Diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1992, patung Sisingamangaraja XII berdiri anggun di pusat kota Medan, Sumatera Utara.
Menaiki kuda dengan satu tangan memegang tali pelana dan satunya lagi menghunus pedang, sang raja terlihat gagah dalam patung setinggi delapan meter berwarna putih itu.
Berjarak sekitar 1,5 km dari Istana Maimun dan Mesjid Raya Al-Mashun, yang juga ikon-ikon kota Medan, patung itu dibangun 31 tahun setelah si raja Batak ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno pada 19 November 1961.
Monumen-monumen seperti patung Sisingamangaraja XII memiliki fungsi pengingat untuk jasa-jasa pahlawan, bahwa generasi setelahnya bisa bercermin dari kepahlawanan orang-orang penuh wira di nusantara, termasuk meneladani nilai-nilai moral yang dimiliki pahlawan.
Raja Sisingamangaraja XII juga mewariskan teladan-teladan mulia kepada bangsa ini.
Ia adalah satu dari banyak pahlawan besar bangsa ini yang tak membiarkan dirinya berdiam diri kala melihat ketidakadilan dan penindasan, bahkan sembari menampik keistimewaan yang dijanjikan penguasa kolonial Belanda kepadanya.
Sang raja juga perlambang sempurna untuk kegigihan berjuang dan kekonsistenan bersikap, yang sebenarnya berakar dari nilai-nilai asli puak-puak nusantara.
Dia memilih mati berkalang tanah ketimbang menggadaikan harga diri, kehormatan dan statusnya sebagai manusia merdeka.
Sudah berulang kali Belanda menawarinya dengan sejumlah keistimewaan dengan imbalan tak lagi melawan Belanda. Tapi sesering itu pula Sisingamangaraja XII menampiknya.
Karena tak mempan bujuk rayu, Belanda lalu memerangi sang raja sampai tersudut. Bahkan dalam kondisi tersudut pun Sisingamangaraja tak sudi membungkukkan badan kepada penjajah.
Indonesia diperjuangkan semua suku
Belanda lalu mengerahkan pasukan khusus Marsose pimpinan Kapten Hans Christoffel, yang dikenal ganas dalam menundukkan mereka yang menentang penguasa kolonial.
Di tangan serdadu Marsose itu pula Sisingamangaraja XII mengakhiri perlawanan heroiknya. Dia wafat ditembak Marsose pada 17 Juni 1907, bersama putri dan kedua putranya.
Jenazahnya dikebumikan di Silindung pada 22 Juni 1907, sebelum dipindahkan ke taman makam pahlawan Soposurung di Balige, 46 tahun kemudian pada 14 Juni 1953.
Di Balige pula sejumlah monumen didirikan untuk diabdikan kepada sang raja agung.
Monumen-monumen itu, termasuk patungnya di kota Medan, adalah pengingat untuk bangsa ini bahwa nilai-nilai mulia yang diwariskan sang raja, khususnya heroisme dan patriotisme, mesti dirawat oleh generasi setelahnya.
Kekukuhan sikapnya mengingatkan orang kepada pahlawan-pahlawan nasional lain seperti I Gusti Ngurah Rai di Bali, yang lebih memilih mati di medan laga ketimbang bersujud kepada penjajah.
Sisingamangaraja XII mengingatkan orang kepada pahlawan-pahlawan nusantara lain yang tak pernah surut berjuang walau fisik melemah seperti Cut Nyak Dhien di Aceh yang berjuang sampai mata tak bisa lagi melihat.
Sisingamangaraja XII juga menjadi bukti otentik bahwa puak-puak nusantara tak pernah bermusuhan hanya karena berbeda suku, agama, dan adat istiadat.
Menurutu catatan-catatan sejarah, Sisingamangaraja XII yang disebut memeluk agama asli Batak beraliansi dengan tokoh-tokoh perlawanan Aceh beragama Islam yang juga sengit memerangi penjajahan.
Itu bukti kuat bahwa sejak dulu kala perbedaan agama dan suku tak pernah menjadi halangan bagi suku-suku nusantara untuk bekerja sama dan berhubungan baik satu sama lain.
Raja Sisingamangaraja XII juga menjadi petunjuk untuk bukti bahwa suku-suku nusantara selalu terbuka kepada siapa pun yang datang kemudian, walau juga tak segan melawan kala prilaku tidak adil dan diskriminatif menimpa masyarakatnya.
Keterbukaan suku-suku nusantara itu pula yang membuat mereka selalu menyambut hal-hal baru, termasuk agama-agama modern yang semuanya masuk ke nusantara dengan cara damai.
Tak ada agama yang masuk ke nusantara dengan pedang dan cacian intoleran, rasis nan merendahkan orang atau budaya lain.
Sisingamangaraja XII, I Gusti Ngurah Rai, dan banyak lagi, adalah juga bagian dari bukti-bukti otentik bahwa bangsa ini dimerdekakan oleh semua suku yang menganut agama dan merangkul adat berbeda-beda.
Lenyapkan gejala perbudakan baru
Mengapa kita harus membangkitkan lagi ingatan kepada keteladanan para pahlawan seperti Raja Sisingamangaraja XII?
Karena pada zaman ini orang terlalu bebas menawarkan versi lain tentang kebenaran, termasuk kebenaran sejarah, yang dibelokkan demi kepentingan segelintir kaum.
Versi baru sejarah itu juga sering didasarkan kepada spekulasi, asumsi dan bukti sumir yang absurd, yang menolak kaidah dan metodologi ilmiah.
Belakangan ini Indonesia dibuat bising oleh klaim-klaim sepihak bahwa hanya satu kaum yang membangun negara ini.
Mereka berusaha membelokkan sejarah sambil membesar-besarkan kiprah kaumnya sendiri, yang justru menjadi awal untuk membangun masyarakat berkelas-kelas, yang menolak pandangan inklusif yang dirangkul bangsa ini sampai kemudian membentuk Republik Indonesia.
Pengaburan dan pembelokan sejarah harus dijegal sejak dini. Mereka yang berusaha membangun narasi bahwa kaum tertentu lebih berjasa ketimbang kaum lainnya, tak boleh mendapatkan ruang lapang untuk menyebarluaskan pandangan dan narasinya.
Apalagi jika narasi itu melebih-lebihkan satu kaum yang pada dasarnya cikal bakal dari rasisme, yang menolak cita-cita masyarakat inklusif seperti dipesankan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".
Oleh karena itu, mengingat lagi perjuangan orang-orang besar seperti Raja Sisingamangaraja XII harus dilakukan, bukan saja dalam kaitan dengan hari-hari luhur seperti Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Sumpah Pemuda, tapi juga demi menggali dan menguatkan lagi nilai-nilai luhur nan otentik masyarakat nusantara yang toleran dan inklusif.
Sisingamangaraja XII, I Gusti Ngurah Rai, Cut Nyak Dhien, dan banyak lagi adalah penegas untuk fakta bahwa Indonesia dibangun dan dirawat oleh semua orang dari segala suku, agama, keyakinan, dan latar belakang.
Kepahlawanan mereka mesti diingat dan ditanamkan lagi pada benak generasi bangsa ini agar tak rusak oleh upaya segelintir kalangan yang berusaha mengkelas-kelaskan bangsa ini seperti penguasa kolonial melakukannya di masa lalu, yang menjadi awal untuk perbudakan baru yang semestinya lenyap dari bumi Indonesia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sisingamangaraja XII dan kewajiban merawat sejarah
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2024
Menaiki kuda dengan satu tangan memegang tali pelana dan satunya lagi menghunus pedang, sang raja terlihat gagah dalam patung setinggi delapan meter berwarna putih itu.
Berjarak sekitar 1,5 km dari Istana Maimun dan Mesjid Raya Al-Mashun, yang juga ikon-ikon kota Medan, patung itu dibangun 31 tahun setelah si raja Batak ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno pada 19 November 1961.
Monumen-monumen seperti patung Sisingamangaraja XII memiliki fungsi pengingat untuk jasa-jasa pahlawan, bahwa generasi setelahnya bisa bercermin dari kepahlawanan orang-orang penuh wira di nusantara, termasuk meneladani nilai-nilai moral yang dimiliki pahlawan.
Raja Sisingamangaraja XII juga mewariskan teladan-teladan mulia kepada bangsa ini.
Ia adalah satu dari banyak pahlawan besar bangsa ini yang tak membiarkan dirinya berdiam diri kala melihat ketidakadilan dan penindasan, bahkan sembari menampik keistimewaan yang dijanjikan penguasa kolonial Belanda kepadanya.
Sang raja juga perlambang sempurna untuk kegigihan berjuang dan kekonsistenan bersikap, yang sebenarnya berakar dari nilai-nilai asli puak-puak nusantara.
Dia memilih mati berkalang tanah ketimbang menggadaikan harga diri, kehormatan dan statusnya sebagai manusia merdeka.
Sudah berulang kali Belanda menawarinya dengan sejumlah keistimewaan dengan imbalan tak lagi melawan Belanda. Tapi sesering itu pula Sisingamangaraja XII menampiknya.
Karena tak mempan bujuk rayu, Belanda lalu memerangi sang raja sampai tersudut. Bahkan dalam kondisi tersudut pun Sisingamangaraja tak sudi membungkukkan badan kepada penjajah.
Indonesia diperjuangkan semua suku
Belanda lalu mengerahkan pasukan khusus Marsose pimpinan Kapten Hans Christoffel, yang dikenal ganas dalam menundukkan mereka yang menentang penguasa kolonial.
Di tangan serdadu Marsose itu pula Sisingamangaraja XII mengakhiri perlawanan heroiknya. Dia wafat ditembak Marsose pada 17 Juni 1907, bersama putri dan kedua putranya.
Jenazahnya dikebumikan di Silindung pada 22 Juni 1907, sebelum dipindahkan ke taman makam pahlawan Soposurung di Balige, 46 tahun kemudian pada 14 Juni 1953.
Di Balige pula sejumlah monumen didirikan untuk diabdikan kepada sang raja agung.
Monumen-monumen itu, termasuk patungnya di kota Medan, adalah pengingat untuk bangsa ini bahwa nilai-nilai mulia yang diwariskan sang raja, khususnya heroisme dan patriotisme, mesti dirawat oleh generasi setelahnya.
Kekukuhan sikapnya mengingatkan orang kepada pahlawan-pahlawan nasional lain seperti I Gusti Ngurah Rai di Bali, yang lebih memilih mati di medan laga ketimbang bersujud kepada penjajah.
Sisingamangaraja XII mengingatkan orang kepada pahlawan-pahlawan nusantara lain yang tak pernah surut berjuang walau fisik melemah seperti Cut Nyak Dhien di Aceh yang berjuang sampai mata tak bisa lagi melihat.
Sisingamangaraja XII juga menjadi bukti otentik bahwa puak-puak nusantara tak pernah bermusuhan hanya karena berbeda suku, agama, dan adat istiadat.
Menurutu catatan-catatan sejarah, Sisingamangaraja XII yang disebut memeluk agama asli Batak beraliansi dengan tokoh-tokoh perlawanan Aceh beragama Islam yang juga sengit memerangi penjajahan.
Itu bukti kuat bahwa sejak dulu kala perbedaan agama dan suku tak pernah menjadi halangan bagi suku-suku nusantara untuk bekerja sama dan berhubungan baik satu sama lain.
Raja Sisingamangaraja XII juga menjadi petunjuk untuk bukti bahwa suku-suku nusantara selalu terbuka kepada siapa pun yang datang kemudian, walau juga tak segan melawan kala prilaku tidak adil dan diskriminatif menimpa masyarakatnya.
Keterbukaan suku-suku nusantara itu pula yang membuat mereka selalu menyambut hal-hal baru, termasuk agama-agama modern yang semuanya masuk ke nusantara dengan cara damai.
Tak ada agama yang masuk ke nusantara dengan pedang dan cacian intoleran, rasis nan merendahkan orang atau budaya lain.
Sisingamangaraja XII, I Gusti Ngurah Rai, dan banyak lagi, adalah juga bagian dari bukti-bukti otentik bahwa bangsa ini dimerdekakan oleh semua suku yang menganut agama dan merangkul adat berbeda-beda.
Lenyapkan gejala perbudakan baru
Mengapa kita harus membangkitkan lagi ingatan kepada keteladanan para pahlawan seperti Raja Sisingamangaraja XII?
Karena pada zaman ini orang terlalu bebas menawarkan versi lain tentang kebenaran, termasuk kebenaran sejarah, yang dibelokkan demi kepentingan segelintir kaum.
Versi baru sejarah itu juga sering didasarkan kepada spekulasi, asumsi dan bukti sumir yang absurd, yang menolak kaidah dan metodologi ilmiah.
Belakangan ini Indonesia dibuat bising oleh klaim-klaim sepihak bahwa hanya satu kaum yang membangun negara ini.
Mereka berusaha membelokkan sejarah sambil membesar-besarkan kiprah kaumnya sendiri, yang justru menjadi awal untuk membangun masyarakat berkelas-kelas, yang menolak pandangan inklusif yang dirangkul bangsa ini sampai kemudian membentuk Republik Indonesia.
Pengaburan dan pembelokan sejarah harus dijegal sejak dini. Mereka yang berusaha membangun narasi bahwa kaum tertentu lebih berjasa ketimbang kaum lainnya, tak boleh mendapatkan ruang lapang untuk menyebarluaskan pandangan dan narasinya.
Apalagi jika narasi itu melebih-lebihkan satu kaum yang pada dasarnya cikal bakal dari rasisme, yang menolak cita-cita masyarakat inklusif seperti dipesankan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".
Oleh karena itu, mengingat lagi perjuangan orang-orang besar seperti Raja Sisingamangaraja XII harus dilakukan, bukan saja dalam kaitan dengan hari-hari luhur seperti Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Sumpah Pemuda, tapi juga demi menggali dan menguatkan lagi nilai-nilai luhur nan otentik masyarakat nusantara yang toleran dan inklusif.
Sisingamangaraja XII, I Gusti Ngurah Rai, Cut Nyak Dhien, dan banyak lagi adalah penegas untuk fakta bahwa Indonesia dibangun dan dirawat oleh semua orang dari segala suku, agama, keyakinan, dan latar belakang.
Kepahlawanan mereka mesti diingat dan ditanamkan lagi pada benak generasi bangsa ini agar tak rusak oleh upaya segelintir kalangan yang berusaha mengkelas-kelaskan bangsa ini seperti penguasa kolonial melakukannya di masa lalu, yang menjadi awal untuk perbudakan baru yang semestinya lenyap dari bumi Indonesia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sisingamangaraja XII dan kewajiban merawat sejarah
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2024