Oleh D.Dj. Kliwantoro
Semarang, 5/2 (Antara) - Korban awan panas erupsi Gunung Sinabung Doni Sembiring mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Efarina Etaham di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Rabu pukul 03.00 WIB. Dengan demikian, total korban yang meninggal dunia bertambah menjadi 16 orang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada hari Rabu (5/2) merilis nama-nama korban yang meninggal dunia, antara lain Alexander Sembiring (17), Daud Surbakti (17), Diva Nusantara, David Brahmana (17), Mahal Surbakti (25), dan Rizal Saputra (23).
Yang lainnya, yakni Teken Sembiring (47), Santun Siregar (22), Fitriani Boru Napitupulu (19), Asran Lubis (21), Marudut Brisnu (25), Daniel Siagian, Tomas Lakae (27), Zulfian Dimuri (21), Surya Sembiring (24), dan terakhir Doni Sembiring (70) serta seorang luka-luka bernama Sehat Sembiring (48).
Kendati demikian, meninggalnya pria berusia 70 tahun itu belum mendorong Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden RI mengenai penetapan status erupsi Gunung Sinabung sebagai bencana nasional. Bahkan, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menegaskan bahwa Sinabung bukan bencana nasional.
Tak pelak, belum adanya penetapan status tersebut menimbulkan pertanyaan di tengah publik. Sutopo P.N. pun lantas mengatakan bahwa penetapan itu berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Dalam Pasal 7 Ayat (2) UU No. 24/2007, disebutkan bahwa penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Penetapan status darurat bencana untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota oleh bupati/wali kota. "Ketentuan penetapan status dan tingkatan bencana diatur dengan peraturan presiden (perpres)," kata Sutopo P.N.
Hingga saat ini, perpres tersebut belum ditetapkan karena belum adanya kesepakatan berbagai pihak. Draf Prepres atau Raperpres Penetapan Status dan Tingkatan bencana ini sudah dibahas lintas sektor dan lembaga nonpemerintah sejak 2009 hingga sekarang. Berulang kali dibahas dengan unsur pengarah BNPB, bahkan telah dilakukan lokakarya (workshop) nasional. Namun, kata Sutopo P.N., belum ada kesepakatan.
Sutopo P.N. lantas menjelaskan yang dimaksud tingkatan bencana, yakni keadaan di suatu tempat yang terlanda oleh jenis bencana tertentu dan dinilai berdasarkan jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan wilayah, dan dampak sosial ekonomi, yang dibedakan menjadi lokal, daerah, dan nasional. Status Bencana membedakan bencana ringan, sedang, dan berat sesuai dengan indikator tersebut.
Kesulitan utama adalah penentuan besaran dari masing-masing indikator. Dalam draf perpres bencana tingkat lokal (kabupaten/kota) jika jumlah korban jiwa kurang dari 100 orang, kerugian kurang dari Rp1 miliar, cakupan wilayah kurang dari 10 kilometer persegi, pemerintah daerah masih mampu menangani berdasar sumber daya manusia (SDM), sumber daya finansial, dan pemerintahan masih berjalan.
Bencana tingkat provinsi jika jumlah korban kurang dari 500 orang, kerugian kurang dari Rp1 triliun, cakupan wilayah lebih dari satu kabupaten/kota, pemerintah provinsi masih berjalan.
Bencana nasional indikatornya korban lebih dari 500 orang, kerugian lebih dari Rp1 triliun, cakupannya beberapa kabupaten/kota lebih dari satu provinsi, dan pemprov dan pemkab tidak mampu mengatasinya.
Yang utama adalah apakah sistem pemerintahan di daerah kabupaten/kota masih berjalan. Sebab, bupati/wali kota adalah penangggung jawab utama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerahnya. Pemprov dan pemerintah pusat memberikan penguatan pemkab/pemkot.
Hanya Tsunami Aceh
Di Indonesia, Presiden menyatakan bencana nasional baru sekali, yaitu saat tsunami Aceh 2004. Korban bencana saat itu lebih dari 180.000 jiwa tewas dan hilang, kerugian lebih dari Rp45 triliun, pemkab/pemkot dan dua pemprov--Aceh dan Sumut--tidak mampu mengatasi.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo P.N. menegaskan hanya bencana tsunami Aceh 2004 yang dinyatakan Presiden sebagai bencana nasional. Bencana yang lain tidak ada diklasifikasikan sebagai bencana nasional.
Sutopo P.N. lantas mencontohkan bencana gempa Yogya 2006 menimbulkan korban 5.716 jiwa tewas, kerugian Rp29 triliun, dan berdampak pada dua provinsi (DIY dan Jateng).
Gempa Sumbar 2009 menimbulkan korban 1.117 jiwa, kerusakan di sembilan kabupaten/kota, dan kerugian Rp 21 triliun. Kemudian, erupsi Gunung Merapi 2010 menimbulkan korban jiwa 386 orang tewas, empat kabupaten, dan dua provinsi terdampak, pengungsi 0,5 juta jiwa, dan kerugian Rp3,56 triliun. Semua bencana dengan dampak yang lebih besar daripada Sinabung, Presiden tidak menyatakan sebagai bencana nasional.
Bagaimana dengan erupsi Gunung Sinabung? Pemerintah Kabupaten Karo dan Pemprov Sumut masih utuh dan berjalan normal. Kendati demikian, BNPB hadir sejak awal dan memegang kendali penuh penanganan darurat dengan mengerahkan potensi nasional untuk mendampingi Pemkaba Karo dan Pemprov Sumut.
Bupati Karo dan Gubernur Sumut beserta satuan kerja perangkat daerah (SKPD)-nya masih mampu menjalankan pemerintahan sehari-hari. Tidak ada "chaos" yang menyebabkan pemerintahan lumpuh. "Meskipun bantuan yang diberikan untuk penanganan darurat Sinabung hampir lebih dari 95 persen berasal dari Pusat, bukan berarti bencana nasional," tegas Sutopo P.N.
Bahkan, lanjut Sutopo P.N., nanti hingga pascabencana dengan rehabilitasi dan rekonstruksi bencana pun, Pusat akan tetap membantu. Sinabung masih bencana daerah. Ini hanya masalah "leadership" dalam penanganan bencana.
Belum adanya Badan Penanggulang Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karo juga menyebabkan penanganan belum optimal awalnya. BPBD Provinsi Sumut sangat terbatas anggarannya sehingga tidak mampu mendukung sepenuhnya.
Bahkan, kata dia, Kepala BNPB Syamsul Maarif hingga Rabu (5/2) masih berada di Sinabung untuk memimpin Satgasnas Penanganan Erupsi G. Sinabung dengan mengerahkan potensi nasional.
"Jadi, polemik tentang bencana nasional atau daerah sebaiknya dihentikan. Bencana daerah pun pemerintah pusat menangani bencana Sinabung. Lebih dari Rp43 miliar dana yang dikucurkan BNPB dan kementerian/lembaga sejak September 2013 untuk penanganan Sinabung," katanya dalam pesan singkatnya.
Masih banyak dana yang akan dikucurkan oleh Pemerintah, bahkan hingga pascabencana. Dalam setiap bencana, BNPB selalu hadir memberikan pendampingan kepada BPBD, baik memberikan bantuan dana, logistik, peralatan, manajemen, maupun administrasi. Ini semua dilakukan agar daerah bisa tangguh menghadapi bencana.
"Yang perlu kita dorong adalah bagaimana bencana menjadi prioritas pembangunan daerah, alokasi anggaran untuk bencana dari APBD ditingkatkan, personel pemda yang ahli dan profesional ditempatkan di BPBD dan lainnya. Bupati dan gubernur juga harus bertanggung jawab menangani bencana di daerah," ujarnya.
Apa pun statusnya, yang utama adalah jangan sampai para korban di 42 pengungsian yang jumlahnya hingga Selasa (4/2) mencapai 31.739 jiwa dari 9.915 kepala keluarga telantar. Mereka harus memperoleh asupan gizi yang cukup agar tetap dalam kondisi sehat.
Sudah saatnya semua pihak, baik Pemerintah maupun semua komponen masyarakat, bahu-membahu menghadapi bencana yang melanda sejumlah daerah di Tanah Air, baik akibat erupsi gunung, tanah longsor, maupun banjir. (D007)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014
Semarang, 5/2 (Antara) - Korban awan panas erupsi Gunung Sinabung Doni Sembiring mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Efarina Etaham di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Rabu pukul 03.00 WIB. Dengan demikian, total korban yang meninggal dunia bertambah menjadi 16 orang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada hari Rabu (5/2) merilis nama-nama korban yang meninggal dunia, antara lain Alexander Sembiring (17), Daud Surbakti (17), Diva Nusantara, David Brahmana (17), Mahal Surbakti (25), dan Rizal Saputra (23).
Yang lainnya, yakni Teken Sembiring (47), Santun Siregar (22), Fitriani Boru Napitupulu (19), Asran Lubis (21), Marudut Brisnu (25), Daniel Siagian, Tomas Lakae (27), Zulfian Dimuri (21), Surya Sembiring (24), dan terakhir Doni Sembiring (70) serta seorang luka-luka bernama Sehat Sembiring (48).
Kendati demikian, meninggalnya pria berusia 70 tahun itu belum mendorong Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden RI mengenai penetapan status erupsi Gunung Sinabung sebagai bencana nasional. Bahkan, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menegaskan bahwa Sinabung bukan bencana nasional.
Tak pelak, belum adanya penetapan status tersebut menimbulkan pertanyaan di tengah publik. Sutopo P.N. pun lantas mengatakan bahwa penetapan itu berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Dalam Pasal 7 Ayat (2) UU No. 24/2007, disebutkan bahwa penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Penetapan status darurat bencana untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota oleh bupati/wali kota. "Ketentuan penetapan status dan tingkatan bencana diatur dengan peraturan presiden (perpres)," kata Sutopo P.N.
Hingga saat ini, perpres tersebut belum ditetapkan karena belum adanya kesepakatan berbagai pihak. Draf Prepres atau Raperpres Penetapan Status dan Tingkatan bencana ini sudah dibahas lintas sektor dan lembaga nonpemerintah sejak 2009 hingga sekarang. Berulang kali dibahas dengan unsur pengarah BNPB, bahkan telah dilakukan lokakarya (workshop) nasional. Namun, kata Sutopo P.N., belum ada kesepakatan.
Sutopo P.N. lantas menjelaskan yang dimaksud tingkatan bencana, yakni keadaan di suatu tempat yang terlanda oleh jenis bencana tertentu dan dinilai berdasarkan jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan wilayah, dan dampak sosial ekonomi, yang dibedakan menjadi lokal, daerah, dan nasional. Status Bencana membedakan bencana ringan, sedang, dan berat sesuai dengan indikator tersebut.
Kesulitan utama adalah penentuan besaran dari masing-masing indikator. Dalam draf perpres bencana tingkat lokal (kabupaten/kota) jika jumlah korban jiwa kurang dari 100 orang, kerugian kurang dari Rp1 miliar, cakupan wilayah kurang dari 10 kilometer persegi, pemerintah daerah masih mampu menangani berdasar sumber daya manusia (SDM), sumber daya finansial, dan pemerintahan masih berjalan.
Bencana tingkat provinsi jika jumlah korban kurang dari 500 orang, kerugian kurang dari Rp1 triliun, cakupan wilayah lebih dari satu kabupaten/kota, pemerintah provinsi masih berjalan.
Bencana nasional indikatornya korban lebih dari 500 orang, kerugian lebih dari Rp1 triliun, cakupannya beberapa kabupaten/kota lebih dari satu provinsi, dan pemprov dan pemkab tidak mampu mengatasinya.
Yang utama adalah apakah sistem pemerintahan di daerah kabupaten/kota masih berjalan. Sebab, bupati/wali kota adalah penangggung jawab utama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerahnya. Pemprov dan pemerintah pusat memberikan penguatan pemkab/pemkot.
Hanya Tsunami Aceh
Di Indonesia, Presiden menyatakan bencana nasional baru sekali, yaitu saat tsunami Aceh 2004. Korban bencana saat itu lebih dari 180.000 jiwa tewas dan hilang, kerugian lebih dari Rp45 triliun, pemkab/pemkot dan dua pemprov--Aceh dan Sumut--tidak mampu mengatasi.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo P.N. menegaskan hanya bencana tsunami Aceh 2004 yang dinyatakan Presiden sebagai bencana nasional. Bencana yang lain tidak ada diklasifikasikan sebagai bencana nasional.
Sutopo P.N. lantas mencontohkan bencana gempa Yogya 2006 menimbulkan korban 5.716 jiwa tewas, kerugian Rp29 triliun, dan berdampak pada dua provinsi (DIY dan Jateng).
Gempa Sumbar 2009 menimbulkan korban 1.117 jiwa, kerusakan di sembilan kabupaten/kota, dan kerugian Rp 21 triliun. Kemudian, erupsi Gunung Merapi 2010 menimbulkan korban jiwa 386 orang tewas, empat kabupaten, dan dua provinsi terdampak, pengungsi 0,5 juta jiwa, dan kerugian Rp3,56 triliun. Semua bencana dengan dampak yang lebih besar daripada Sinabung, Presiden tidak menyatakan sebagai bencana nasional.
Bagaimana dengan erupsi Gunung Sinabung? Pemerintah Kabupaten Karo dan Pemprov Sumut masih utuh dan berjalan normal. Kendati demikian, BNPB hadir sejak awal dan memegang kendali penuh penanganan darurat dengan mengerahkan potensi nasional untuk mendampingi Pemkaba Karo dan Pemprov Sumut.
Bupati Karo dan Gubernur Sumut beserta satuan kerja perangkat daerah (SKPD)-nya masih mampu menjalankan pemerintahan sehari-hari. Tidak ada "chaos" yang menyebabkan pemerintahan lumpuh. "Meskipun bantuan yang diberikan untuk penanganan darurat Sinabung hampir lebih dari 95 persen berasal dari Pusat, bukan berarti bencana nasional," tegas Sutopo P.N.
Bahkan, lanjut Sutopo P.N., nanti hingga pascabencana dengan rehabilitasi dan rekonstruksi bencana pun, Pusat akan tetap membantu. Sinabung masih bencana daerah. Ini hanya masalah "leadership" dalam penanganan bencana.
Belum adanya Badan Penanggulang Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karo juga menyebabkan penanganan belum optimal awalnya. BPBD Provinsi Sumut sangat terbatas anggarannya sehingga tidak mampu mendukung sepenuhnya.
Bahkan, kata dia, Kepala BNPB Syamsul Maarif hingga Rabu (5/2) masih berada di Sinabung untuk memimpin Satgasnas Penanganan Erupsi G. Sinabung dengan mengerahkan potensi nasional.
"Jadi, polemik tentang bencana nasional atau daerah sebaiknya dihentikan. Bencana daerah pun pemerintah pusat menangani bencana Sinabung. Lebih dari Rp43 miliar dana yang dikucurkan BNPB dan kementerian/lembaga sejak September 2013 untuk penanganan Sinabung," katanya dalam pesan singkatnya.
Masih banyak dana yang akan dikucurkan oleh Pemerintah, bahkan hingga pascabencana. Dalam setiap bencana, BNPB selalu hadir memberikan pendampingan kepada BPBD, baik memberikan bantuan dana, logistik, peralatan, manajemen, maupun administrasi. Ini semua dilakukan agar daerah bisa tangguh menghadapi bencana.
"Yang perlu kita dorong adalah bagaimana bencana menjadi prioritas pembangunan daerah, alokasi anggaran untuk bencana dari APBD ditingkatkan, personel pemda yang ahli dan profesional ditempatkan di BPBD dan lainnya. Bupati dan gubernur juga harus bertanggung jawab menangani bencana di daerah," ujarnya.
Apa pun statusnya, yang utama adalah jangan sampai para korban di 42 pengungsian yang jumlahnya hingga Selasa (4/2) mencapai 31.739 jiwa dari 9.915 kepala keluarga telantar. Mereka harus memperoleh asupan gizi yang cukup agar tetap dalam kondisi sehat.
Sudah saatnya semua pihak, baik Pemerintah maupun semua komponen masyarakat, bahu-membahu menghadapi bencana yang melanda sejumlah daerah di Tanah Air, baik akibat erupsi gunung, tanah longsor, maupun banjir. (D007)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014