Jakarta, 31/8 (Antara) - Pimpinan TNI Angkatan Darat beberapa tahun lalu pernah "terpaksa" membubarkan sebuah batalyon yang markasnya di Kota Binjai, Sumatera bukan karena kekurangan senjata atau amunisi atau akibat tiadanya komandan batalyon yang memiliki jiwa perwira TNI-AD yang sejati.

Kenapa pembubaran sebuah batalyon itu sampai harus terjadi, padahal pendirian sebuah satuan tempur pasti telah melalui pertimbangan teknis militer yang juga didukung oleh fasilitas yang memadai serta ditopang oleh dukungan atau bantuan masyarakat setempat.

Gara-garanya hanya sepele yakni ratusan prajurit batalyon tempur ini secara serampangan menyerang sebuah kantor polisi di dekatnya sehingga timbul korban serta rusaknya fasilitas-fasilitas milik polisi.

Akhirnya likuidasi atau pembubaran batalyon itu usai sudah sehingga kemudian ratusan prajurit AD memiliki "rumah" yang baru lagi yakni satuan tempur yang baru lagi.

Peristiwa Binjai itu ternyata tidak berhenti sampai disitu karena kemudian tetap saja terjadi pertikaian- pertikaian antarangkatan terutama TNI-AD dengan prajurit-prajurit dari angkatan lainnya atau Polri serta diantara satu angkatan atau di dalam internal Polri lainnya hanya akibat unsur yang sangat sepele seperti saling mengejek atau gara-gara cewek atau perempuan..

Puncak dari keributan pada tahun ini terjadi ketika sejumlah prajurit Komando Pasukan Khusus(Kopassus) TNI-AD menyerbu Lembaga Pemasyarakatan Cebongan di Yogyakarta.

Peristiwa itu dipicu oleh kematian seorang prajurit Kodam IV Diponegoro yang merupakan eks anggota Kopassus oleh beberapa pria yang kemudian ditahan di LP Cebongan.

Pimpinan tentara di Jawa Tengah langsung membantah keterlibatan militer dalam penyerbuan itu dengan dalih bahwa semua prajurit Kopassus yang bertugas disana berada di asrama.

Namun kemudian Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo membentuk sebuah tim investigasi yang dipimpin Brigadir Jenderal TNI Unggul Yudhoyono untuk menyelidiki kasus pembunuhan di Cebongan itu.

"Saya membentuk tim investigasi untuk mengungkap kasus ini," kata Pramono yang merupakan adik ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Belasan anggota Kopassus yang sejak semula sudah ditahan karena dicurigai melakukan penyerbuan "ala pasukan khusus itu" akhirnya mengakui bahwa telah melakukan pelanggaran hukum yakni menyerbu lembaga pemasyarakatan tersebut.

Begitu kasus Cebongan itu muncul, masyarakat sudah memperkirakan bahwa para penyerbu itu adalah prajurit- prajurit yang sangat terlatih karena memakai topeng serta melakukan kegiatan penyerbuan yang sangat singkat dengan tujuan utama membunuh orang-orang yang telah membunuh prajurit eks Kopassus itu.

Akhirnya gara-gara terbongkarnya kasus penyerbuan LP Cebongan itu, pimpinan militer atau panglima Kodam IV Diponegoro didongkel dari jabatannya.

Ternyata kasus kekerasan itu tetap terjadi lagi, dan kali ini berlangsung di ibu kota negara Jakarta ini, ketika beberapa prajurit muda hampir saat "menyerbu "kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan alias PDIP di kawasan Lenteng Agung, Jakarta hanya gara-gara mengejar semua pemuda tanggung.

Semangat Korsa



Seusai dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada hari Jumat, Panglima TNI Jenderal TNi Moeldoko diserbu wartawan untuk ditanyai tentang tindak pelanggaran hukum yang dilakukan segelintir prajurit TNI.

Moeldoko yang hanya menjadi Kepala Staf TNI-AD selama tiga bulan sebelum menjadi Panglia TNi mengatakan setiap prajutit TNI memang harus memiliki jiwa korps atau korsa yang tinggi.

"Namun korsa itu jangan sampai melanggar hukum," kata Moeldoko yang merupakan lulusan terbaik Akademi Militer tahun 1981.
Moeldoko yang juga pernah menjadi Panglima Kodam III Siliwangi dan Pangdam XII Tandjungpura tentu sudah sangat berpengalaman berhadapan dengan anak-anak buahnya terutama di jajaran TNI-AD yang masih sangat muda sehingga terkesan gampang naik darah atau"panasan".

Salah satu masalah utama yang harus terus dipikirkan oleh Moeldoko dan Kepala Staf TNI AD Letnan Jenderal TNI Budiman adalah bagaimana menyalurkan nafsu"perang" prajurit-prajurit karena jumlah mereka saja saat ini sudah ratusan ribu orang sedangkan di lain pihak semakin sedikit daerah konflik tempat mereka bisa terjun.

Para prajurit yang umumnya berangkat awal prajurit dua dan sersan dua itu hanya dilatih beberapa bulan saja dan yang diutamakan adalah bagaimana mereka bisa mengerti dan menguasai senjata mulai dari pistol, senapan hingga panser serta tank.

Pertanyaan yang bisa timbul pada orang awam adalah apakah kepada mereka juga diajarkan bagaimana memiliki jiwa korsa seperti dikatakan Jenderal Moeldoko tanpa melanggar hukjum sedikitpun.

Pada tahun-tahun mendatang TNI terutama TNI-AD akan terus menerima banyak prajurit sedangkan " lahan pertempuran" semakin terbatas atau kian berkurang.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pimpinan TNI, TNI-AD, TNI-AU, TNI-AL serta juga Polri bisa menyalurkan" hasrat perang" ratusan ribu prajuritnya secara wajar tanpa menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat.

Setiap angkatan dan Polri memiliki dinas psikologi yang selama ini cuma dimanfaatkan" ala kadarnya" atau tidak maksimal.
Kenapa kini Moeldoko dan ketiga kepala staf angkatannya tidak memaksimalkan penggunaan jasa psikologi yang ada di dinas-dinas itu sehingga jiwa korsa itu dapat disalurkan tanpa menimbulkan gesekan hukum khususnya oleh prajurit-prajurit muda yang umumnya masih" berdarah panas" itu.

Panglima TNI Jenderal Moeldoko tentu mempunyai 1001 " pekerjaan rumah" yang sangat strategis seperti bagaimana mengamankan Pemilu 2014, mengamankan jalannya pemilihan presiden dan wapres, serta bagaimana membangun kekuatan minimal esensial TNI.

Sekalipun begitu banyak tugas yang mendasar, Moeldoko juga harus memikirkan bagaimana menjaga martabat dan kehormatan diri ratusan ribu prajuritnya sehingga di masa mendatang tidak lagi terdengar kabar buruk dan memalukan seperti kasus Binjai dan Cebongan. (A011)

Pewarta: Arnaz Firman

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013