Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan aktivitas pinjaman online haram dikarenakan terdapat unsur riba, memberikan ancaman, dan membuka rahasia atau aib seseorang kepada rekan orang yang berutang.
"Layanan pinjaman baik offline maupun online yang mengandung riba, hukumnya haram, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Soleh dalam penutupan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI di Jakarta, Kamis (11/11).
Dia menyebutkan pada dasarnya perbuatan pinjam meminjam atau utang piutang merupakan bentuk akad tabarru’ atau kebajikan atas dasar saling tolong menolong yang dianjurkan sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Baca juga: Ijtimak Komisi Fatwa MUI tetapkan makna jihad dan khilafah
Namun, apabila dalam praktiknya penagihan piutang dilakukan dengan memberikan ancaman fisik atau membuka rahasia (aib) seseorang yang tidak mampu membayar utang adalah haram.
Selain itu bagi orang yang meminjam apabila sengaja menunda pembayaran hutang bagi yang mampu, hukumnya adalah haram.
"Adapun memberikan penundaan atau keringanan dalam pembayaran hutang bagi yang mengalami kesulitan, merupakan perbuatan yang dianjurkan (mustahab)," kata Niam.
Terkait dengan maraknya aktivitas pinjaman online di masyarakat, MUI merekomendasikan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo, Polri, dan OJK hendaknya terus meningkatkan perlindungan kepada masyarakat dan melakukan pengawasan serta menindak tegas penyalahgunaan pinjaman online atau finansial technologi peer to peer lending (Fintech Lending) yang meresahkan masyarakat.
Di sisi pihak penyelenggara pinjaman online juga hendaknya menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam semua transaksi yang dilakukan. Sedangkan bagi umat Islam, kata Niam, hendaknya memilih jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip Syariah.*
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021
"Layanan pinjaman baik offline maupun online yang mengandung riba, hukumnya haram, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Soleh dalam penutupan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI di Jakarta, Kamis (11/11).
Dia menyebutkan pada dasarnya perbuatan pinjam meminjam atau utang piutang merupakan bentuk akad tabarru’ atau kebajikan atas dasar saling tolong menolong yang dianjurkan sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Baca juga: Ijtimak Komisi Fatwa MUI tetapkan makna jihad dan khilafah
Namun, apabila dalam praktiknya penagihan piutang dilakukan dengan memberikan ancaman fisik atau membuka rahasia (aib) seseorang yang tidak mampu membayar utang adalah haram.
Selain itu bagi orang yang meminjam apabila sengaja menunda pembayaran hutang bagi yang mampu, hukumnya adalah haram.
"Adapun memberikan penundaan atau keringanan dalam pembayaran hutang bagi yang mengalami kesulitan, merupakan perbuatan yang dianjurkan (mustahab)," kata Niam.
Terkait dengan maraknya aktivitas pinjaman online di masyarakat, MUI merekomendasikan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo, Polri, dan OJK hendaknya terus meningkatkan perlindungan kepada masyarakat dan melakukan pengawasan serta menindak tegas penyalahgunaan pinjaman online atau finansial technologi peer to peer lending (Fintech Lending) yang meresahkan masyarakat.
Di sisi pihak penyelenggara pinjaman online juga hendaknya menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam semua transaksi yang dilakukan. Sedangkan bagi umat Islam, kata Niam, hendaknya memilih jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip Syariah.*
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021