Oleh Prof. Ibrahim Gultom

Islam Nusantara?...goblok.., demikian celotehan salah seorang teman saya ketika berlangsung diskusi informal beberapa hari yang lalu. Topik ini muncul jadi bahan diskusi bermula dari beredarnya statement penolakan Majelis Ulama Sumatera Barat (MUI-Sumbar) di media sosial terhadap gagasan Islam Nusantara yang dua tahun belakangan ini dikumandangkan oleh Ormas Nahdhotul Ulama (NU). Begitu gencarnya “jualan” Islam Nusantara (INUS) ini sehingga mengundang  pro dan kontra bukan saja dikalangan kademisi dan pemerhati agama melainkan juga masyarakat umum.

NU sebagai pengusung INUS memang mengakui bahwa INUS bukanlah sebuah agama baru dan bukan pula aliran baru. Ia hanya sebuah penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal Indonesia dalam merumuskan fiqihnya. Selain itu, berangkat dari sejarah bahwa masuknya Islam ke Nusantara pada awalnya adalah secara damai dan tidak melalui peperangan dan kekerasan. Melalui INUS ini ingin merekonstruksi dan merevitalisasi agar agama dapat berkompromi dengan budaya sebagaimana dilakukan para Wali Songo dahulu. Kompromi budaya telah terbukti menghasilkan pemahaman dan pengamalan agama yang ramah dan jauh dari tindakan intoleran, radikal dan anarkis. Lebih jauh lagi, Islam di Indonesia inilah Islam yang benar-benar sejati, sementara Islam Arab adalah Islam yang tidak ramah, penjajah, pembunuh dan bahkan yang paling gila menyebutnya Islam abal-abal. Untuk itu, kata mereka perlu umat Islam Indonesia memahami apa yang dinamakan indigenisasi dan vernakularisasi budaya.

Indigenisasi budaya bermakna proses mempertegas suatu budaya lokal tetap menjadi milik masyarakat setempat atau pemilik asli budaya tersebut (pribumisasi). Atau dengan kata lain mengukuhkan budaya asli (indigenous culture) tetap eksis sebagai rujukan dalam berprilaku. Demikian juga dengan istilah vernakularisasi yang bermakna upaya menjaga dan mempertahankan vernacular (sastra, bahasa, logat ) asli suatu etnik tertentu meski bersintuhan dengan budaya global. Oleh karena itu, walaupun budaya dan sastra ini berinteraksi dengan budaya asing termasuk kepercayaan keagamaan seperti Islam, maka budaya asli tetap menjadi “tuan” dalam bercara hidup tak terkecuali di dalam menjalankan agama yang dianutnya. Artinya budaya itulah yang paling dominan sementara agama cukup menyesuaikan dengan budaya lokal tempatan. Dalama konteks ini budaya diposisikan sebagai subjek dan Islam sebagai objek. Bukan sebaliknya Islam sebagai faa’il (subjek) dan budaya sebagai maf’ulumbih (objek). Jika ini yang terjadi maka misi INUS akan mengarah kepada proses pendangkalan aqidah pemeluk agama Islam.

 

Mempertanyakan Urgensi INUS

Entah apa urgensi wawasan INUS ini harus dikumandangkan sehingga mengundang imej umat Islam seolah ada yang salah dalam ajaran Islam itu sendiri. Bukankah Allah tidak menjamin bahwa Islam sudah sempurna dan digaransi sebagai agama yang selamat, damai, menjunjung tinggi toleransi dan membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘aalamin) yang bukan saja bagi manusia tetapi juga makhluk lain. Kenapa Islam yang lahir di tanah Arab ini belakangan dijadikan sebagai tertuduh seolah punya cacat bahkan dianggap mengerikan (terrible) bagi penganutnya. Sementara budaya luar dan segenap paham yang menggorogoti Islam seperti sekularisme, ateisme, komunisme, fluralisme dan LGBT tidak begitu tertarik untuk mempermasalahkannya, bahkan seolah bernada setuju apabila paham-paham tersebut tumbuh subur di Nusantara ini. Sepatutnya, kalaupun tidak bisa berbuat untuk menjaga eksistensi agama Allah ini, paling tidak jangan memperkeruh suasana keberagamaan umat yang sudah semakin membaik -  apalagi memperolok-olok agama itu sendiri. Apakah kita tidak takut akan azab Allah apabila kita sendiri yang menggugat kemurnian agama kita sendiri. Masihkan kita ragu kepada si pemilik agama ini (Allah) bahwa apa yang diturunkanNya telah sempurna (QS:5:3). Tidakkah Allah tidak mengajarkan Al-quran sebagai pedoman hidupmu - lalu nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan? (QS:55:13).

Mengamalkan ajaran INUS berarti sama artinya menggiring kembali kepada jaman jahiliyah di mana pada masa itu bangsa Arab berada pada masa kebodohan karena belum dibimbing ajaran Islam. Demikian juga halnya di Indonesia di mana sebelum datangnya Islam, masyarakat Indonesia masih berpaham animisme dan  dinamisme yang dibungkus dalam budaya Hindu dan Budha. Ada juga sebagain yang percaya kepada leluhur nenek moyang mereka masing-masing. Ketika Islam datang melalui tangan para juru dakwah secara perlahan-lahan masyarakat Indonesia terutama yang ada di Pulau Jawa memasuki kepercayaan baru yaitu Islam. Meski mereka sudah beragama tauhid, namun tetap saja tradisi budaya mereka mewarnai kehidupan keagamaan mereka, terutama di kalangan kaum abangan dan sebagian kecil dari kalangan santri dan priyayi. Misalnya mereka medatangi tempat-tempat tertentu untuk berlindung seraya membawa sesaji-sesaji yang secara hakikinya bertentangan dengan tauhid karena masuk dalam kategori syirik.

Maka jika INUS hendak menghidupkan kembali tradisi budaya jaman dulu dengan dalih menghormati dan melestarikan budaya, itu artinya sama dengan mengembalikan pada masa kebodohan (jahiliyah) yang pada gilirannya akan memperlemah pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang sesungguhnya. Akibatnya boleh jadi generasi kita kelak menjadi Islam abangan yang tidak nampak lagi cahaya keislamannya. Jika pada masa dulu masyarakat percaya dengan tahyul, terbiasa mendatangi dukun (takhyul) dan bergelimang dengan  khurafat maka dengan kompromi Islam dengan budaya ini bukan tidak mungkin dihalalkan dalam konsep fiqih INUS ini. Itu berarti Islam Sasak yang ada di Lombok sana yang hanya serba tiga yang ditandai dengan sholatnya hanya tiga kali (subuh, maghrib dan Isa), puasa hanya tiga hari (di awal, di tengah dan di ujung) dan  rukun Islamnya hanya tiga (syahadat, sholat dan puasa) tidak perlu diluruskan dengan alasan menghormati dan melestarikan budaya peninggalan Hindu.

Jika jargon umat Islam Indonesia adalah Islam Nusantara, Islam penuh sopan santun, Islam yang penuh tata kerama dan penuh toleransi”, sebagaimana sering diutarakan pengusung INUS ini, maka di dalam benak saya seolah-olah Islam kita selama ini tidak memiliki karakter seperti itu. Perlu diketahui bahwa Akhlak Rasulullah itu mulia karena akhlaknya bersumber dari alqur’an sebagaimana dituturkan istrinya Aisyah. Sementara kita umatnya berupaya mengidentikkan diri dengan akhlak rasul jika berhubungan dengan sesama manusia (hablun minannaas), demikian juga ketika berhubungan dengan Allah (hablun minalloh) melalui amalan-amalan ibadah. Jika kita ingin punya akhlak seperti Rasul maka masuklah ke dalam Islam itu secara kaaffah (QS:2: 208). Kalau kita sudah masuk secara kaaffah (menyeluruh) itu berarti tak seorang pun muslim yang tak sopan, yang tak toleran dan malah sudah pasti terhidar dari tindakan radikal dan anarkis.

Demikian juga dalam hal menangkal radikalisme, bukan justru budaya yang harus didewa-dewakan sekaligus dianggap mampu jadi juru selamat sementara agama diletakkan di pinggiran. Sepatutnya justru agamalah yang perlu dikedepankan dan diperdalam hingga ke akar-akarnya. Kalaupun ada pemahaman penganutnya yang agak menyimpang dan keliru justru disitulah diperlukan dakwah yang jitu supaya terjadi pengamalan agama yang standar, bukan malah agama yang diutak-atik sesuai dengan keinginan kultur setempat. Islam itu yu’la (tinggi) dan sangatlah indah karena bukan saja sesama manusia akhlak yang diaturnya melainkan juga akhlak kepada binatang sekalipun, misalnya adab menyembelih hewan dengan cara syar’i agar hewan tidak begitu tersiksa menemui ajalnya. Jadi agama tidak seperti yang dituduhkan – untuk memberangus budaya bangsa tertentu. Selama budaya itu tidak bertentangan dengan syariah selama itu pula budaya dapat menghiasi keislaman masyarakat tertentu. Tetapi jika budaya rentenir misalnya tumbuh di dalam masyarakat secara turun-temurun, maka tentu agama tidak boleh kalah di dalam menentukan fiq’ihnya.

Berkaitan dengan toleransi, kurang toleran apa lagi kita selama ini. Bukankah Islam tidak mengajarkan bagaimana kita harus bersikap toleran kepada pemeluk agama yang lain. Wabil khusus, bukankah kita tak diajarkan falsafah pancasila sebagai rujukan untuk bersikap toleran terhadap sesama manusia yang berlainan agama. Apakah kita sudah lupa doktrin butir-butir pancasila sebagai rujukan moral agar tercipta kerukunan dan keharmonisan di tengah-tengah masyarakat. Pancasila itulah standar moral insan Indonesia di dalam berkehidupan masyarakat. Tinggal lagi ruh pancasila sekarang ini sudah mulai pudar sehingga jika terjadi apa-apa di tengah-tengah masyarakat, ujung-ujungnya agama didakwa sebagai yang kurang modern dan bila perlu agama pun layak di-update karena dianggap sudah ketinggalan jaman.

Yang paling aneh adalah menyamakan ajaran Islam dengan budaya Arab. Perlu diketahui bahwa Islam itu bukan budaya Arab. Islam itu datang dari langit dan diturunkan kebetulan di Tanah Arab. Tak perlu ditanya mengapa harus di tanah Arab karena itu rahasia Allah dan tak perlu dikaji dasar ilmiahnya. Manusia dengan segala keangkuhan akalnya sudah pasti tak sanggup jika diperhadapkan dengan ilmu Allah apalagi menilai benar tidaknya dan layak tidaknya ajaran Allah sejak jaman dulu hingga sekarang. Harus dipahami bahwa Islam itu universal dan tunggal. Karena ia tunggal maka tak perlu ada Islam berdeiktik nusantara alias punya embel-embel nusantara. Itulah rujukan standar moral agama bagi seluruh umat Islam dunia dan bukan hanya di Nusantara.

Kita juga tak perlu membenci Islam Arab dengan segala label negatif yang diletakkan padanya. Menutup aurat itu bukan budaya Arab melainkan syariat. Jika jilbab ini menjadi konsumsi umum sebagai budaya Arab sudah dapat diduga akan banyak kaum muslimat yang tidak menutup aurat karena sudah terbangun perasaan benci dengan bangsa Arab, di samping mungkin kajian fiqih INUS yang membolehkan menaggalkan jilbab. Belum lagi dampak secara ekonomis bagi  pengusaha kain jilbab di Indonesia yang akan hancur karena ketiadaan kaum muslimat mengenakan jilbab setiap hari. Oleh karena itu, kita tak perlu lagi menggiring ajaran Islam ke ranah abu-abu karena Islam itu sendiri sudah jelas mana yang benar dan mana yang bathil (QS: 100). Dalam hal ini Imam Syafi’I pernah berpesan bahwa kaum muslimin telah sepakat (ijma’) bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah (ajaran bimbingan rasul ) maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena alasan pendapat lain. Kita juga harus sadar bahwa bahasa Arab telah berjasa kepada bahasa Indonesia yang telah menyumbangkan lebih dari 15% perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia yang diadopsi dari bahasa Arab dan Qur’an. Masihkan kita alergi dengan Arab ?

 

Langgam Membaca Al-Quran.

Menyoal membaca Al-quran dengan langgam yang sudah standard di seluruh dunia mengundang pro-kontra juga. Entah apalagi yang salah dalam ghinnah(lagu) seni membaca Al-quran ini sehingga harus dipinjam dan diganti persis seperti langgam yang mengiringi musik karawitan atau gamelan yang bernada slendro dan pelog. Entah apa pula korelasinya dengan  toleransi dan dampaknya dalam menekan radikalisme. Perlu diketahui bahwa penetapan sebuah langgam membaca Al-quran dahulu adalah melalui proses yang panjang hingga melahirkan model langgam yang ada sekarang ini. Langgam yang bermuatan seni itu harus disesuaikan dengan hukum memendekkan, memanjangkan dan mendengungkan yang dituntun dalam hukum tajwid (Ikhfa’, idzhar, idhgoom dll). Jadi kondisi atau redaksi teks bacaanlah yang mengkonstruksi ghinnah (lagu) dan buka sebaliknya. Lagipula langgam yang ada sekarang sudah begitu familiar yang bukan saja sekedar seni untuk seni tetapi juga merupakan daya penguat emosi keagamaan ketika ayat-ayat Allah dilantunkan. Bisa membuat pendengarnya merasa dekat dengan Allah, sementara bila melantunkan menurut langgam daerah tertentu boleh jadi akan mengingatkan kepada leluhurnya. Jadi bukan karena persoalan selera, melainkan itulah langgam yang pas sesuai dengan petunjuk Tuhan sejak dari dulu.

Kemudian klaim-klaim bahwa budaya kitalah yang paling unggul dibandingkan dengan budaya bangsa lain juga sebuah arogansi budaya karena di dalam teori budaya tidak lagi mengenal apa yang dinamakan istilah absolutisme budaya (cultural absolutism) karena budaya suatu bangsa tidak boleh dipandang dan dinilai dari perspektif budaya kita sendiri karena budaya itu relatif (cultural relativism).  Terkait dengan kompromi Islam dengan budaya Indonesia yang dikemas dalam INUS, apakah kita lantas menyebut keislaman kita yang paling unggul dibandingkan dengan keislaman bangsa lain yang kebetulan berbeda budaya itu.

Penutup

Oleh karena INUS hanya sebuah gagasan yang belum memiliki body pengetahuan (body of knowledge) secara ontologi, apalagi dari segi epistemologinya masih dalam taraf mencari bentuk sementara dari perspektif aksiologinya masih mengundang pro dan kontra, maka dapat diduga bahwa gagasan INUS ini akan sukar diterima khalayak ramai bukan saja dari luar warga NU tetapi juga sebahagian besar dari internal NU itu sendiri.  INUS hanya sebuah projek testing the water yang apabila tidak mengundang konflik mungkin akan tetap dilanjutkan. Sebaliknya, apabila mengundang pro dan kontra yang tak berkesudahan mungkin projek ini akan dihentikan. Namun tetap bergantung kepada konstelasi politik masa depan karena projek ini sukar sekali menafikan adanya support dari pihak penguasa dalam hal pendanaannya tak terkecuali dari pihak lain. Wallohu a’lam

Penulis adalah guru besar Unimed

Pewarta: -

Editor : Akung


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018