Robert Tua Siregar PhD, dosen Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara mengungkapkan, memilih sosok figur yang mumpuni, tidak memiliki "vested interest", dan memahami tugas-tugasnya merupakan hal penting dalam menentukan seorang Penjabat Kepala Daerah, baik itu untuk Bupati, atau Walikota untuk mengisi jabatan kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada 2023, dan 2024 mendatang.

"Alangkah baiknya, Kemendagri dapat menempatkan Pj Kepala Daerah dari ASN yang ada di pusat, sebagaimana penerapan di Kabupaten Tapanuli Tengah saat ini dengan menempatkan ASN Pusat sebagai Pj Kepala daerah yang tidak memiliki 'vested interest', dan memahami tugas-tugas Pj Kepala Daerah," ujar Robert, akademi USU yang juga dosen Program Doktor Universitas Prima Indonesia Medan, Selasa (17/1).

Tak terkecuali untuk Kabupaten Tapanuli Utara atau untuk sejumlah daerah lainnya di wilayah Sumut, kata Robert, sebaiknya Kemendagri melihat ASN yang ada di Kementerian yang memiliki rekam jejak dan pemahaman akan kondisi Kabupaten Tapanuli Utara atau daerah lainnya.

"Tentunya ada figur yang nantinya akan ditunjuk sebagai Pj Kepala Daerah Tapanuli Utara. Apakah dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal & Transmigrasi, Kemenkumham, dan lainnya," sebut Dosen Magister Ilmu Manajemen STIE Sultan Agung itu.

Menurut Ketua Forum DAS Asahan Toba itu, sebanyak delapan kepala daerah di Provinsi Sumatera Utara, baik bupati dan wakil bupati maupun wali kota dan wakil wali kota akan berakhir pada tahun 2023 dan 2024. 

Persisnya, tiga jabatan kepala daerah, seperti di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Kabupaten Batubara, dan Kota Padangsidempuan akan berakhir pada November 2023.

Kemudian, lima jabatan kepala daerah, yakni Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Padang Lawas (Palas), Kabupaten Langkat, Kabupaten Tapanuli Utara (Taput), dan Kabupaten Dairi akan berakhir pada Februari 2024. 

Lanjut Robert, mekanisme penggantian kepala daerah yang jabatannya berakhir dengan merujuk UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada atau Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, memiliki implikasi hukum pada pelaksanaan Pilkada secara serentak nasional pada 2024, yakni polemik penunjukan jabatan Pj kepala daerah.

Praktik penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan dalam pengisian Pj kepala daerah pun sulit dihindari. 

"Memang mekanisme penunjukan Pj kepala daerah di atas patut dipertanyakan dan kental tendensi politiknya, pasalnya beberapa diantaranya tidak mempunyai pengalaman dalam pemerintahan sipil," terangnya.

Disebutkan, Pj Gubernur Provinsi Papua Barat berasal dari jenderal polisi yang baru pensiun, kemudian  Pj Gubernur Bangka Belitung berasal dari Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian SDM, dan Pj Gubernur Banten berasal dari Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga.

"Padahal stok pegawai ASN Pusat Kementerian dengan status JPT Madya dan JPT Pratama sangat bersyarat untuk diangkat menjadi Pj kepala daerah tanpa harus mengambil ASN yang berstatus TNI Polri," imbuhnya.

Selain itu, kata Robert, mekanisme penunjukan Pj kepala daerah di atas mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022 dan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menggariskan jabatan struktural ASN yang dapat diisi Anggota TNI/Polri hanya berlaku di sepuluh Kementerian/Lembaga, tidak termasuk Pemerintah Daerah. 

Harapnya, Putusan MK sejatinya menjadi pedoman dasar bagi pemerintah dalam merumuskan aturan teknis pengisian Pj kepala daerah. 

Dimana, salah satu hal yang harus dimasukkan sebagai persyaratan adalah pengalaman dalam pemerintahan sipil minimal lima tahun, serta penguasaan wilayah administrasi daerah tempat bertugas. 

Sebab, Pj kepala daerah nantinya akan menjalankan tugas selama dua sampai tiga tahun, sehingga tentu memerlukan hubungan koordinasi dan konsultasi dengan DPRD setempat, utamanya terkait pembahasan dan penetapan Perda tentang APBD, RKPD, dan beberapa Rancangan Perda yang telah menjadi prioritas prolegda daerah.

"Oleh karena itu, kegaduhan pengangkatan Pj kepala daerah harus diselesaikan melalui regulasi yang solutif. Penting untuk dipikirkan oleh pemerintah agar menerbitkan Peraturan Pemerintah Tentang Pedoman Pengangkatan Pj kepala daerah dengan mempertimbangkan Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022, Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dan tentunya memperbaiki aturan lama pengangkatan Pj kepala daerah yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan rezim pilkada serentak nasional," jelasnya.

Menurutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 74 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, juga dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan rezim pilkada serentak nasional. 

Selain tidak transparan dan tidak partisipatif, regulasi tersebut di atas sangat tidak memadai karena hanya melibatkan gubernur, menteri dalam negeri, dan presiden tanpa mempertimbangkan beberapa Putusan MK yang dalam pertimbangan hukumnya menggariskan pengisian Pj kepala daerah harus transparan dan tidak mengenyampingkan nilai-nilai demokratis agar terhindar dari mal-administrasi dalam proses pengangkatan Pj kepala daerah. 

Di samping itu, pengaturan kewenangan Pj kepala daerah perlu diatur secara tegas, khususnya terkait kebijakan strategis yang berdampak pada daerah, mutasi pegawai, serta tindakan-tindakan yang berpotensi mendapatkan gugatan dari masyarakat. 

Karena Pj kepala daerah menjabat dalam waktu yang lama, bahkan ada yang menjabat sampai tiga tahun lima bulan, sehingga perlu diatur kewenangan apa saja yang dapat dijalankan, jika tidak potensi penyalahgunaan kekuasaan bisa saja dilakukan Pj kepala daerah apabila kewenangannya tidak dibatasi. 

"Masa jabatan dua sampai tiga tahun sangat berpotensi disalahgunakan, sehingga aturan pelaksanaan dan pengawasannya juga harus diatur secara tegas dan jelas. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengangkatan Pj kepala daerah harus segera diwujudkan sebagai tindak lanjut  Pasal 201 UU 10/2016 yang mengatur soal syarat, kewenangan, dan pengawasan Pj kepala daerah agar pengisian Pj kepala daerah terhindar dari tendensi politik oknum tertentu yang punya kepentingan besar dalam suksesi pemilu 2024, baik Pilpres maupun Pilkada," tukasnya.

Pewarta: Rinto Aritonang

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023