Medan, 29/7 (Antara) - Kalangan perusahaan diingatkan untuk tidak "mengakali" pembayaran tunjangan hari raya dengan cara licik atau menafsirkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai kepentingannya.
"Pengusaha jangan akal-akal supaya tidak perlu membayar THR", kata Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia - Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KSPI-FSPMI) Sumut Minggu Saragih di Medan, Senin.
Menurut Saragih, sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) nomor 4 tahun 1994 tentang THR, pengusaha wajib membayar THR paling lambat H-7 Lebaran dengan besaran satu bulan upah atau proporsional bagi buruh yang bermasa kerja kurang satu tahun.
Namun dari pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan masih ada kalangan pengusaha yang mencari-cari alasan dan cara agar tidak dikenakan kewajiban pembayaran THR.
Alasan pertama yang sering digunakan untuk menolak pembayaran THR adalah menganggap Permenakertrans 4/1994 tidak berlaku lagi karena telah diganti dengan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Anggapan tersebut dinilai keliru karena Permenakertrans 4/1994 tetap berlaku selama tidak dicabut. Apalagi semua peraturan turunan dari UU 13/2003 tetap berlaku sepanjang nilainya lebih baik dan tidak bertentangan dengan UU.
Kemudian, kalangan pengusaha juga berupaya menghindari THR dengan memberhentikan buruh kontrak dan outsourcing satu bulan sebelum Lebaran sehingga terhindar isi Permenakertrans 4/1994 tersebut.
Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) diharapkan dapat membantu kalangan buruh dengan memberikan sanksi terhadap "pengusaha nakal" dengan menghentikan izin baru dalam penggunaan buruh kontrak untuk tahun berikutnya.
Kalangan pengusaha juga sering berupaya untuk menghindari kewajiban dalam pembayaran THR karena merasa tidak ada sanksi yang tegas dalam ketentuan perundang-undangan.
Pihaknya menilai anggapan itu salah karena Disnaker dapat menyiapkan berita acara untuk memproses pemberian sanksi, baik sanksi administrasi seperti pencabutan izin usaha mau pun gugatan perdata ke pengadilan.
Untuk memberikan jaminan kepastian bagi kalangan buruh, pihaknya mengharapkan Permenakertrans 4/1994 tersebut dapat ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden (Pepres) sehinga menjadi kuat dasar hukumnya.
Ia mengatakan, untuk mendukung kesuksesan pemberian THR di Sumut, KSPI-FSPMI membuka posko pengaduan dan advokasi THR guna memperkuat posko pengaduan yang dibuat Kemenakertrans. ***4***
(T.I023/B/R. Chaidir/R. Chaidir)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013
"Pengusaha jangan akal-akal supaya tidak perlu membayar THR", kata Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia - Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KSPI-FSPMI) Sumut Minggu Saragih di Medan, Senin.
Menurut Saragih, sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) nomor 4 tahun 1994 tentang THR, pengusaha wajib membayar THR paling lambat H-7 Lebaran dengan besaran satu bulan upah atau proporsional bagi buruh yang bermasa kerja kurang satu tahun.
Namun dari pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan masih ada kalangan pengusaha yang mencari-cari alasan dan cara agar tidak dikenakan kewajiban pembayaran THR.
Alasan pertama yang sering digunakan untuk menolak pembayaran THR adalah menganggap Permenakertrans 4/1994 tidak berlaku lagi karena telah diganti dengan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Anggapan tersebut dinilai keliru karena Permenakertrans 4/1994 tetap berlaku selama tidak dicabut. Apalagi semua peraturan turunan dari UU 13/2003 tetap berlaku sepanjang nilainya lebih baik dan tidak bertentangan dengan UU.
Kemudian, kalangan pengusaha juga berupaya menghindari THR dengan memberhentikan buruh kontrak dan outsourcing satu bulan sebelum Lebaran sehingga terhindar isi Permenakertrans 4/1994 tersebut.
Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) diharapkan dapat membantu kalangan buruh dengan memberikan sanksi terhadap "pengusaha nakal" dengan menghentikan izin baru dalam penggunaan buruh kontrak untuk tahun berikutnya.
Kalangan pengusaha juga sering berupaya untuk menghindari kewajiban dalam pembayaran THR karena merasa tidak ada sanksi yang tegas dalam ketentuan perundang-undangan.
Pihaknya menilai anggapan itu salah karena Disnaker dapat menyiapkan berita acara untuk memproses pemberian sanksi, baik sanksi administrasi seperti pencabutan izin usaha mau pun gugatan perdata ke pengadilan.
Untuk memberikan jaminan kepastian bagi kalangan buruh, pihaknya mengharapkan Permenakertrans 4/1994 tersebut dapat ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden (Pepres) sehinga menjadi kuat dasar hukumnya.
Ia mengatakan, untuk mendukung kesuksesan pemberian THR di Sumut, KSPI-FSPMI membuka posko pengaduan dan advokasi THR guna memperkuat posko pengaduan yang dibuat Kemenakertrans. ***4***
(T.I023/B/R. Chaidir/R. Chaidir)
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013