Tahun 2018 ialah tahun politik, ini ditandai dengan diselenggarakan pesta demokrasi yaitu Pemilihan kepala daerah (Pilkada).  

Sumatera Utara juga menjadi medan pertarungan para calon Gubernur yang kan maju tuk memenangkan provinsi ini. Yang memiliki potensi luar biasa, baik dari tambang, perkebunan dll.

Berbagai partai terus menimbang-nimbang terkait calon yang kan 'dilamar' dan diusung tuk maju di Pilkada Sumut.

Gerindra, PKS, PAN, Golkar, Nasdem dan Hanura resmi berkoalisi mengusung Cagub Edy Rahmayadi sementara PDIP mengusung Djarot Saiful Hidayat serta Partai Demokrat mencalonkan kader partainya sendiri yaitu JR Saragih.

Kondisi seperti ini yang dianggap 'panas' karena berbagai partai berebut pengaruh untuk mendapatkan tempat bagi kadernya di setiap daerah yang mengikuti pilkada serentak. 

Belum lagi kita hitung-hitungan terkait benefitnya, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa tuk menghadapi pilkada baik partai atau calon yang akan maju siap dengan modal besar.  

Meskipun pemerintah menganggarkan biaya pilkada serentak sebesar Rp 7 Triliun di 269 daerah, yang terdiri dari 9 Provinsi, 36 Kota dan 224 Kabupaten. Jumlah ini baru 53 persen dari jumlah kepala daerah yang harus dipilih secara langsung.  

Modal besar dalam pilkada sudah pernah oleh Menteri Dalam Negeri Fauzi Gamawan yang menyatakan bahwa untuk menjadi calon kepala daerah dibutuhkan dana puluhan hingga ratusan milyar. Angka itu tak sebanding dengan gaji yang ditetapkan oleh seorang kepala daerah. 

Maka tak heran banyak kepala daerah yang menjadi terdakwa dan harus merikuk di balik jeruji besi karena terkait kasus korupsi. Kita juga harus berkaca pada Gubernur Sumut yang sebelumnya, akhirnya menjadi bagian dari kepala daerah berada di jeruji besi.  

Rakyat Harus Cerdas

Setiap orang boleh berbeda dalam pandangan partai mana yang dianggap bisa mengemban amanah, tapi dibalik itu semua elemen masyarakat menginginkan satu hal yang dianggap dapat dicapai lewat pesta yang tampaknya berbeda dengan pesta-pesta sebelumnya: perubahan. 

Perubahan, ia adalah satu kata yang banyak menimbulkan perbedaan serta perselisihan dalam mendefinisikan tentang makna dan khususnya bagaimana caranya.  

Tidak sedikit yang memberi standar atau tolak ukur perubahan itu sendiri, setiap partai menjanjikan perubahan itu menurut versinya sendiri-sendiri.  

Ada yang berpendapat perubahan yang urgen adalah perubahan hukum menjadi lebih tegas. Ada lagi yang berpendapat harus dimulai dari perekonomian, ada juga yang beranggapan akhlak dan moral-lah yang harus diubah terlebih dahulu.  

Lebih radikal lagi malah meyakini bahwa perubahan haruslah dimulai dari dasar negara ini, yaitu sistem pemerintahan, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Terlepas dari benar dan salahnya analisis mereka tentang apa yang perlu diubah terlebih dahulu, mereka juga menentukan metode atau jalan yang akan ditempuh agar perubahan yang mereka inginkan itu agar tercapai. 


Tujuan Mulia Tidak Menghalakan Segala Cara  

Perang opini (kampanye) akan menghiasi baliho atau media lainnya dari berbagai parpol. Termasuk parpol Islam akan mencoba menggalang suara dan memanfaatkan emosional yang muncul di kalangan kaum muslimin agar serentak memilih partai Islam untuk menghadang kekuatan kaum kafir.  

Ada pula kelompok yang berpendapat, bahwa walaupun demokrasi bukan berasal dari Islam dan tidak sesuai dengan Islam, tetapi masih bisa dimanfaatkan (lewat pemilu) selama kaum muslim punya komitmen.  

Jelas sekali bahwa kekhawatiran-kekhawatiran, pertimbangan-pertimbangan yang ada di atas adalah berdasarkan penilaian akal semata -bukan realita- dan berdasarkan timbangan asas-manfaat -bukan syari’at-.  

Dalam pandangan syara’ pemilu itu adalah wasilah (sarana/perantaraan) yang dapat menghantarkan kepada suatu perbuatan yang haram, sehingga wasilah itu pun haram, dalam hal ini kaidah syara’ yang digunakan adalah 

"Wasilah (perantaraan) yang menghantarkan kepada perbuatan haram hukumnya haram”"

Dan sesungguhnya, perbuatan berdasarkan akal dan asas-manfaat tidak dapat menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.  

Fungsi akal disini hanyalah untuk memahami dalil-dalil syara’, sehingga seharusnya seseorang tidaklah menentukan sikap atau beraktivitas berdasarkan hal ini.

Selain itu, ketakutan dan kekhawatiran manakala umat muslim akan tertindas bila kaum kafir yang jadi pemimpin, inipun kekhawatiran yang tidak nyata dan atas dasar “andai-andai”.

Islam adalah agama yang unik, satu-satunya agama yang mengatur manusia baik ibadah (ruhiyah) maupun dalam hal kehidupan/politik (siyasah).  

Karena itu sebagai kosekuensi dari iman seseorang, maka iman itu mengharuskan semua perbuatan manusia terikat pada hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan. 

Seorang mu’min akan senantiasa mendasarkan segala aktivitasnya pada hukum-hukum yang telah diturunkan kepadanya dan tidak mengadakan hal-hal baru. Termasuk dalam aktivitas perubahan ini, karena Nabi saw. telah bersabda 

"Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka tertolak. 

Cukuplah ini menjadi pengingat kita bahwa setiap perbuatan atas pilihan kita kan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. 

(Penulis adalah Pemerhati Politik dan Pengasuh Forum Muslimah Cinta Islam)


Pewarta: Rindyanti Septiana

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018