"Seandainya ada orang yang bilang bahwa seorang polisi itu tidak punya hati dan perasaan, itu salah besar."
Ungkapan ini semakin kerap terdengar, terlebih di masa sekarang ini, utamanya di masa pandemi COVID-19, yang telah berhasil dilalui oleh bangsa ini.
Merisa Boru Hutahaean, nenek uzur kelahiran 30 April 1940, warga Dusun II, Desa Parinsoran, Kecamatan Garoga, Kabupaten Tapanuli Utara mengaku bangga melihat pribadi personil kepolisian yang telah memapah hingga menggendongnya ke pusat vaksinasi COVID-19 demi mendapatkan pelayanan vaksin untuk menambah kekebalan tubuh rentanya.
”Las roha marnida akka polisi on. Sugari dang dioppa au na laho marvaksin i laos mate alani COVID na mara (Saya senang dan bangga melihat polisi sekarang. Jika saja saya tidak digendong untuk mendapatkan vaksinasi, mungkin saya akan meninggal dalam pandemi COVID ini),” sebut Merisa.
Demikian halnya, Mianna Boru Hutahaean, wanita lanjut usia kelahiran 10 Agustus 1947, yang juga warga Dusun II, Desa Parinsoran, Kecamatan Garoga, Taput pun merasakan hal yang sama sebagaimana dirasakan oleh nenek Merisa.
”Toktong ma ho gabe jolma naburju dah oppung. Mauliate ma di burjum na manatta au asa dapotan vaksin (Tetaplah menjadi pribadi yang baik hati dan melayani masyarakat. Terima kasih untuk kebaikanmu telah memapah saya demi mendapatkan vaksin),” ucapnya.
Kedua nenek uzur ini sangat mengapresiasi pelayanan yang diberikan Bripka Rio Tampubolon, personil Bhabinkamtibmas Polsek Garoga yang memapah hingga menggendong keduanya sejauh lebih kurang dua ratus meter dari rumahnya menuju lokasi vaksinasi COVID-19.
Melihat pelayanan publik yang diterima dua warganya, Kepala Desa Parinsoran Binari Tambunan mengatakan, penerapan sisi humanis dari personil Bhabinkamtibmas memang bukan lagi barang baru di desanya.
“Sangat kasat mata, Polisi sekarang dengan hati tulus melayani, mengayomi, melindungi dan menolong masyarakat tanpa pamrih. Kita sangat bangga,” ujarnya. Bahkan, ungkapan yang sepertinya tertahan di tenggorokan juga senada disebutkan Evelin Nababan, remaja berusia 15 tahun, warga Jalan Dolok Martimbang, Kecamatan Siborongborong Taput yang menderita tuna ganda dan tidak bisa bergerak tanpa dibantu orang lain.
Demi mendapatkan vaksinasi COVID-19, Aipda Suwardi Hutapea, personil Polsek Siborongborong dengan tulus menggendong tubuh tak berdaya milik Evelin ke lokasi kegiatan vaksinasi di wilayahnya setelah sebelumnya dimobilisasi dari jarak sekira tiga kilometer lebih.
Memang, berdasarkan catatan sejarah, Polri sebagai institusi kepolisian sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit sebagai satuan pengamanan yang dibentuk Patih Gajah Mada dengan sebutan Bhayangkara.
Mungkin di masa itu, penguasaan sejumlah jurus ilmu kanuragan dan lebih mengedepankan otot menjadi syarat mutlak, namun seiring waktu telah menjalani beragam proses profesionalitas sejak Polri didirikan pada 1 Juli 1946 melalui Penetapan Pemerintah nomor 11 tahun 1946.
Atau hingga ketetapan resminya diundangkan dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2002 yang menetapkan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang memiliki fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kapolres Tapanuli Utara, AKBP Johanson Sianturi, SIK menyebutkan eksistensi moto Polri, Rastra Sewakotama yang berarti abdi utama bagi nusa bangsa tetap dipegang teguh oleh setiap anggota.
"Kita dengan semangat, dan penuh dedikasi membantu pemerintah dalam melakukan penanganan COVID-19, vaksinasi massal, bakti sosial, membantu pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial, membantu situasi kondisi yang harus ditangani saat bencana alam, longsor, kebakaran. Ini merupakan bagian implementasi dari Polri yang presisi, tidak hanya fokus pada tugas pokok penegakan hukum, tetapi tugas di luar itu, kita juga hadir di tengah masyarakat," jelasnya.
Lanjutnya, satu hal yang harus disyukuri, negeri ini penuh dengan kearifan lokal, salah satunya di wilayah Tapanuli, khususnya di Kabupaten Tapanuli Utara.
Dimana, prinsip adat batak "Dalihan Natolu", serta banyaknya putra daerah yang bertugas di institusi Polri cukup memberikan sumbangsih positif dalam mewujudkan seorang pribadi polisi abdi yang mampu menghempas rasa ego sentris, ego profesi, serta bentuk nilai keegoan lainnya.
"Kita berpikir bagaimana mengedepankan 'Dalihan Natolu' sebagai modal, bagaimana Polri itu bisa lebih dekat, lebih memahami tugasnya, bisa lebih menghilangkan sikap kepolisiannya yang cenderung merasa bahwa seorang polisi, punya kesewenangan, punya legalitas untuk berbuat ini dan itu. Tetapi dengan kondisi kearifan lokal yang ada, meskipun dia polisi, namun tetap merupakan bagian dari lingkungan masyarakat batak, yang pasti saling memiliki hubungan kekerabatan," sebutnya.
Hal ini, menurut AKBP Johanson Sianturi menjadi salah satu dasar dan pondasi kokoh yang mengedepankan sisi humanis dan hati nurani untuk terus melakukan kebaikan menuju Polri yang Presisi.
"Kita harus paham kedudukan sebagai anggota Polri dari sisi kewenangan hukum, namun harus tetap mengedepankan hati nurani. Apa yang dirasakan masyarakat itu tentu berempati bagaimana cara kita memahami mereka dalam situasi kondisi ini. Sebagai anggota Polri, kita harus bersyukur, setiap bulan dapat gaji, dapat remunerasi. Tapi masyarakat yang di lapangan itu juga adalah masyarakat yang bekerja untuk mencari nafkah untuk membutuhi anaknya sekolah, mencari makan dan sebagainya," urainya.
Harapnya, kinerja humanis dan presisi tetap dirawat, dijaga dan di kedepankan dalam pelaksanaan tugas bagi nusa dan bangsa, khususnya di Kabupaten Tapanuli Utara.
Sebab, saat hati nurani dan sisi humanis bergerak dan di kedepankan dalam menjalankan tugas, harapannya tidak akan ada lagi penyimpangan ke depan.
Tantangan ke depan yang dihadapi Polri sangat kompleks, beragam, dan majemuk, dan tentunya, Polisi yang berdedikasi, humanis, berbuat baik, tulus, melayani dengan cinta, dan mampu menerima kritikan diharapkan menjadi langkah andalan dalam menghadapi tantangan ke depan.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023
Ungkapan ini semakin kerap terdengar, terlebih di masa sekarang ini, utamanya di masa pandemi COVID-19, yang telah berhasil dilalui oleh bangsa ini.
Merisa Boru Hutahaean, nenek uzur kelahiran 30 April 1940, warga Dusun II, Desa Parinsoran, Kecamatan Garoga, Kabupaten Tapanuli Utara mengaku bangga melihat pribadi personil kepolisian yang telah memapah hingga menggendongnya ke pusat vaksinasi COVID-19 demi mendapatkan pelayanan vaksin untuk menambah kekebalan tubuh rentanya.
”Las roha marnida akka polisi on. Sugari dang dioppa au na laho marvaksin i laos mate alani COVID na mara (Saya senang dan bangga melihat polisi sekarang. Jika saja saya tidak digendong untuk mendapatkan vaksinasi, mungkin saya akan meninggal dalam pandemi COVID ini),” sebut Merisa.
Demikian halnya, Mianna Boru Hutahaean, wanita lanjut usia kelahiran 10 Agustus 1947, yang juga warga Dusun II, Desa Parinsoran, Kecamatan Garoga, Taput pun merasakan hal yang sama sebagaimana dirasakan oleh nenek Merisa.
”Toktong ma ho gabe jolma naburju dah oppung. Mauliate ma di burjum na manatta au asa dapotan vaksin (Tetaplah menjadi pribadi yang baik hati dan melayani masyarakat. Terima kasih untuk kebaikanmu telah memapah saya demi mendapatkan vaksin),” ucapnya.
Kedua nenek uzur ini sangat mengapresiasi pelayanan yang diberikan Bripka Rio Tampubolon, personil Bhabinkamtibmas Polsek Garoga yang memapah hingga menggendong keduanya sejauh lebih kurang dua ratus meter dari rumahnya menuju lokasi vaksinasi COVID-19.
Melihat pelayanan publik yang diterima dua warganya, Kepala Desa Parinsoran Binari Tambunan mengatakan, penerapan sisi humanis dari personil Bhabinkamtibmas memang bukan lagi barang baru di desanya.
“Sangat kasat mata, Polisi sekarang dengan hati tulus melayani, mengayomi, melindungi dan menolong masyarakat tanpa pamrih. Kita sangat bangga,” ujarnya. Bahkan, ungkapan yang sepertinya tertahan di tenggorokan juga senada disebutkan Evelin Nababan, remaja berusia 15 tahun, warga Jalan Dolok Martimbang, Kecamatan Siborongborong Taput yang menderita tuna ganda dan tidak bisa bergerak tanpa dibantu orang lain.
Demi mendapatkan vaksinasi COVID-19, Aipda Suwardi Hutapea, personil Polsek Siborongborong dengan tulus menggendong tubuh tak berdaya milik Evelin ke lokasi kegiatan vaksinasi di wilayahnya setelah sebelumnya dimobilisasi dari jarak sekira tiga kilometer lebih.
Memang, berdasarkan catatan sejarah, Polri sebagai institusi kepolisian sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit sebagai satuan pengamanan yang dibentuk Patih Gajah Mada dengan sebutan Bhayangkara.
Mungkin di masa itu, penguasaan sejumlah jurus ilmu kanuragan dan lebih mengedepankan otot menjadi syarat mutlak, namun seiring waktu telah menjalani beragam proses profesionalitas sejak Polri didirikan pada 1 Juli 1946 melalui Penetapan Pemerintah nomor 11 tahun 1946.
Atau hingga ketetapan resminya diundangkan dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2002 yang menetapkan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang memiliki fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kapolres Tapanuli Utara, AKBP Johanson Sianturi, SIK menyebutkan eksistensi moto Polri, Rastra Sewakotama yang berarti abdi utama bagi nusa bangsa tetap dipegang teguh oleh setiap anggota.
"Kita dengan semangat, dan penuh dedikasi membantu pemerintah dalam melakukan penanganan COVID-19, vaksinasi massal, bakti sosial, membantu pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial, membantu situasi kondisi yang harus ditangani saat bencana alam, longsor, kebakaran. Ini merupakan bagian implementasi dari Polri yang presisi, tidak hanya fokus pada tugas pokok penegakan hukum, tetapi tugas di luar itu, kita juga hadir di tengah masyarakat," jelasnya.
Lanjutnya, satu hal yang harus disyukuri, negeri ini penuh dengan kearifan lokal, salah satunya di wilayah Tapanuli, khususnya di Kabupaten Tapanuli Utara.
Dimana, prinsip adat batak "Dalihan Natolu", serta banyaknya putra daerah yang bertugas di institusi Polri cukup memberikan sumbangsih positif dalam mewujudkan seorang pribadi polisi abdi yang mampu menghempas rasa ego sentris, ego profesi, serta bentuk nilai keegoan lainnya.
"Kita berpikir bagaimana mengedepankan 'Dalihan Natolu' sebagai modal, bagaimana Polri itu bisa lebih dekat, lebih memahami tugasnya, bisa lebih menghilangkan sikap kepolisiannya yang cenderung merasa bahwa seorang polisi, punya kesewenangan, punya legalitas untuk berbuat ini dan itu. Tetapi dengan kondisi kearifan lokal yang ada, meskipun dia polisi, namun tetap merupakan bagian dari lingkungan masyarakat batak, yang pasti saling memiliki hubungan kekerabatan," sebutnya.
Hal ini, menurut AKBP Johanson Sianturi menjadi salah satu dasar dan pondasi kokoh yang mengedepankan sisi humanis dan hati nurani untuk terus melakukan kebaikan menuju Polri yang Presisi.
"Kita harus paham kedudukan sebagai anggota Polri dari sisi kewenangan hukum, namun harus tetap mengedepankan hati nurani. Apa yang dirasakan masyarakat itu tentu berempati bagaimana cara kita memahami mereka dalam situasi kondisi ini. Sebagai anggota Polri, kita harus bersyukur, setiap bulan dapat gaji, dapat remunerasi. Tapi masyarakat yang di lapangan itu juga adalah masyarakat yang bekerja untuk mencari nafkah untuk membutuhi anaknya sekolah, mencari makan dan sebagainya," urainya.
Harapnya, kinerja humanis dan presisi tetap dirawat, dijaga dan di kedepankan dalam pelaksanaan tugas bagi nusa dan bangsa, khususnya di Kabupaten Tapanuli Utara.
Sebab, saat hati nurani dan sisi humanis bergerak dan di kedepankan dalam menjalankan tugas, harapannya tidak akan ada lagi penyimpangan ke depan.
Tantangan ke depan yang dihadapi Polri sangat kompleks, beragam, dan majemuk, dan tentunya, Polisi yang berdedikasi, humanis, berbuat baik, tulus, melayani dengan cinta, dan mampu menerima kritikan diharapkan menjadi langkah andalan dalam menghadapi tantangan ke depan.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023