Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan berkaitan dengan perkawinan beda agama bisa memberikan kepastian.
"Jadi, yang selama ini di dalam ruang abu-abu, grey area, yang menjadi polemik, menjadi perdebatan, kalau sudah diputuskan MK menjadi terang benderang," kata Muhadjir, di sela-sela kunjungan kerjanya di Semarang, Selasa.
Hal tersebut disampaikan Muhadjir menanggapi putusan MK atas gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan oleh E. Ramos Petege, pemuda asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Provinsi Papua.
"Mudah-mudahan, putusan MK adalah putusan terbaik," pungkas Muhadjir singkat.
Sebelumnya, Majelis Hakim MK menolak gugatan Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan yang diajukan E. Ramos Petege, usai gagal meresmikan jalinan asmaranya dengan gadis pujaannya karena perbedaan agama.
Diketahui, pemohon E. Ramos Petege merupakan seorang pemeluk Katolik, sementara perempuan yang ingin dinikahinya beragama Islam.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Prof Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 di Jakarta, Selasa.
Hakim MK Prof Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang diakui Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara.
Meskipun demikian, hak asasi manusia berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.
Ia menjelaskan dalam konteks perkawinan yang menjadi pokok persoalan perkara, terdapat perbedaan konstruksi jaminan perlindungan antara Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan UUD 1945. Pasal 16 Ayat (1) UDHR menyebutkan secara eksplisit "Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family".
Jika diterjemahkan "Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga".
Sementara itu, UUD 1945 memiliki konstruksi rumusan berbeda melalui Pasal 28B Ayat (1) yang menyebutkan "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah".
Berdasarkan rumusan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 tersebut, ada dua hak yang dijamin secara tegas dalam ketentuan a quo yaitu hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menko PMK: Putusan MK soal nikah beda agama beri kepastian
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023
"Jadi, yang selama ini di dalam ruang abu-abu, grey area, yang menjadi polemik, menjadi perdebatan, kalau sudah diputuskan MK menjadi terang benderang," kata Muhadjir, di sela-sela kunjungan kerjanya di Semarang, Selasa.
Hal tersebut disampaikan Muhadjir menanggapi putusan MK atas gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan oleh E. Ramos Petege, pemuda asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Provinsi Papua.
"Mudah-mudahan, putusan MK adalah putusan terbaik," pungkas Muhadjir singkat.
Sebelumnya, Majelis Hakim MK menolak gugatan Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan yang diajukan E. Ramos Petege, usai gagal meresmikan jalinan asmaranya dengan gadis pujaannya karena perbedaan agama.
Diketahui, pemohon E. Ramos Petege merupakan seorang pemeluk Katolik, sementara perempuan yang ingin dinikahinya beragama Islam.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Prof Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 di Jakarta, Selasa.
Hakim MK Prof Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang diakui Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara.
Meskipun demikian, hak asasi manusia berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.
Ia menjelaskan dalam konteks perkawinan yang menjadi pokok persoalan perkara, terdapat perbedaan konstruksi jaminan perlindungan antara Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan UUD 1945. Pasal 16 Ayat (1) UDHR menyebutkan secara eksplisit "Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family".
Jika diterjemahkan "Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga".
Sementara itu, UUD 1945 memiliki konstruksi rumusan berbeda melalui Pasal 28B Ayat (1) yang menyebutkan "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah".
Berdasarkan rumusan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 tersebut, ada dua hak yang dijamin secara tegas dalam ketentuan a quo yaitu hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menko PMK: Putusan MK soal nikah beda agama beri kepastian
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023