Ia membuktikan isi pepatah yang mengatakan, “Dimana ada kemauan di situ ada jalan”. Tergantung seberapa besar melihat peluang itu untuk dijadikan kesempatan.

Itulah yang mendorong Okto Anggara Sitompul (35) memberanikan diri menerima tawaran dari Tambang Emas Matabe untuk memanfaatkan sampah yang ada di Martabe. Ada pun sampah yang akan diolah Okto bersama beberapa anak muda yang tinggal di desanya, di Desa Weik II, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, adalah pallet.

Pallet terbuat dari bahan dasar kayu berbentuk kotak yang digunakan untuk meletakkan barang-barang dengan tujuan memudahkan penyimpanan, penghitungan, dan transportasi pengangkutan. Pallet ini cukup banyak digunakan Martabe untuk mengangkut barang-barang logistik mereka.

Menurut Okto yang pernah berharap bisa diterima bekerja di Tambang Emas Martabe, pallet yang sudah tidak terpakai lagi dikumpul di satu tempat di kawasan Martabe. Hanya saja orang sekitar sering mengambilnya tanpa manfaat yang jelas.

Melihat kondisi itu, pihak Martabe menawarkan konsep mengolah sampah pallet menjadi kompos organik. Tawaran itu pun langsung disambar Okto bersama temannya yang saat itu lagi pengangguran berat.

“Awalnya sih punya cita-cita bisa bekerja di tambang Martabe, tapi karena skill dan pengalaman nihil, sebagai pengelola sampah Martabe pun tidak masalah, yang jelas ada pekerjaan,” kata Okto memulai perbincangannya dengan ANTARA di tempat pengolahan sampah di Kecamatan Batang Toru.

Sebelum dipercaya Martabe untuk mengolah sampah pallet, terlebih dahulu mereka dibekali dengan berbagai pelatihan oleh pihak tambang. Ketika dilihat sudah mampu, Martabe melengkapi alat-alat untuk memproduksi sampah sampai dengan membangun tempat pengolahan sampah.
 
Serbuk dari kayu pallet yang sudah diolah dan akan dicampur dengan sampah organik seperti sayur busuk, perut ikan dan kotoran ternak untuk dijadikan sampah organik dengan menggunakan mesin cruiser. (ANTARA/Jason Gultom)


“Semua kelengkapan dan fasilitas alat disediakan Martabe. Kami tinggal mengolah dan menjadikannya uang. Dan enaknya lagi, uang dari hasil penjualan sampah organik itu, kami yang menikmatinya,” beber pria berkulit hitam manis itu dengan wajah gembira.

Ada pun teknis pengolahan sampah pallet menjadi pupuk organik, terang Okto, dengan terlebih dahulu menghancurkannya menggunakan mesin "eood chipper". Setelah kayu berubah menjadi serbuk, lalu dicampur dengan sampah pasar organik seperti sayuran, perut ikan, dan kotoran ternak.

Selanjutnya bahan-bahan itu dicampur menggunakan mesin "cruiser" untuk dijadikan pupuk dan diendapkan sekitar 2 minggu. Makin lama durasi pengendapan maka semakin bagus pula kualitas pupuk organiknya.

Untuk jangka waktu satu bulan, lanjut Okto, ia bersama rekannya berhasil memproduksi sampah organik sebanyak 10 ton. Pangsa pasarnya sudah tersedia, yaitu Tambang Martabe dan masyarakat sekitar. Pasalnya, Martabe memiliki kelompok binaan petani organik yang menggunakan pupuk kompos alami setiap musim tanam.

“Cukup enak sebenarnya kami, bahan dasar kompos pallet disediakan Martabe, mesin pengolah juga disediakan Martabe, tempat pengolahan dan bangunan juga disediakan Martabe. Dan hasil komposnya juga dibeli tambang Martabe,” ujar Okto seraya  menambahkan bahwa setiap musim turun tanam bagi kelompok binaan Martabe  dibutuhkan 20-30 ton pupuk organik dengan harga jual Rp1.300 per kilogramnya.  
 
Inilah pallet yang bahan dasarnya terbuat dari kayu yang digunakan untuk membungkus atau menahan bahan logistik Martabe ketika diangkut menggunakan kendaraan. Pallet inilah sebagai bahan dasar pembuatan pupuk organik yang diolah oleh Okto bersama rekannya. (ANTARA/Jason Gultom)


Masih menurut penuturan ayah satu anak itu, setelah berhasil dibina Martabe sejak tahun 2016, Martabe kembali memberikan peluang untuk memanfaatkan pallet yang masih bagus untuk diolah menjadi furnitur (perabot rumah tangga). Lagi-lagi pihak tambang memboyong Okto bersama rekannya untuk mengikuti pelatihan sampai ke Makassar.

Setelah dinilai mapan, Martabe melengkapi fasilitas alat pertukangan untuk mereka. Dan hasilnya, Okto bersama 7 orang rekannya telah memiliki keahlian bidang pertukangan khususnya furnitur dan sudah mendapat orderan dari Tambang Emas, dan juga dari  masyarakat Tapsel.

Ada pun harga perabot rumah tangga yang mereka jual cukup murah. Untuk meja makan lengkap dengan 4 set kursinya dibandrol hanya Rp700 ribu. Demikian juga untuk kursi tamu atau kursi teras dibandrol dengan Rp200 ribu saja per unit.

Sedangkan untuk lemari, kitchen set, rak buku dan buffet tv, tergantung ukuran dan bentuknya. Tetapi secara keseluruhan harga perabot yang ditawarkan memang sangat murah.

“Kenapa harga perabot kami murah, karena kami tidak membeli bahan dasarnya. Karena Martabe sudah menyediakan, kami tinggal mengolah. Sedangkan untuk mutu dan jenis kayu pallet tidak perlu diragukan lagi, karena rata-rata jenis kayu jati, dan jati Belanda yang kaya dengan serat,” sebut Okto.
 
Inilah furnitur hasil olahan Okta dari kayu pallet yang masih bisa digunakan. Beragam perabot rumah tangga dikerjakan di tempat ini dengan harga sangat murah dengan hasil yang luar biasa. (ANTARA/Jason Gultom)


Melihat berkembangnya kegiatan yang digeluti anak-anak muda Weik II Batang Toru itu, Martabe pun mematenkan berdirinya koperasi tempat mereka benaung. Koperasi itu pun mereka beri nama “Sarop do Mulana” yang memiliki arti “Sampahnya Awalnya”.

“Kami sendiri yang memilih nama koperasi itu, karena memang asal muasal kegiatan kami dari sampah. Dan parahnya lagi, kami-kami yang ada di sini dulunya dipandang sebelah mata karena status pengangguran. Namun berkat kepedulian Tambang Emas Martabe dan didasari kemauan yang tinggi, akhirnya jalan pun terbuka. Yang dulunya kami dipandang sebelah mata, sekarang sudah diperhitungkan karena sudah mampu menghasilkan uang,” ungkapnya.

Dari hasil produksi sampah organik dan  furnitur yang dikelola Koperasi “Sarop do Mulana” ke-7 anggotanya mampu meraup keuntungan jutaan rupiah setiap bulannya, setelah dipotong iuran ke koperasi sebesar 10 persen.

“Setiap kami menjual hasil produksi pupuk organik dan furnitur, kami selalu sisihkan sebesar 10 persen untuk koperasi. Dan setiap akhir tahun kami bagi sisa hasil usaha koperasi itu. Hasilnya lumayanlah, kebutuhan rumah tangga dan anak-anak tercukupi. Dan bersama dengan koperasi ini juga, kami sudah sering dibawa Tambang Martabe dan Pemkab Tapsel untuk mengikuti event-event pameran furnitur di dalam dan di luar Sumut,” terangnya.  

Di usia Martabe 7 tahun beroperasi apa yang diharapkan lagi dari Martabe? Menurut suami boru Hutabarat itu, pembinaan dan perhatian kepada kelompok masyarakat yang lain agar terus dilakukan. Walaupun sering masyarakat menganggap seperti tidak ada manfaat dari pembinaan karena mindset (pola pikir) yang selalu diukur dengan materi.
 
Koperasi "Sarop do Mulana" yang memiliki arti sampahnya awalnya sudah dipatenkan PT Martabe menjadi koperasi tempat Okto bersama rekannya mengembangkan usaha kompos organik dan furnitur. (ANTARA/Jason Gultom)


“Kelemahan masyarakat yang ada di daerah kami ini maunya instan, dan bantuan yang diberikan perusahaan hendaknya dalam bentuk rupiah dan langsung diserahkan kepada masing-masing warga. Dan itu tidak mungkin terjadi karena perusahaan memiliki aturan tersendiri. Kalaulah masyarakat bersabar, lebih dari uang cash yang diharapkan bisa didapat ketika kelompok usaha itu sudah berhasil. Dan itu sudah kami buktikan sendiri. Untuk itulah kami tetap meminta kepada pihak tambang agar tetap bersabar dan tidak jenuh untuk merangkul dan mengubah pola pikir masyarakat, sehingga kelak masyarakat yang lain bisa seperti kami,” ujarnya.

Terkait keberhasilan Okto bersama rekannya di Koperasi Sarop do Mulana diakui mereka sebagai buah tangan dingin Martabe. Karena dengan hadirnya Martabe hidup mereka diubahkan.

“Tanpa kehadiran Martabe mungkin kami masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Dan kini hidup kami sudah lebih berarti karena beragam ilmu dan skill sudah kami miliki. Atas nama masyarakat Desa Weik II dan atas nama Koperasi Sarop do Mulana dan keluarga, kami mengucapkan terima kasih kepada Tambang Emas Maratabe atas perhatian dan edukasi yang diberikan. Kiranya kebersamaan ini terus berlanjut sehingga tumbuhnya Martabe tumbuhnya ekonomi masyarakat,” tutupnya.

Selain di sektor ekonomi lokal, Tambang Emas Martabe juga peduli dengan bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, budaya, dan keagamaan. Melihat kepedulian itu, tidak salah Tambang Emas Martabe mengangkat tema penghargaan karya jurnalistik tahun 2019 “7 Tahun Operasional Tambang Emas Martabe: Tumbuh dan Membangun Bersama."
 

Pewarta: Jason Gultom

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019