Beredarnya video viral di WhatsApp (WA) dan Youtube sepasang siswa Sekolah Menengah Kejuruan(SMK) di Bulukumba, Sulawesi Selatan berbuat mesum ria membuat semua orang terhenyak.

Video yang berdurasi sekitar 29 detik itu bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia.Terlalu banyak kasus ketergelinciran seksual yang melibat generasi kita. 

Budayawan Mandailing Natal, Askolani Nasution kepada ANTARA, Sabtu (15/6) menyampaikan, kasus Bulukumba hanya moment kesekian yang melibatkan remaja kita.

Ia menyebutkan, kasus seperti ini bukan hanya ada di Bulukumba. Ia juga ada di sekitar kita. Lebih dahsyat, hanya tersembunyi saja. Indonesia itu tanpa batas sosial. 

Seperti angka ketidakperawanan, pengarusutamaan seksual, ketergelinciran seksual, pernikahan dini, married by accident, homoseksual, lesbianisme, biseksual, peyorisme, dan seterusnya.

"Semua ada. Semua nyata. Semua dipertontonkan sebagai bagian dari rasa teralienasi di dunia sendiri. Mereka adalah anak-anak yang terasing di dunianya sendiri. 
Apa yang kita lakukan? Nothing! Kita terlalu sibuk mengurus beban ekonomi sendiri," ujarnya.

Betapa banyak juga penelitian tentang kehebohan-kehebohan seperti itu yang membuat kita mengurut dada. Misalnya soal besarnya angka ketidakperawanan di lingkungan siswa SLTP/SLTA, soal besanya pernikahan dini karena Married by Accident (MBA), penyalahgunaan narkoba di lingkungan remaja, dan seterusnya. 

"Kasus yang terjadi ini merupakan kesalahan bersama.Saya tak ingin menyalahkan sekolah," katanya.

Disampaikannya, institusi pendidikan kita terlalu dibebani beragam target kelulusan yang ukurannya dominan skala akademik. 

"Saya tahu para guru juga telah berjuang “menceramahi” siswa-siswanya tentang berbagai ajaran moral," ujarnya.

Sebagian orang mungkin menyalahkan kurikulum pendidikan yang padat muatan konsep keilmuan dan kerangka teoritis lain, lalu gagal memberi ruang budaya bagi peserta didik. 

Bayangkan saja, ada puluhan pokok bahasan yang mesti dibelajartuntaskan guru dalam sedikit tatap muka yang minimalis. 

Semua begitu tersistem dan terukur, dengan alat ukur soal-soal yang hanya pilihan ganda, dan tidak memberi ruang pada pengembangan pola pikir pendewasaan. 

Begitu mekanis fungsi guru.
Tragisnya, itu diperberat lagi dengan batasan-batasan Hak Azasi Siswa, batasan-batasan reinforcement (sanksi dan reward) yang dibatasi sedemikian rupa. 

"Itu benar-benar mengekang guru untuk berbuat lebih jauh bagi pendewasaan dan penguatan moralitas peserta didik," sebutnya.

Dan itu tak sebanding dengan godaan liberalisme, arus emansipasi yang kebablasan, godaan besar hedonisme, publisitasan moralitas nihilisme dari televisi, dan berbagai rupa wajah postmodernisme di sekitar kita. 

"Seolah-olah semua keniscayaan. Dan dengan mudah kita justifikasi dengan kecederungan zaman: bukankah Amerika juga pernah menjalani revolusi seksual, bukankah para ibu di Eropah juga berpesan agar anak remaja mereka tidak lupa menggunakan kondom, bukankah beberapa sastrawan kita juga menguatkan kebebasan indiviual, dan bacaan-bacaan seperti itu sejak dua puluh tahun yang lalu hinggap di tas anak-anak sekolah?," Ucap Askolani

Ia menjelaskan, ketika remaja 80-an hanya bisa membaca karya-karya pornografi stensilan yang dibaca sembunyi-sembunyi dibalik cekikikan anak remaja, sekarang anak-anak kita gambang mengakses video porno di HP Android yang kita berikan kepada mereka, dan dengan mudah dishare dengan teman sebayanya melalui aplikasi Android. 

Selain itu, anak-anak SMP kita telah lama memanggil mamah-papah kepada pasangannya dan ber-WA ria di kamar mereka yang terkunci atas nama rumah yang sehat.

Bahkan mereka berbagai foto organ intim mereka yang diatasnamakan rasa sayang, dan sesekali nongol di Facebook ketika ada yang tak iklas diputus sepihak.
 
"Semua ada. Semua nyata. Semua dipertontonkan sebagai bagian dari rasa teralienasi di dunia sendiri. Mereka adalah anak-anak yang terasing di dunianya sendiri. 
Apa yang kita lakukan? Nothing! Kita terlalu sibuk mengurus beban ekonomi sendiri," ujarnya.

Selain itu, kita juga diajari untuk tidak mencampuri yang bukan urusan kita. Mesjid-mesjid tidak akan berdaya ketika dunia sekitar kita masif mengarusutamakan hal-hal irreligiusitas dengan promosi yang menarik, juga gratis. 

Baca juga: Entitas Mandailing kini tercatat di Wikipedia

Selain itu, lembaga-lembaga budaya juga saat berbuat mereka kehilangan dukungan, misalnya, membuat suguhan tontonan yang bisa bersaing dengan televisi dan mode?. 

Sekolah, dengan apa mereka berbuat ketika mereka dipaksa untuk mengejar target-target pencapaian kurikulum.

"Saat ini kita lebih banyak saling menyalahkan, padahal kita juga tidak berbuat," sebutnya.

Ia juga menilai dengan menutup tempat hiburan malam misalnya, bukan jalan keluar, karena yang terjadi tidak di sana. Tapi di sekolah, di ruang kelas kosong, di wc, di emperan rumah, di kebun, di pondok-pondok sawah, di kali, di rerumputan, dan seterusnya. Itu jauh dari jangkauan pikiran tapi massif. 

"Itu semua memerlukan pendekatan yang lain, lebih dari sekedar hal yang biasa kita bayangkan," pungkasnya.

Pewarta: Holik

Editor : Akung


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019