Kementerian Kesehatan RI menerapkan strategi khusus pada upaya penanggulangan penyakit tuberkulosis (TBC) di tengah situasi pandemi COVID-19 di Indonesia.
"Indonesia memiliki beban penyakit TBC tertinggi kedua di dunia. Setiap tahun diperkirakan 845.000 orang di Indonesia jatuh sakit akibat tuberkulosis," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin (30/8).
Nadia mengatakan dari sekitar 845.000 kasus TBC di Indonesia, baru sekitar 67 persen atau atau 568.987 kasus TBC yang teridentifikasi oleh Kementerian Kesehatan pada 2019.
Baca juga: Memahami si menular tuberkulosis
Menurut Nadia, terdapat empat strategi mengeliminasi TBC dan Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO) di Indonesia hingga 2030, sesuai Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulpsis yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 Agustus 2021.
Aturan itu menetapkan target eliminasi TBC pada angka kejadian (incidance rate) menjadi 65 per 100.000 penduduk serta menurunkan angka kematian akibat TBC menjadi enam per 100.000 penduduk.
Strategi pertama, kata Nadia, meningkatkan intensitas edukasi, komunikasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai penyakit tuberkulosis.
Kedua, meningkatkan intensitas jangkauan ke masyarakat untuk menemukan pasien tuberkulosis.
Ketiga, melakukan penguatan fasilitas kesehatan, baik di puskesmas, klinik atau layanan kesehatan masyarakat lainnya.
Keempat, memperkuat sistem informasi dan pemantauan untuk memastikan agar pasien tuberkulosis menjalani pengobatan sampai sembuh.
"Untuk mewujudkan target eliminasi TBC pada Tahun 2030, masyarakat serta dunia industri dapat berperan besar lewat partisipasi aktif dalam mendukung pencegahan penularan penyakit, penemuan kasus, deteksi dini dan pendampingan pengobatan bagi pasien TBC," katanya.
Nadia mengatakan strategi tersebut memerlukan usaha khusus mengingat implementasi kegiatan itu dihadapkan pada situasi pandemi COVID-19, sehingga pengelola program TBC provinsi, kota dan kabupaten diharapkan untuk membuat rencana kontingensi.
"Layanan TBC tidak boleh dihentikan karena jika putus berobat akan menjadi resistan obat dan akan menularkan kepada yang kontak. Rencana kebutuhan obat dan logistik lainnya termasuk masker dengan berbagai perimbangan kondisi yang terjadi," katanya.
Menurut Nadia pengelola program juga perlu memetakan dan menunjuk fasyankes rujukan TBC RO sementara agar terpisah dengan fasyankes COVID-19 yang ditandatangi oleh kepala dinas kesehatan setempat.
Kemenkes juga mendorong pemetaan fasyankes lain untuk layanan laboratorium dalam rangka diagnosis TBC, apabila jejaring yang lama perlu dilakukan penyesuaian akibat penanganan COVID-19 di wilayah tersebut.
"Rencana untuk memantau pengawasan minum obat pasien TBC menggunakan teknologi digital atau nomor WA, hotline sesuai dengan kemampuan setempat. Kita juga dorong pelibatan komunitas setempat untuk pendampingan pasien," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021
"Indonesia memiliki beban penyakit TBC tertinggi kedua di dunia. Setiap tahun diperkirakan 845.000 orang di Indonesia jatuh sakit akibat tuberkulosis," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin (30/8).
Nadia mengatakan dari sekitar 845.000 kasus TBC di Indonesia, baru sekitar 67 persen atau atau 568.987 kasus TBC yang teridentifikasi oleh Kementerian Kesehatan pada 2019.
Baca juga: Memahami si menular tuberkulosis
Menurut Nadia, terdapat empat strategi mengeliminasi TBC dan Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO) di Indonesia hingga 2030, sesuai Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulpsis yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 Agustus 2021.
Aturan itu menetapkan target eliminasi TBC pada angka kejadian (incidance rate) menjadi 65 per 100.000 penduduk serta menurunkan angka kematian akibat TBC menjadi enam per 100.000 penduduk.
Strategi pertama, kata Nadia, meningkatkan intensitas edukasi, komunikasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai penyakit tuberkulosis.
Kedua, meningkatkan intensitas jangkauan ke masyarakat untuk menemukan pasien tuberkulosis.
Ketiga, melakukan penguatan fasilitas kesehatan, baik di puskesmas, klinik atau layanan kesehatan masyarakat lainnya.
Keempat, memperkuat sistem informasi dan pemantauan untuk memastikan agar pasien tuberkulosis menjalani pengobatan sampai sembuh.
"Untuk mewujudkan target eliminasi TBC pada Tahun 2030, masyarakat serta dunia industri dapat berperan besar lewat partisipasi aktif dalam mendukung pencegahan penularan penyakit, penemuan kasus, deteksi dini dan pendampingan pengobatan bagi pasien TBC," katanya.
Nadia mengatakan strategi tersebut memerlukan usaha khusus mengingat implementasi kegiatan itu dihadapkan pada situasi pandemi COVID-19, sehingga pengelola program TBC provinsi, kota dan kabupaten diharapkan untuk membuat rencana kontingensi.
"Layanan TBC tidak boleh dihentikan karena jika putus berobat akan menjadi resistan obat dan akan menularkan kepada yang kontak. Rencana kebutuhan obat dan logistik lainnya termasuk masker dengan berbagai perimbangan kondisi yang terjadi," katanya.
Menurut Nadia pengelola program juga perlu memetakan dan menunjuk fasyankes rujukan TBC RO sementara agar terpisah dengan fasyankes COVID-19 yang ditandatangi oleh kepala dinas kesehatan setempat.
Kemenkes juga mendorong pemetaan fasyankes lain untuk layanan laboratorium dalam rangka diagnosis TBC, apabila jejaring yang lama perlu dilakukan penyesuaian akibat penanganan COVID-19 di wilayah tersebut.
"Rencana untuk memantau pengawasan minum obat pasien TBC menggunakan teknologi digital atau nomor WA, hotline sesuai dengan kemampuan setempat. Kita juga dorong pelibatan komunitas setempat untuk pendampingan pasien," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021