Tatkala Erling Halland mencetak lima dari tujuh gol Manchester ke gawang RB Leipzig pertengahan Maret silam, laman klub itu menurunkan judul "City in seventh heaven to ensure Champions League progress" (City berada di langit ketujuh untuk memastikan langkah dalam Champions League).
Dua bulan kemudian, laman yang sama kembali menurunkan judul dengan memuat kata "surga ketujuh" menjelang final Piala FA melawan Manchester United. Saat itu mereka dalam suasana ekstasi karena telah meraih gelar juara Liga Premier.
Gelar juara liga itu sendiri menjadi catatan bersejarah karena membuat mereka menjadi tim yang tiga kali berturut-turut menjuarai Liga Premier atau yang kedua dalam era Liga Premier setelah Manchester United.
City kemudian merebut Piala FA yang membuat mereka mendapatkan dua gelar dalam satu musim, dan sekaligus menguatkan asa meraih treble untuk kembali menyaingi pencapaian Setan Merah pada 1999.
Sepekan setelah final Piala FA itu, mereka mewujudkan impian itu dengan menaklukkan Inter Milan dalam final Liga Champions, Minggu dini hari tadi.
Memasang tiga bek dalam formasi 3-2-4-1 dengan Erling Haaland sebagai ujung tombak tunggal, City kesulitan menembus permainan rapat namun juga sesekali eksplosif yang digalang Inter dalam formasi 3-5-2.
Inter sukses mematikan dua sayap dan dua gelandang tengah yang selama ini menjadi motor serangan City.
Bernardo Silva di kanan dan Jack Grealish di kiri, tak lagi leluasa sebagaimana biasanya. Mereka dijinakkan masing-masing oleh bek kiri Federico Dimarco dan bek kanan Denzel Dumfries yang ditempatkan sejajar dengan tiga gelandang.
Sedangkan trio gelandang Nicola Barella, Marcelo Brozovic, dan Hakan Calhanoglu, berhasil merusak jantung kreativitas City yang diemban Ilkay Gundogan dan Kevin de Bruyne yang tak bisa lama bermain karena cedera.
Pelatih Simone Inzaghi sepertinya akan berhasil mengarsiteki Inter dalam mengimbangi kegarangan pasukan Pep Guardiola.
Statistik sendiri menunjukkan Inter menjadi tim yang lebih banyak menciptakan peluang, sebanyak 14 peluang yang enam di antaranya tepat sasaran, termasuk sundulan Dimarco yang membentur tiang gawang dan sundulan Romelu Lukaku yang dimentahkan kiper Ederson.
City sendiri hanya bisa membuat tujuh peluang yang empat di antaranya tepat sasaran.
Namun, tatkala pemain-pemain depan mereka termasuk Haaland dibuat tak berkutik oleh barisan belakang Inter pimpinan Francesco Acerbi, City kembali membuktikan diri bahwa ketajaman mereka tidak diukur hanya dari pemain-pemain depannya.
Manuel Akanji, dan rekannya sesama bek tengah, Ruben Dias, bahkan sesekali membantu serangan untuk mencoba memecah kebuntuan. Tapi tugas memecahkan kebuntuan kali ini jatuh kepada Rodri.
Terpuaskan
Gelandang bertahan bernama lengkap Rodrigo Hernandez Cascante dan menjadi jangkar ganda bersama John Stones yang aslinya bek tengah itu, adalah orang terakhir yang menyelamatkan City dari jalan buntu.
Tendangan kerasnya ke sudut kiri gawang Inter terlambat dihadang pemain-pemain Inter, sementara kiper Andre Onana terlihat sudah terlambat bereaksi.
Satu gol dari Rodri pada menit ke-68 itu sudah cukup menuntaskan perjalanan menawan nan nyaris sempurna City selama musim ini.
Mereka kembali mencetak sejarah dengan menjadi tim Inggris keenam setelah Liverpool, Manchester United, Nottingham Forest, Chelsea dan Aston Villa yang menjuarai kompetisi elite Eropa.
Setelah dua tahun lalu gagal di tangan Chelsea, sukses City dalam final kedua Liga Champions ini bahkan terasa manis karena menyaingi Manchester United sebagai tim Inggris yang memenangkan treble.
Inter yang tengah memburu gelar juara Eropa keempatnya nyaris merusak impian City, padahal sebelum laga final itu pun mereka dianggap kalah kelas dari The Citizens, bahkan disebut-sebut sebagai pertandingan yang tidak seimbang.
Inter masuk gelanggang dengan bekal peringkat ketiga Serie A Italia dan juara Copa Italia. Sebaliknya, City memasuki arena dengan bekal nomor satu di Inggris setelah menjuarai liga, ditambah juara Piala FA.
Tak hanya itu, menurut ClubElo.com yang melacak kinerja tim sepak bola berdasarkan peringkat Elo, Manchester City sejauh ini adalah tim terbaik di Eropa.
Dengan nilai peringkat 2.073, City mengungguli Inter sampai selisih 182 poin. City di puncak peringkat ini, sedangkan Inter pada posisi ketujuh. Itu untuk pertama kalinya sejak 1993, dua tim yang bertemu dalam final Liga Champions memiliki kesenjangan yang begitu lebar.
Keberbedaan peringkat itu tergambar dalam realitas lapangan di mana perjalanan City ke final jauh lebih berliku dan lebih teruji ketimbang Inter, terutama setelah menyingkirkan Bayern Munchen dan Real Madrid.
Perjalanan menawan City sendiri sudah terlihat dalam tiga musim terakhir yang membuat klub ini menjadi salah satu dari tiga tim terkuat di Eropa sejak 2020.
Mereka gagal dalam final 2021 melawan Chelsea, dan disingkirkan Real Madrid pada semifinal tahun lalu ketika sudah di ambang mencapai final kedua berturut-turut.
Namun, di Stadion Olimpiade Ataturk di Istanbul, Minggu dini hari tadi, perjalanan mereka mencapai kejayaan, akhirnya terpuaskan. City sungguh tim yang belajar dari kegagalan masa lalu.
Dua tahun lalu, pelatih mereka, Pep Guardiola, menganggap pemain-pemainnya gugup karena belum pernah merasakan partai puncak Liga Champions.
Memiliki segalanya
Minggu dini hari tadi, pemain-pemain City tak memperlihatkan kegugupan seperti dua tahun lalu itu, sekalipun pada babak pertama mereka terlihat menjadi tim yang menanggung beban yang lebih berat.
Itu karena mereka memiliki segalanya, termasuk uang, yang bahkan dengan itu bisa mencapai sukses di luar lapangan sebagai tim paling kaya di dunia saat ini.
Uang sangat penting untuk kesuksesan Manchester City, terutama setelah dibeli konsorsium Abu Dhabi pada 2008.
Manakala masuk lapangan Stadion Ataturk, City sudah menyandang tim dengan nilai kapitalisasi termahal di dunia. Haaland cs ditaksir bernilai 1,1 miliar dolar AS atau hampir separuh nilai skuad Inter yang "hanya" 581 juta dolar AS.
Pemain-pemain City membuktikan diri bahwa harga tinggi mereka selaras dengan kinerja mereka di lapangan hijau, bahkan dalam musim pertamanya, Haaland yang dibeli dari Borussia Dortmund pada harga 64 juta dolar AS, mencetak 52 gol yang adalah terbanyak dibandingkan pesepakbola Eropa mana pun musim ini.
Namun, bagian terpenting dalam sukses The Citizen adalah tentu saja Pep Guardiola, yang sudah mempersembahkan liga trofi juara Liga Premier, dari total 14 trofi yang sudah dia anugerahkan kepada City.
Guardiola adalah faktor yang membuat uang saja tak cukup. Ini berbeda dari Paris Saint Germain yang kendati kaya raya dan diperkuat pemain-pemain hebat, tetap tak bisa menggapai trofi tertinggi. Salah satu faktornya, adalah pelatih yang tidak tepat.
Pun di Liga Inggris, Chelsea yang juga kaya raya yang mampu mendatangkan pemain hebat mana pun, malah terperosok di papan tengah. Pelatih yang tidak tepat adalah salah satu pangkal masalah The Blues.
Sebaliknya, Guardiola adalah orang yang tepat yang bisa mengkorelasikan uang dengan kesuksesan, sekalipun harus menunggu tujuh tahun untuk membawa City meraih gelar juara Liga Champions pertamanya.
Sukses ketiganya dalam kompetisi elite Eropa ini setelah dua kali membawa Barcelona menjuarai Liga Champions, membuat Gaurdiola pantas disebut otak dari segala sukses City.
Dia adalah manajer sepak bola putra pertama di Eropa yang dua kali menciptakan treble, setelah pada musim 2008/2009 juga sukses mempersembahkan treble untuk Barcelona.
Bersama Stefan Kovacs, Guus Hiddink, Sir Alex Ferguson, Jose Mourinho, Jupp Heynckes, Luis Enrique dan Hansi Flick, dia masuk barisan pelatih elite yang sukses mempersembahkan tiga gelar sekaligus dalam satu musim kepada timnya.
Guardiola sendiri menyebut sukses City dalam Liga Champions tertulis dalam bintang-bintang di langit. Faktanya, dia memang telah mengantarkan City terbang ke tempat yang disebut laman klub ini sebagai "langit ketujuh."
Sukses ini juga membuat ekspektasi dan prediksi orang mengenai bagaimana Manchester City musim depan menjadi semakin luar. Itu mungkin bukan lagi tentang apakah klub ini bakal kembali berjaya, tetapi juga tentang sejarah apa lagi yang hendak mereka buat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Manchester City terbang ke langit ketujuh
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023
Dua bulan kemudian, laman yang sama kembali menurunkan judul dengan memuat kata "surga ketujuh" menjelang final Piala FA melawan Manchester United. Saat itu mereka dalam suasana ekstasi karena telah meraih gelar juara Liga Premier.
Gelar juara liga itu sendiri menjadi catatan bersejarah karena membuat mereka menjadi tim yang tiga kali berturut-turut menjuarai Liga Premier atau yang kedua dalam era Liga Premier setelah Manchester United.
City kemudian merebut Piala FA yang membuat mereka mendapatkan dua gelar dalam satu musim, dan sekaligus menguatkan asa meraih treble untuk kembali menyaingi pencapaian Setan Merah pada 1999.
Sepekan setelah final Piala FA itu, mereka mewujudkan impian itu dengan menaklukkan Inter Milan dalam final Liga Champions, Minggu dini hari tadi.
Memasang tiga bek dalam formasi 3-2-4-1 dengan Erling Haaland sebagai ujung tombak tunggal, City kesulitan menembus permainan rapat namun juga sesekali eksplosif yang digalang Inter dalam formasi 3-5-2.
Inter sukses mematikan dua sayap dan dua gelandang tengah yang selama ini menjadi motor serangan City.
Bernardo Silva di kanan dan Jack Grealish di kiri, tak lagi leluasa sebagaimana biasanya. Mereka dijinakkan masing-masing oleh bek kiri Federico Dimarco dan bek kanan Denzel Dumfries yang ditempatkan sejajar dengan tiga gelandang.
Sedangkan trio gelandang Nicola Barella, Marcelo Brozovic, dan Hakan Calhanoglu, berhasil merusak jantung kreativitas City yang diemban Ilkay Gundogan dan Kevin de Bruyne yang tak bisa lama bermain karena cedera.
Pelatih Simone Inzaghi sepertinya akan berhasil mengarsiteki Inter dalam mengimbangi kegarangan pasukan Pep Guardiola.
Statistik sendiri menunjukkan Inter menjadi tim yang lebih banyak menciptakan peluang, sebanyak 14 peluang yang enam di antaranya tepat sasaran, termasuk sundulan Dimarco yang membentur tiang gawang dan sundulan Romelu Lukaku yang dimentahkan kiper Ederson.
City sendiri hanya bisa membuat tujuh peluang yang empat di antaranya tepat sasaran.
Namun, tatkala pemain-pemain depan mereka termasuk Haaland dibuat tak berkutik oleh barisan belakang Inter pimpinan Francesco Acerbi, City kembali membuktikan diri bahwa ketajaman mereka tidak diukur hanya dari pemain-pemain depannya.
Manuel Akanji, dan rekannya sesama bek tengah, Ruben Dias, bahkan sesekali membantu serangan untuk mencoba memecah kebuntuan. Tapi tugas memecahkan kebuntuan kali ini jatuh kepada Rodri.
Terpuaskan
Gelandang bertahan bernama lengkap Rodrigo Hernandez Cascante dan menjadi jangkar ganda bersama John Stones yang aslinya bek tengah itu, adalah orang terakhir yang menyelamatkan City dari jalan buntu.
Tendangan kerasnya ke sudut kiri gawang Inter terlambat dihadang pemain-pemain Inter, sementara kiper Andre Onana terlihat sudah terlambat bereaksi.
Satu gol dari Rodri pada menit ke-68 itu sudah cukup menuntaskan perjalanan menawan nan nyaris sempurna City selama musim ini.
Mereka kembali mencetak sejarah dengan menjadi tim Inggris keenam setelah Liverpool, Manchester United, Nottingham Forest, Chelsea dan Aston Villa yang menjuarai kompetisi elite Eropa.
Setelah dua tahun lalu gagal di tangan Chelsea, sukses City dalam final kedua Liga Champions ini bahkan terasa manis karena menyaingi Manchester United sebagai tim Inggris yang memenangkan treble.
Inter yang tengah memburu gelar juara Eropa keempatnya nyaris merusak impian City, padahal sebelum laga final itu pun mereka dianggap kalah kelas dari The Citizens, bahkan disebut-sebut sebagai pertandingan yang tidak seimbang.
Inter masuk gelanggang dengan bekal peringkat ketiga Serie A Italia dan juara Copa Italia. Sebaliknya, City memasuki arena dengan bekal nomor satu di Inggris setelah menjuarai liga, ditambah juara Piala FA.
Tak hanya itu, menurut ClubElo.com yang melacak kinerja tim sepak bola berdasarkan peringkat Elo, Manchester City sejauh ini adalah tim terbaik di Eropa.
Dengan nilai peringkat 2.073, City mengungguli Inter sampai selisih 182 poin. City di puncak peringkat ini, sedangkan Inter pada posisi ketujuh. Itu untuk pertama kalinya sejak 1993, dua tim yang bertemu dalam final Liga Champions memiliki kesenjangan yang begitu lebar.
Keberbedaan peringkat itu tergambar dalam realitas lapangan di mana perjalanan City ke final jauh lebih berliku dan lebih teruji ketimbang Inter, terutama setelah menyingkirkan Bayern Munchen dan Real Madrid.
Perjalanan menawan City sendiri sudah terlihat dalam tiga musim terakhir yang membuat klub ini menjadi salah satu dari tiga tim terkuat di Eropa sejak 2020.
Mereka gagal dalam final 2021 melawan Chelsea, dan disingkirkan Real Madrid pada semifinal tahun lalu ketika sudah di ambang mencapai final kedua berturut-turut.
Namun, di Stadion Olimpiade Ataturk di Istanbul, Minggu dini hari tadi, perjalanan mereka mencapai kejayaan, akhirnya terpuaskan. City sungguh tim yang belajar dari kegagalan masa lalu.
Dua tahun lalu, pelatih mereka, Pep Guardiola, menganggap pemain-pemainnya gugup karena belum pernah merasakan partai puncak Liga Champions.
Memiliki segalanya
Minggu dini hari tadi, pemain-pemain City tak memperlihatkan kegugupan seperti dua tahun lalu itu, sekalipun pada babak pertama mereka terlihat menjadi tim yang menanggung beban yang lebih berat.
Itu karena mereka memiliki segalanya, termasuk uang, yang bahkan dengan itu bisa mencapai sukses di luar lapangan sebagai tim paling kaya di dunia saat ini.
Uang sangat penting untuk kesuksesan Manchester City, terutama setelah dibeli konsorsium Abu Dhabi pada 2008.
Manakala masuk lapangan Stadion Ataturk, City sudah menyandang tim dengan nilai kapitalisasi termahal di dunia. Haaland cs ditaksir bernilai 1,1 miliar dolar AS atau hampir separuh nilai skuad Inter yang "hanya" 581 juta dolar AS.
Pemain-pemain City membuktikan diri bahwa harga tinggi mereka selaras dengan kinerja mereka di lapangan hijau, bahkan dalam musim pertamanya, Haaland yang dibeli dari Borussia Dortmund pada harga 64 juta dolar AS, mencetak 52 gol yang adalah terbanyak dibandingkan pesepakbola Eropa mana pun musim ini.
Namun, bagian terpenting dalam sukses The Citizen adalah tentu saja Pep Guardiola, yang sudah mempersembahkan liga trofi juara Liga Premier, dari total 14 trofi yang sudah dia anugerahkan kepada City.
Guardiola adalah faktor yang membuat uang saja tak cukup. Ini berbeda dari Paris Saint Germain yang kendati kaya raya dan diperkuat pemain-pemain hebat, tetap tak bisa menggapai trofi tertinggi. Salah satu faktornya, adalah pelatih yang tidak tepat.
Pun di Liga Inggris, Chelsea yang juga kaya raya yang mampu mendatangkan pemain hebat mana pun, malah terperosok di papan tengah. Pelatih yang tidak tepat adalah salah satu pangkal masalah The Blues.
Sebaliknya, Guardiola adalah orang yang tepat yang bisa mengkorelasikan uang dengan kesuksesan, sekalipun harus menunggu tujuh tahun untuk membawa City meraih gelar juara Liga Champions pertamanya.
Sukses ketiganya dalam kompetisi elite Eropa ini setelah dua kali membawa Barcelona menjuarai Liga Champions, membuat Gaurdiola pantas disebut otak dari segala sukses City.
Dia adalah manajer sepak bola putra pertama di Eropa yang dua kali menciptakan treble, setelah pada musim 2008/2009 juga sukses mempersembahkan treble untuk Barcelona.
Bersama Stefan Kovacs, Guus Hiddink, Sir Alex Ferguson, Jose Mourinho, Jupp Heynckes, Luis Enrique dan Hansi Flick, dia masuk barisan pelatih elite yang sukses mempersembahkan tiga gelar sekaligus dalam satu musim kepada timnya.
Guardiola sendiri menyebut sukses City dalam Liga Champions tertulis dalam bintang-bintang di langit. Faktanya, dia memang telah mengantarkan City terbang ke tempat yang disebut laman klub ini sebagai "langit ketujuh."
Sukses ini juga membuat ekspektasi dan prediksi orang mengenai bagaimana Manchester City musim depan menjadi semakin luar. Itu mungkin bukan lagi tentang apakah klub ini bakal kembali berjaya, tetapi juga tentang sejarah apa lagi yang hendak mereka buat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Manchester City terbang ke langit ketujuh
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023