Kisah pilu harus dialami oleh Rusli Mais warga Kelurahan Siabu, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara.

Saat ini ia bersama dua anak lelakinya tinggal di dalam sebuah gubuk yang berada ditengah kebun karet di wilayah Desa Simaninggir Kecamatan Siabu.

Rusli yang dijumpai ANTARA, Kamis(10/11) menuturkan dia tinggal di pondok berukuran 2x3 meter itu karena dirinya tidak memiliki rumah. Jangankan rumah, tanah saja ia tidak punya.
 
Jangan membayangkan pondok berdinding papan beratap seng. Hanya pondok yang biasa untuk tempat orang menjaga durian, lalu dibuat berdinding plastik terpal yang sudah amat lusuh.

Bahkan, tangganya juga tidak ada. Di ruang sempit berukuran 2 x 3 meter itulah Rusli Mais hampir sudah setahun lebih.
Gubuk tempat tinggal Rusli Mais. (ANTARA/Holik)
Usianya 57 tahun. Kurus dan sesak nafas. Disekitarnya tumbuh beberapa batang pohon karet yang menjadi sumber kehidupan satu-satunya. Bukan miliknya tentu. Ia tinggal di sana karena memang dia tidak punya rumah. Jangankan rumah, tanah untuk mendirikan rumah saja ia tidak punya.

Ia hidup karena batang karet yang tidak cukup seratus batang itu masih meneteskan getah ketika ia deres saban hari. Itu juga kalau sesak nafasnya tidak kumat.

Kumat juga tidak ada bedanya. Ia harus berjalan tertatih dari satu batang ke batang yang lain, sambil menggoreskan pisau gurisnya. Kalau tidak, apa yang akan dia makan? 

Di depan pondoknya ada balai-balai yang dibuat sendiri dari bambu. Tentu biar duduknya lebih nyaman sambil membelah buah kakao yang juga menjadi tambahan usahanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Itu juga punya orang. Upahnya hanya dari bagi hasil setelah kakao dijual.

Meskipun kondisinya seperti itu, kata dia dirinya juga mendapat bantuan berupa BLT dari pemerintah. Selain itu kalau sakit dia berobat juga menggunakan kartu BPJS.

"Kalau bantuan dari pemerintah saya dapat, kalau sakit saya juga tidak membayar. Namun untuk bantuan perumahan layak huni jauh dari harapan saya, karena saya tidak memiliki tanah," ujarnya dengan sedih.

Setiap orang memang harus bertahan hidup. Ketika orang lain sibuk mencari menu terbaik untuk makan siang, ia, lelaki sepuh itu, hanya mampu menanak beras di tungku depan pondoknya. Hanya tunggu sederhana dengan tiga buah batu penyangga. 

Jangan tanya menu sambal dan gulainya. Buat orang susah, ada saja beras, sudah hebat. Setidaknya dengan makan nasi saja tanpa lauk, ia terbebas dari kelaparan setiap hari. Karena itu, hari ini, saat semua sibuk memperingati Hari Pahlawan, lelaki kurus kering itu juga menghidupkan api di tunggu. Sambil menarik nafasnya yang sesak, ia juga meniup api. Buat orang sakit, itu bukan pekerjaan yang mudah tentu. 

Istrinya meninggal tujuh tahun yang lalu. Selain dua anak yang tinggal bersamanya, satu anak perempuannya harus ditumpangkan ke orang lain.

Sesekali dia berharap ada orang lain yang dapat membantunya mendirikan sebuah rumah yang layak huni. Setidaknya dengan tinggal bersama orang lain sehingga ia tidak perlu tinggal di gubuk tak layak itu.

Hari Pahlawan adalah hari yang mengingatkan kita terhadap semangat berkorban. Mengingatkan kita bahwa begitu banyak orang dulu yang menumpahkan darahnya untuk menjadi bangsa yang merdeka. 

Karena dengan merdeka, kita bermimpi tentang hidup yang layak. Senasib sepenanggungan, kata Soekarno dulu. Meskipun akhirnya, kita semua tidak senasib dan berbeda tanggungan.

Pewarta: Holik

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2022