Langkat, Sumut, 30/7 (Antara) - Lahan sekitar 25.000 hektare berisi hutan mangrove (bakau) di kabupaten Langkat Sumatera Utara kini kondisinya rusak parah akibat dirambah menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambakan. "Ini fakta yang ditemui di lapangan," kata Ketua Presidium Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Region Sumatera Tajruddin Hasibuan di Stabat, Selasa.
Di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, luasan mangrove menurun sebesar 59.68 persen dari 103,425 hektare di tahun 1977 menjadi 41,700 hektare di tahun 2006, katanya.
Sementara untuk Kabupaten Langkat, Tajruddin menyebutkan hutan mangrove yang ada seluas 35.000 hektare, kini kondisinya 25.000 hektare dalam kedaaan rusak parah dan 10.000 hektare saja yang kondisinya baik.
"Jadi ada sekitar 25.000 hektare kondisi hutan mangrove di Langkat sudah rusak parah dan sangat benar-benar memprihatinkan karena dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, tambak udang" kata Tajruddin.
Akibatnya terjadi penurunan kuantitas dan kualitas mangrove disebabkan oleh perluasan tambak udang dan perkebunan sawit di wilayah pesisir. Akibatnya, selain merusak ekosistem pesisir, juga berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan tradisional, katanya.
Inisiatif nelayan untuk terlibat aktif dalam kegiatan penyelamatan hutan mangrove sudah banyak dilakukan akan tetapi belum mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah.
Dalam kasus pengembalian hutan mangrove di Langkat (Sumatera Utara) seluas 1.200 hektare yang sebelumnya dilaihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, nelayan harus berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Padahal jelas-jelas berbagai perusahaan swasta telah melakukan alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit, katanya.
Tajruddin juga mengungkapkan bahwa intimidasi dan teror terhadap nelayan yang dilakukan hingga kini masih terus terjadi.
Terakhir, Selasa (9/7), nelayan Langkat mendapati sedikitnya 200 ribu bibit mangrove dari 700 ribu bibit yang dipersiapkan untuk melengkapi penanaman hutan mangrove di lahan seluas 1.200 hektare tersebut mati karena disiram bahan kimia oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Sementara indikasi kuat dari lapangan didapati bahwa yang melakukan tindakan pengrusakan bibit tersebut merupakan orang-orang yang pro terhadap konversi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit, katanya.
Aktivitas konversi hutan mangrove hingga saat ini masih banyak terjadi, bersamaan dengan peringatan "Hari Mangrove Sedunia 2013".
Untuk itu KNTI mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan pencabutan terhadap perizinan usaha dan atau proyek pembangunan kebun kelapa sawit, pertambakan udang, reklamasi pantai, yang menyebabkan hilangnya hutan mangrove.
Pemerintah juga harus lebih memprioritaskan dukungannya terhadap inisiatif masyarakat nelayan dalam merehabilitasi mangrove, di antaranya di Langkat dan Serdang Bedagai dalam menyikapi makin maraknya praktek pengrusakan hutan mangrove.***4*** (T.KR-IFZ/B/E.S. Syafei/E.S. Syafei) 30-07-2013 15:00:15
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013
Di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, luasan mangrove menurun sebesar 59.68 persen dari 103,425 hektare di tahun 1977 menjadi 41,700 hektare di tahun 2006, katanya.
Sementara untuk Kabupaten Langkat, Tajruddin menyebutkan hutan mangrove yang ada seluas 35.000 hektare, kini kondisinya 25.000 hektare dalam kedaaan rusak parah dan 10.000 hektare saja yang kondisinya baik.
"Jadi ada sekitar 25.000 hektare kondisi hutan mangrove di Langkat sudah rusak parah dan sangat benar-benar memprihatinkan karena dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, tambak udang" kata Tajruddin.
Akibatnya terjadi penurunan kuantitas dan kualitas mangrove disebabkan oleh perluasan tambak udang dan perkebunan sawit di wilayah pesisir. Akibatnya, selain merusak ekosistem pesisir, juga berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan tradisional, katanya.
Inisiatif nelayan untuk terlibat aktif dalam kegiatan penyelamatan hutan mangrove sudah banyak dilakukan akan tetapi belum mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah.
Dalam kasus pengembalian hutan mangrove di Langkat (Sumatera Utara) seluas 1.200 hektare yang sebelumnya dilaihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, nelayan harus berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Padahal jelas-jelas berbagai perusahaan swasta telah melakukan alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit, katanya.
Tajruddin juga mengungkapkan bahwa intimidasi dan teror terhadap nelayan yang dilakukan hingga kini masih terus terjadi.
Terakhir, Selasa (9/7), nelayan Langkat mendapati sedikitnya 200 ribu bibit mangrove dari 700 ribu bibit yang dipersiapkan untuk melengkapi penanaman hutan mangrove di lahan seluas 1.200 hektare tersebut mati karena disiram bahan kimia oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Sementara indikasi kuat dari lapangan didapati bahwa yang melakukan tindakan pengrusakan bibit tersebut merupakan orang-orang yang pro terhadap konversi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit, katanya.
Aktivitas konversi hutan mangrove hingga saat ini masih banyak terjadi, bersamaan dengan peringatan "Hari Mangrove Sedunia 2013".
Untuk itu KNTI mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan pencabutan terhadap perizinan usaha dan atau proyek pembangunan kebun kelapa sawit, pertambakan udang, reklamasi pantai, yang menyebabkan hilangnya hutan mangrove.
Pemerintah juga harus lebih memprioritaskan dukungannya terhadap inisiatif masyarakat nelayan dalam merehabilitasi mangrove, di antaranya di Langkat dan Serdang Bedagai dalam menyikapi makin maraknya praktek pengrusakan hutan mangrove.***4*** (T.KR-IFZ/B/E.S. Syafei/E.S. Syafei) 30-07-2013 15:00:15
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013