Medan, 23/10 (Antarasumut) - Etnis Mandailing berbeda dengan Batak sehingga sebagian besar etnis Mandailing enggan disamakan dengan fengan etnis Batak.

Itu mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Mandailing Bukan Batak" yang diselenggarakan Yayasan Madina Centre di Hotel Madani, Medan, Senin.

Sebagian etnis Mandailing yang mengikuti diskusi tersebut juga menolak secara tegas disebut atau bagian dari Batak.

Peneliti Pussis Universitas Negeri Medan (UNIMED) Erron Damanik mengungkapkan, etnis Mandailing telah menolak disebut Batak sejak tahun 1922.

Sikap itu diikuti etnis Karo yang menolak disebut Batak sejak 1952, Simalungun sejak 1963, dan Pakpak menolak sejak 1964. Hanya etnis Toba dan Angkola saja yang tetap menerima disebut Batak. 

Mengutip pendapat sejarawan Vinner (1980), perbedaan mendasar dari kelompok etnik itu adalah yang  memiliki perbedaan bahasa yang mencolok.

“Tidak ada yang disebut Batak, yang ada adalah Mandailing, Toba, Pakpak, Karo, Simalungun dan Angkola. Batak adalah ahistoris," katanya.

Antropolog dari Unimed Prof Usman Pelly mengatakan, tidak ada satu pun kata Batak yang bisa ditemukan dalam khasanah atau pun manuskrip kuno baik dari khasanah Toba, Angkola, Karo, Pakpak, Simalungun apalagi Mandailing.

Ia mencontohkann stempel Raja Sisingamangaraja XII hanya tertulis sebagau Si Raja Toba, namun tidak ada meyebutkan diri sebagai Raja Batak.

Namun ia menegaskan, pendapatnya itu adalah hasil penelitian akademis, bukan pendapat untuk memecah belah persatuan, apalagi pendapat dalam konteks kepentingan politik elektoral.

Sementara itu, sejarawan asal Sumut Dr Ichwan Azhari menyatakan, berdasarkan banyak literatur, istilah Batak digunakan para peneliti asing untuk menunjukkan lokasi geografis masyarakat.

Batak digunakan untuk mendeskripsikan masyarakat yang mendiami wilayah hinterland atau dataran tinggi. Sedangkan masyarakat pesisir diidentikan dengan melayu.

Identitas ini kemudian mendapat perbantahan utamanya dari masyarakat Mandailing. Mandailing menolak disebut sebagai Batak. “Tidak ada yang konsisten menolak Batak selain Mandailing,” kata Ichwan.

Batak, menurut Ichwan, muncul karena adanya penulis yang setuju penggunaan istilah Batak untuk menggambarkan etnik-etnik yang ada mulai dari Mandailing, Toba, Angkola, Karo, Pakpak hingga Simalungun.

Kondisi ini diperparah dengan minimnya riset yang dilakukan. Riset-riset selama ini justru didominasi oleh peneliti asing. “Untuk bisa melawan itu sebanyak mungkin bisa menulis melakukan riset-riset, kegelisahan-kegelisahan ini bisa melahirkan kajian-kajian,” ungkapnya.

Pewarta: Irwan arfa

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2017