“Indonesia mengalami capital outflow terutama dalam pemegangan government bonds kita yang mengalami penurunan hingga Rp126 triliun,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu.
Sri Mulyani menjelaskan capital outflow hingga mencapai Rp126,85 triliun ini terjadi sebagai dampak dari pengetatan likuiditas dan suku bunga di negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS) sehingga Indonesia dan emerging countries lain terkena imbasnya.
Meski demikian, ia mengatakan Indonesia beruntung pada 2021 dan 2022 karena pemerintah berhasil menurunkan exposure kepemilikan asing dalam governement bonds yang sebelum pandemi mencapai 38,5 persen menjadi 15,34 persen.
“Pada 26 Agustus 2022 foreign holders kita di 15,34 persen artinya meski terjadi movement capital outflow yang mencapai Rp126,85 triliun tapi dampak terhadap yield menjadi lebih bisa dikelola,” jelasnya.
Baca juga: Sri Mulyani sebut ada potensi penurunan target pertumbuhan ekonomi 2023
Hal tersebut seiring pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) yang terus menjaga stabilitas Surat Berharga Negara (SBN) sehingga kinerjanya relatif stabil.
Sri Mulyani menuturkan kinerja SBN dalam periode bergejolak ini relatif dalam situasi yang baik dibanding negara lain seperti AS yang yield US Treasury-nya melonjak lebih dari 100 persen.
Dalam hal ini, Indonesia secara year-to-date (ytd) juga mengalami kenaikan dari bonds 10 tahun di 12,4 persen, sedangkan Filipina 28,7 persen dan Meksiko 17,5 persen.
“Ini adalah suatu yang harus kita jaga karena berhubungan dengan cost of fund dari pembiayaan kita,” tegas Sri Mulyani.
Sementara sebelum terjadi pandemi COVID-19 yakni pada 2019, emerging countries sempat menikmati capital inflow sekitar 70 miliar dolar AS, sedangkan pada 2022 terjadi capital outflow hingga minus 50 miliar dolar AS.
“Ini adalah reverse terhadap keberadaan hard currency terutama dolar yang sangat menentukan banyak negara,” kata Menkeu Sri Mulyani.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2022