Pneumonia, penyakit yang menyerang paru-paru manusia bisa menyerang siapa saja termasuk anak. Bakteri Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae tipe b (Hib) dan virus pernapasan syncytial masuk melalui pernapasan atau secara aspirasi (terhirup) secara tidak sengaja, lalu memicu respon imun tubuh dan menyebabkan reaksi peradangan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pneumonia membunuh 740.180 anak di bawah usia 5 tahun pada 2019, terhitung 14 persen dari semua kematian anak di bawah lima tahun, dan 22 persen dari semua kematian pada anak berusia 1 hingga 5 tahun.
Baca juga: Perlukah menunggu untuk berhubungan intim setelah melahirkan?
Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), dr. Cynthia Centauri, Sp.A mengungkapkan, Indonesia pada tahun 2017 sempat menduduki posisi ketujuh di dunia sebagai negara dengan kasus pneumonia tertinggi.
Sejumlah hal antara lain imunitas rendah semisal akibat kurang gizi, hunian padat, status ekonomi rendah, penyakit yang menyertai sebelumnya seperti HIV dan campak, polusi udara, asap rokok dan imunisasi belum lengkap, dikatakan menjadi faktor risiko seseorang bisa terkena penyakit ini.
Mereka khusus anak yang terkena pneumonia umumnya merasakan gejala dan tanda seperti batuk, sesak yang ditandai dengan napas cepat, adanya tarikan dada, napas cuping hidung, tampak biru, penurunan saturasi oksigen. Napas cepat pada anak bisa dilakukan melalui pengukuran frekuensi pernapasan dalam satu menit.
Gejala lainnya yang umum timbul yakni pasien sulit makan dan minum, kesadaran menurun yang ditandai dengan lebih banyak tidur atau tampak lemah, demam atau hipotermia, kejang, suara nafas tambahan, dan gejala penyerta lain seperti diare, muntah dan sebagainya.
Mereka dengan gejala ini dapat dirawat di rumah sakit terutama apabila sudah sulit bernapas atau merintih, ada penurunan saturasi oksigen, sulit makan, atau memiliki penyakit penyerta.
Pada dasarnya pneumonia memiliki derajat, seperti penyakit pada umumnya, yakni mulai dari ringan yang ditandai dengan kondisi anak masih aktif, masih bisa makan dan minum, namun napas agak cepat dan demam ringan. Pada kondisi tersebut anak masih dapat dibawa rawat jalan ke dokter. Sementara pada derajat yang berat, ditandai dengan napas berat, anak sudah tidak dapat makan dan minum, lemas, apabila kondisi tersebut muncul, segera bawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) terdekat.
Menurut Cynthia, hal yang perlu diperhatikan oleh orangtua, apabila anak sudah mengalami kondisi nafas tersengal-sengal yakni tidak memberikan mereka makan atau minum, untuk menghindari mereka tersedak dan berujung memperberat kondisi anak.
Cegah pneumonia
Pneumonia termasuk penyakit yang bisa dicegah dan diobati. Meningkatkan upaya pencegahan pneumonia dapat mencegah hampir sembilan juta kematian anak akibat pneumonia dan penyakit utama lainnya pada tahun 2030.
Mencegah pneumonia pada anak dapat dilakukan melalui pemberian nutrisi yang cukup untuk meningkatkan pertahanan alami anak dan dapat dimulai dengan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan, melakukan imunisasi yang lengkap, memberikan nutrisi yang baik.
Upaya pencegahan lainnya yakni mengatasi faktor lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan (dengan menyediakan kompor dalam ruangan bersih yang terjangkau, misalnya) dan mendorong kebersihan yang baik di rumah yang ramai juga mengurangi jumlah anak yang jatuh sakit dengan pneumonia.
Di sisi lain, Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), dr. Nina Dwi Putri, Sp.A(K), MSc.(TropPaed) memandang pentingnya imunisasi dalam upaya mencegah pneumonia.
Dia menjelaskan, pada prinsipnya imunisasi dapat melindungi tubuh dari risiko terkena infeksi berat, dilakukan dengan cara diberikan atau diinfeksikan dengan kuman yang telah dimatikan atau dilemahkan.
Dengan diberikan imunisasi, seakan-akan tubuh mengalami infeksi dan belajar menghadapi infeksi, sehingga lebih siap bila terpapar dengan kuman yang sesungguhnya. Nina menekankan, imunisasi termasuk hak setiap anak yang dibutuhkan dalam hidupnya.
“Vaksinasi memiliki manfaat meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada anak-anak yang rentan tertular penyakit, mencegah anak tertular penyakit tertentu, dan meningkatkan kualitas hidup anak,” tutur Nina.
Vaksin pneumonia dapat diberikan kepada bayi, anak-anak, orang dewasa, dan lansia. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), vaksin ini memiliki tingkat efektivitas hingga 96 persen dalam hal melindungi anak-anak dari penyakit pneumonia.
Berbicara efek samping, umumnya ditemui anak menjadi rewel, kelelahan, nafsu makan menjadi menurun, ada kemerahan, bengkak, atau nyeri di daerah tempat penyuntikan, demam, menggigil dan nyeri kepala.
Namun, menurut Nina hal tersebut lebih baik dibandingkan anak tidak divaksin yang bisa menempatkan mereka mudah terpapar penyakit menular, mengalami penurunan kualitas dan harapan hidup, berisiko menularkan penyakit ke orang terdekat, terkena penyakit yang timbul beserta komplikasinya sehingga dapat meningkatkan beban finansial.
Pada masa pandemi COVID-19, vaksinasi rutin pada anak bisa tetap dilakukan sesuai dengan jadwal. Namun apabila terlambat maka dapat mengikuti program Kegiatan Imunisasi Kejar, yaitu kegiatan memberikan imunisasi kepada bayi dan balita yang belum menerima dosis vaksin sesuai usia yang ditentukan pada jadwal imunisasi nasional.
Pentingnya vaksinasi terutama di masa pandemi ini, karena vaksinasi dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh anak yang rentan terpapar agen-agen infeksius selama pandemi COVID-19.
Vaksinasi juga mengurangi risiko kasus ko-infeksi atau infeksi bersamaan antara infeksi SARS-CoV-2 dengan infeksi patogen lain seperti bakteri, virus, jamur, dan lain-lain.
"Saat ini sudah bermunculan kasus-kasus infeksi bersamaan, dan ternyata koinfeksi pneumokokus ini sering muncul bersamaan dengan COVID-19 selain dengan virus influenza dan Mycoplasma," tutur Nina.
Agar anak tak takut atau merasa tidak nyaman saat melakukan vaksin, ada sejumlah cara yang bisa diterapkan antara lain memberikan mereka cairan manis, memberikan ASI untuk anak yang masih menyusui, hingga menenangkan anak dengan membawa mainan atau mengalihkan perhatian anak dengan hal lainnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2022
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pneumonia membunuh 740.180 anak di bawah usia 5 tahun pada 2019, terhitung 14 persen dari semua kematian anak di bawah lima tahun, dan 22 persen dari semua kematian pada anak berusia 1 hingga 5 tahun.
Baca juga: Perlukah menunggu untuk berhubungan intim setelah melahirkan?
Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), dr. Cynthia Centauri, Sp.A mengungkapkan, Indonesia pada tahun 2017 sempat menduduki posisi ketujuh di dunia sebagai negara dengan kasus pneumonia tertinggi.
Sejumlah hal antara lain imunitas rendah semisal akibat kurang gizi, hunian padat, status ekonomi rendah, penyakit yang menyertai sebelumnya seperti HIV dan campak, polusi udara, asap rokok dan imunisasi belum lengkap, dikatakan menjadi faktor risiko seseorang bisa terkena penyakit ini.
Mereka khusus anak yang terkena pneumonia umumnya merasakan gejala dan tanda seperti batuk, sesak yang ditandai dengan napas cepat, adanya tarikan dada, napas cuping hidung, tampak biru, penurunan saturasi oksigen. Napas cepat pada anak bisa dilakukan melalui pengukuran frekuensi pernapasan dalam satu menit.
Gejala lainnya yang umum timbul yakni pasien sulit makan dan minum, kesadaran menurun yang ditandai dengan lebih banyak tidur atau tampak lemah, demam atau hipotermia, kejang, suara nafas tambahan, dan gejala penyerta lain seperti diare, muntah dan sebagainya.
Mereka dengan gejala ini dapat dirawat di rumah sakit terutama apabila sudah sulit bernapas atau merintih, ada penurunan saturasi oksigen, sulit makan, atau memiliki penyakit penyerta.
Pada dasarnya pneumonia memiliki derajat, seperti penyakit pada umumnya, yakni mulai dari ringan yang ditandai dengan kondisi anak masih aktif, masih bisa makan dan minum, namun napas agak cepat dan demam ringan. Pada kondisi tersebut anak masih dapat dibawa rawat jalan ke dokter. Sementara pada derajat yang berat, ditandai dengan napas berat, anak sudah tidak dapat makan dan minum, lemas, apabila kondisi tersebut muncul, segera bawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) terdekat.
Menurut Cynthia, hal yang perlu diperhatikan oleh orangtua, apabila anak sudah mengalami kondisi nafas tersengal-sengal yakni tidak memberikan mereka makan atau minum, untuk menghindari mereka tersedak dan berujung memperberat kondisi anak.
Cegah pneumonia
Pneumonia termasuk penyakit yang bisa dicegah dan diobati. Meningkatkan upaya pencegahan pneumonia dapat mencegah hampir sembilan juta kematian anak akibat pneumonia dan penyakit utama lainnya pada tahun 2030.
Mencegah pneumonia pada anak dapat dilakukan melalui pemberian nutrisi yang cukup untuk meningkatkan pertahanan alami anak dan dapat dimulai dengan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan, melakukan imunisasi yang lengkap, memberikan nutrisi yang baik.
Upaya pencegahan lainnya yakni mengatasi faktor lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan (dengan menyediakan kompor dalam ruangan bersih yang terjangkau, misalnya) dan mendorong kebersihan yang baik di rumah yang ramai juga mengurangi jumlah anak yang jatuh sakit dengan pneumonia.
Di sisi lain, Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), dr. Nina Dwi Putri, Sp.A(K), MSc.(TropPaed) memandang pentingnya imunisasi dalam upaya mencegah pneumonia.
Dia menjelaskan, pada prinsipnya imunisasi dapat melindungi tubuh dari risiko terkena infeksi berat, dilakukan dengan cara diberikan atau diinfeksikan dengan kuman yang telah dimatikan atau dilemahkan.
Dengan diberikan imunisasi, seakan-akan tubuh mengalami infeksi dan belajar menghadapi infeksi, sehingga lebih siap bila terpapar dengan kuman yang sesungguhnya. Nina menekankan, imunisasi termasuk hak setiap anak yang dibutuhkan dalam hidupnya.
“Vaksinasi memiliki manfaat meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada anak-anak yang rentan tertular penyakit, mencegah anak tertular penyakit tertentu, dan meningkatkan kualitas hidup anak,” tutur Nina.
Vaksin pneumonia dapat diberikan kepada bayi, anak-anak, orang dewasa, dan lansia. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), vaksin ini memiliki tingkat efektivitas hingga 96 persen dalam hal melindungi anak-anak dari penyakit pneumonia.
Berbicara efek samping, umumnya ditemui anak menjadi rewel, kelelahan, nafsu makan menjadi menurun, ada kemerahan, bengkak, atau nyeri di daerah tempat penyuntikan, demam, menggigil dan nyeri kepala.
Namun, menurut Nina hal tersebut lebih baik dibandingkan anak tidak divaksin yang bisa menempatkan mereka mudah terpapar penyakit menular, mengalami penurunan kualitas dan harapan hidup, berisiko menularkan penyakit ke orang terdekat, terkena penyakit yang timbul beserta komplikasinya sehingga dapat meningkatkan beban finansial.
Pada masa pandemi COVID-19, vaksinasi rutin pada anak bisa tetap dilakukan sesuai dengan jadwal. Namun apabila terlambat maka dapat mengikuti program Kegiatan Imunisasi Kejar, yaitu kegiatan memberikan imunisasi kepada bayi dan balita yang belum menerima dosis vaksin sesuai usia yang ditentukan pada jadwal imunisasi nasional.
Pentingnya vaksinasi terutama di masa pandemi ini, karena vaksinasi dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh anak yang rentan terpapar agen-agen infeksius selama pandemi COVID-19.
Vaksinasi juga mengurangi risiko kasus ko-infeksi atau infeksi bersamaan antara infeksi SARS-CoV-2 dengan infeksi patogen lain seperti bakteri, virus, jamur, dan lain-lain.
"Saat ini sudah bermunculan kasus-kasus infeksi bersamaan, dan ternyata koinfeksi pneumokokus ini sering muncul bersamaan dengan COVID-19 selain dengan virus influenza dan Mycoplasma," tutur Nina.
Agar anak tak takut atau merasa tidak nyaman saat melakukan vaksin, ada sejumlah cara yang bisa diterapkan antara lain memberikan mereka cairan manis, memberikan ASI untuk anak yang masih menyusui, hingga menenangkan anak dengan membawa mainan atau mengalihkan perhatian anak dengan hal lainnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2022