hal tersebut telah diatur dalam pasal 22 UUD 1945, sehingga tidak akan berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum.
Konsekuensi yang mungkin timbul bila Perppu itu diterbitkan lebih kepada konsekuensi politik, mengingat revisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK telah disetujui fraksi-fraksi di DPR.
Sehingga bila Jokowi menerbitkan Perppu KPK, maka akan terjadi pertentangan sikap politik antara pemerintah dengan DPR.
Namun demikian, lanjut Ruki yang memimpin KPK pada periode 2003-2009, sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, sudah sepatutnya Jokowi mendengarkan aspirasi masyarakat yang mendesak agar Perppu KPK segera diterbitkan.
Dengan menerbitkan Perppu KPK, kata Ruki, Jokowi telah menegaskan keberpihakannya kepada penguatan KPK. Dia dinilai juga tidak akan memiliki beban moril karena telah mewujudkan aspirasi publik.
Ruki menambahkan bila Perppu KPK benar-benar diterbitkan, maka beban justru berada di DPR. Jika Perppu tersebut ditolak, maka masyarakat akan mencap DPR sebagai lembaga yang tidak memiliki komitmen terhadap penguatan KPK.
"Kalau DPR mengatakan tidak (terhadap Perppu KPK), maka publik akan mengatakan loh yang tidak komit adalah DPR, bukan presiden. kita tunggu saja," ucap Ruki.
"Ketika masyarakat tahu bahwa ternyata pemberantasan korupsi ini terganjal oleh sikap-sikap politik dari anggota DPR, yang merupakan perwakilan dari partai politik, ini persoalan menjadi lain," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
"Penerbitan Perppu itu konstitusional, diatur dalam UUD, jadi itu adalah hak presiden," ujar Ruki di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan Presiden Joko Widodo tidak perlu khawatir menerbitkan Perppu, karena hal tersebut telah diatur dalam pasal 22 UUD 1945, sehingga tidak akan berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum.
Konsekuensi yang mungkin timbul bila Perppu itu diterbitkan lebih kepada konsekuensi politik, mengingat revisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK telah disetujui fraksi-fraksi di DPR.
Sehingga bila Jokowi menerbitkan Perppu KPK, maka akan terjadi pertentangan sikap politik antara pemerintah dengan DPR.
Namun demikian, lanjut Ruki yang memimpin KPK pada periode 2003-2009, sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, sudah sepatutnya Jokowi mendengarkan aspirasi masyarakat yang mendesak agar Perppu KPK segera diterbitkan.
Dengan menerbitkan Perppu KPK, kata Ruki, Jokowi telah menegaskan keberpihakannya kepada penguatan KPK. Dia dinilai juga tidak akan memiliki beban moril karena telah mewujudkan aspirasi publik.
Ruki menambahkan bila Perppu KPK benar-benar diterbitkan, maka beban justru berada di DPR. Jika Perppu tersebut ditolak, maka masyarakat akan mencap DPR sebagai lembaga yang tidak memiliki komitmen terhadap penguatan KPK.
"Kalau DPR mengatakan tidak (terhadap Perppu KPK), maka publik akan mengatakan loh yang tidak komit adalah DPR, bukan presiden. kita tunggu saja," ucap Ruki.
"Ketika masyarakat tahu bahwa ternyata pemberantasan korupsi ini terganjal oleh sikap-sikap politik dari anggota DPR, yang merupakan perwakilan dari partai politik, ini persoalan menjadi lain," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019