London (ANTARA) - Indonesia mengucapkan selamat atas terselenggaranya pemilu di United Kingdom (UK) dan ucapan selamat juga untuk PM Boris Johnson serta Partai Konservatif sebagai pemenang pemilu.
Hal itu diungkapkan Dubes Indonesia untuk Inggris Dr Rizal Sukma kepada Antara London, Sabtu, sehubungan dengan kemenangan Boris Johnson dari Partai Koservatif.
Dubes Rizal Sukma mengatakan Pemerintah Indonesia yakin bahwa hubungan Indonesia-UK akan terus erat dan kerjasama akan semakin meningkat pula.
Sementara itu pengamat masalah politik warga Inggris kelahiran Wales, Jason Marc kepada Antara, di London Sabtu mengatakan dengan kemenangan PM Boris Johnson ini pemerintah Negara Inggris telah mempunyai kekuasaan penuh untuk menentukan nasib rakyat Inggris yang telah memilih untuk keluar dari Uni Eropa (EU).
Rencana keluar dari EU pada 31 Januari bisa terlaksana dengan baik. Boris berjanji tidak akan mengecewakan pemilih yang telah percaya kepadanya untuk menyelesaikan persoalan negara ini yaitu harus keluar dari EU.
Sehari sebelum pemilu, Boris Johnson mengelar kampanye Boris di hari terakhir untuk masyarakat London dan sekitarnya.
Jason pun bersama sang istri asal Indonesia menghadiri acara kampanye Boris yang memyampaikan misinya yaitu pertama keluar dari EU, kedua Perbaikan NHS dan ketiga menambah kekuatan polisi keempat membuka banyak lowongan pekerjaan dan kelima membuat perjanjian perdagangan dengan negara lain selain EU dan masih banyak lagi.
Pada kampanye yang diadakan di Copper Box Arena dan Conservative Party Rally, Boris menyampaikan manifesto dan Partai Konsevatif siap untuk memegang kekuasaan lagi, menurut jajak pendapat keluar sebagai pemungutan suara berakhir di Inggris hingga subuh.
Dari hasil pemilihan umum yang perhitungan hingga dini hari Konservatif mendapatkan 365 kursi, Partai Buruh memenangkan 203 kursi, Partai Nasional Skotlandia 48, Demokrat Liberal 11, sementara sisa nya sebanyak 23 diraih oleh Partai kecil.
Sementara itu, kemenangan pemilihan Boris Johnson banyak juga warga Inggris yang ada di pusat kota London tidak merasa puas dan membuat mereka marah.
Malam Sabtu, pengunjuk rasa telah memutuskan untuk berbaris di Downing Street dan di London tengah meneriakkan "bukan Perdana Menteri saya" (“Not my PM”). Hasil pemilu 2019 menunjukkan bahwa Konservatif akan tetap berkuasa dan memegang mayoritas 80 kursi.
Dengan mayoritas yang begitu besar, Boris Johnson terus maju dengan janjinya untuk membawa kesepakatan Brexit ke pemungutan suara sebelum Natal.
Pemrotes terlihat memegang papan2 yang mengatakan "Menentang Pemerintahan Tory (Konservatif)" dan 'Tidak Kepada Boris Johnson’ (‘No to Boris Johnson !’).
Sistem transportasi untuk London menyatakan dalam Twitternya: "Whitehall ditutup dua arah dari Trafalgar Square ke Parliament Square" ketika daerah-daerah tertentu dibanjiri dengan para pemrotes.
Laporan awal menunjukkan pertengkaran antara Brexiteers dengan kelompok Remainers (yaitu yang tetap mau UK jadi anggota EU) juga terjadi di tengah kekacauan.
Menurut Daily Express, protes besar Anti-Boris Johnson juga terjadi di luar London.
Para pengunjuk rasa telah berkumpul di Glasgow meneriakkan "Katakan dengan keras, katakan dengan jelas, pengungsi internasional dipersilakan ke sini"
Sementara itu BBC London dalam laporannya menyampaikan pernyataan, jurubicara Departemen Dalam Negeri AS, Morgan Ortagus yang mengatakan "Amerika Serikat dan Inggris berbagi kemitraan yang unik dan aliansi penting, berdasarkan pada dasar yang kuat dari nilai-nilai bersama dan prinsip-prinsip demokrasi.
“Kami menantikan untuk melanjutkan kerja kritis kami bersama dengan Perdana Menteri Johnson dan pemerintahnya untuk lebih memperkuat hubungan khusus abadi kami, mengatasi tantangan timbal balik, dan membangun kemajuan dan kemakmuran yang telah kami buat di berbagai bidang,” ujarnya.
Amerika Serikat berkomitmen terhadap agenda global bersama AS-Inggris, termasuk memperluas hubungan ekonomi kita yang kuat dengan mencapai perjanjian perdagangan bebas yang komprehensif dengan Inggris begitu negara itu secara resmi menarik diri dari Uni Eropa, demikian Morgan Ortagus.