Jakarta, 26/6 (Antara) - Ada yang menarik di belakang hari. Rupanya dunia pers Indonesia sedang digerogoti jurnalisme curiga. Ini, model jurnalisme yang berbahaya bagi pers dan bangsa keseluruhan.

Meski setiap wartawan (jurnalis) wajib ragu terhadap informasi dari narasumber, praktik journalisme suspecte semacam ini, bertentangan dengan esensi jurnalisme : membuktikan kebenaran dengan menunjukkan kesalahan.

Tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan kepada khalayak ramai, informasi akurat dan dapat diandalkan yang diperlukan masyarakat. Itulah prinsip fungsi profesional jurnalis di abad ke 20 untuk membentuk masyarakat merdeka yang melek informasi benar.

Sebagai penganut l'illumination de journalisme alias jurnalisme pencerahan, saya memandang journalisme suspecte melanggar prinsip-prinsip dasar jurnalistik.

Simaklah prinsip-prinsip jurnalisme independen yang mengikat profesi jurnalis berintegritas di dunia. Pelajari dan telaah dengan seksama.

Kewajiban jurnalis yang pertama adalah mencari dan menegakkan kebenaran praktis, bukan mengejar kebenaran filosofis.
Untuk mencapai kebenaran jurnalistik itulah berlaku proses dengan disiplin profesional. Khasnya dalam menyeleksi informasi dan memverifikasi fakta secara benar dan akurat.

Pantang bagi jurnalis profesional, melakukan praktik jurnalistik hanya mengandalkan kecurigaan dan presumsi negatif. Hanya jurnalis "yellow paper" yang bermain di wilayah ini. Terutama, karena akurasi merupakan pondasi utama karya jurnalistik.
Akurasi dan kebenaran obyektif, itulah yang membedakan jurnalis dengan pengarang cerita atau penyair yang bebas meramu fakta dengan fiksi, ilusi dan fantasi dengan presumsi yang diyakini seolah-olah sebagai kebenaran.

Jurnalis profesional, kompeten, kredibel, dan berintegritas, mendahulukan loyalitas kepada khalayak (pembaca, pendengar, pemirsa).

Inilah loyalitas utama jurnalis di jalan terang. Inilah yang membuat jurnalis harus memilih kepentingan yang lebih besar dan luas, ketimbang kepentingan pemilik modal, perusahaan. Karenanya tata kelola newsroom harus terjaga kualitas dan akurasi informasinya.

Tak semata-mata menjamin kemerdekaan dan kebebasan informasi. Informasi berkualitas semacam itu tak bisa dilahirkan oleh jurnalisme curiga. Itu sebabnya, integritas Pemimpin Redaksi, sangat perlu di tengah pergerakan pers sebagai produk industri.

Jurnalis profesional berani menegakkan disiplin verifikasi dan eksistensinya tergantung pada integritas pribadinyam bukan terletak pada di mana dia bekerja dan apa komunitasnya. Artinya, jurnalis profesional, berani obyektif, kritis, dan mampu melawan kontaminasi (bebas dari bias) insinuasi dari mana saja datangnya.

Jurnalis profesional dengan sendirinya, mampu memelihara dan merawat kemerdekaan (independensi) dirinya secara tepat dan benar. Antara lain, dengan karya jurnalistik inklusif, yang berjelas-jelas dalam terang dan bukan berterang-terang dalam gelap.

Independensi jurnalis profesional, meletakkan independensi pada kemandirian semangat dan pikiran, bukan sekadar netralitas. Mereka terus berjuang menciptakan kondisi yang menjamin akurasi informasi, keadilan intelektual, dan kemampuan bertransformasi (secara struktural dan kultural) kepada seluruh khalayak.

Dengan menjaga kepribadiannya dari kecenderungan arogansi, elitis, isolatif, dan nihilis. Terutama, karena pelayanan utama jurnalis profesional adalah melakukan fungsi pengawasan sosial yang kredibel.

Karenanya, jurnalis harus memiliki kepasitas khas dalam mengawasi seluruh anasir kekuasaan, termasuk dirinya sebagai pemilik power dan otoritas tertentu dalam menebar informasi kepada khalayak. Artinya, independensi jurnalis profesional, tidak sembrono.

Seorang jurnalis profesional dengan begitu, harus merupakan sosok manusia egaliter yang tak tunduk pada "patronage" struktural, apalagi terbelenggu oleh "patron client relationship".

Jurnalis profesional juga terpanggil untuk berkontribusi nyata kepada bangsanya. Mereka menjadikan media atau pers sebagai medium kritis bagi kepentingan bangsanya secara luas.

Sebagai bagian dari masyarakat intelektual profesional yang mengemban "prophetic mission" --menyampaikan berita benar untuk kebajikan kolektif-- jurnalis juga wajib menjadikan pers yang dikelolanya sebagai medium untuk mempertemukan aspirasi khalayak dengan kepentingan negara.

Tentu, dengan tidak mengundang masuk nara sumber menjadi editor istimewa untuk mem-fiat karya jurnalistiknya.



Jurnalis profesional melakukan transfer informasi yang benar, edukasi yang mencerahkan, dan inisiasi yang mendorong kreatifitas dan inovasi. Karenanya, tak boleh terkungkung hanya sebagai penggali sumur kebenaran presumtif.

Sebagai intelektual profesional, jurnalis profesional juga seorang connaissances intellectuels, dengan cakrawala luas. Dengan begitu, ia akan menemukan kebenaran, meski berada di tempat yang tak disukainya.

Karya jurnalis profesional, mesti sesuai dengan prinsip kebenaran praktis. Dari kecerdasan dan kegigihannya bekerja, jurnalis profesional, arif melihat kebenaran pada realitas pertama kehidupan.

Karyanya, menghasilkan kartografi yang memandu dan menavigasi masyarakat memahami kebenaran obyektif, karena bagi jurnalis profesional, haram melakukan tindakan insinuatif, apalagi menggelembungkan sensasi.

Prioritas utamanya adalah substansi persoalan dan peristiwa yang dipilihnya. Dengan mendahulukan substansi, ia akan terhindar dari jebakan fantasi (atau presumsi) kebenaran. Inilah yang melandasi tata kelola newsroom yang kian demokratis.

Untuk mewujudkan prinip-prinsip itulah, jurnalis profesional mengikat dirinya pada kode etik atau "code of conduct", bukan "dogma habitus" tentang "code of conduct" untuk dan atas nama kecurigaan demi superioritas eksklusif. Kode etik jurnalistik adalah acuan moral seluruh jurnalis di dunia.

Sejak berprofesi sebagai wartawan di dekade 70-an, di bawah rezim represif, prinsip-prinsip itulah yang saya peroleh dari para jurnalis sejati seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, BM Diah, M. Tasrif, M. Said, A. Azis, TD Hafas, Sakti Alamsjah, Ojong PK, dan lainnya, sampai Jacob Utama.

Setelah melewati tempo yang lama, akhirnya saya temukan spirit dan "idealistic frame" mereka, ketika bergaul dengan para pendiri, penasehat, pengawas, dan pengurus Forum Pemred.

Dari seluruh rangkaian diskusi yang digelar forum ini dalam Pertemuan Puncak Pemimpin Redaksi 2013 di Nusa Dua, saya mendapatkan kembali "idealistic frame", manifesto jurnalistik yang terang benderang. Pertemuan itu merupakan momentum historis peran pers Indonesia di era konseptual.

Para Pemimpin Redaksi yang berada di Forum Pemred, cerdas, mumpuni, profesional, kredibel, independen, berintegritas diri kuat, dan visioner merumuskan sembilan Kesepakatan Bali yang tak pernah terbayangkan oleh pemerintah, para pemilik media. Apalagi sekadar mereka yang merasa menjadi begawan jurnalis independen.

Di dalam komitmen itu, mereka berkontribusi pemikiran terhadap ikhtiar mewujudkan Indonesia yang lebih perkasa dan berwibawa.

Mereka sepakat menjadikan kebebasan pers sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat, dan menggunakannya untuk mengontrol penyelenggaraan negara, pemerintahan, dunia usaha, dan semua lembaga ke arah tata kelola yang bersih dan berwibawa.

Ekspressif, mereka sepakat menggunakan kebebasan pers secara profesional berpedoman kepada kode etik jurnalistik.

Baru kali ini, insan pers profesional mampu merumuskan transformasi struktural dan kultural perubahan bangsanya. Sekaligus cerdas dan substantif merumuskan tafsir peran jurnalis sebagai agent of development.

Boleh jadi, inilah pertama kali di dunia, insan pers berhasil merumuskan perannya secara nyata dan "applicable" secara lintas organisasi, lintas media, lintas mazhab, dan lintas usia. Karenanya, benar, hanya pemimpin redaksi tangguh yang layak bergabung di Forum Pemred.(T.E007)

*Jurnalis dan imagineer.

Pewarta: N. Syamsuddin Ch. Haesy*

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013