Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Deli Serdang, H. Khoirum Rijal ST, MAP dalam pertemuan dengan budayawan di taman Museum, berkali-kali menekankan perlunya database kebudayaan di Deli Serdang.

Pernyataan yang disampaikan tersebut, menjadi pertanyaan besar bagi budayawan daerah ini, sebab penyampaiannya adalah pejabat yang berwenang. Bisa jadi kesan yang mencuat dibenak pendengar yakni mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab soal data multietnis ini.

Database memang dikenal menjadi modal dasar dalam menetapkan kebijakan sesuai kebutuhannya. Tidak mengherankan juga kalau database tersebut kerap dikonversi menjadi bagian utama menentukan indeks keberhasilan.

Tegasnya, bagaimana pula hasil akhirnya manakala database kebudayaan yang dimaksud Kadis Porabudpar digunakan menjadi indeks pembangunan?

Sedemikian strategisnya peranan kebudayaan dalam pembangunan, sehingga dewasa ini pemerintah Indonesia berupaya keras untuk meningkatkan pembangunan kebudayaan.

Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan diterbitkan, dengan harapan akan membawa arah baru dalam pembangunan kebudayaan sekaligus menjadikan kebudayaan sebagai investasi guna membangun masa depan dan peradaban bangsa.

Diharapkan kebudayaan dapat memperkukuh jati diri dan karakter bangsa, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, melestarikan warisan budaya bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mampu mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia.

Untuk mendukung pemajuan kebudayaan itulah diperlukan data dan informasi yang memadai agar pemajuan kebudayaan tepat mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Data dan informasi sangat diperlukan dalam kebijakan pembangunan, hal inilah membuat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Pusat Statistik bekerja sama menyusun Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK).

Dikutip dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menyiarkannya melalui berbagai media, bahwa IPK merupakan instrumen untuk mengukur capaian kinerja pembangunan kebudayaan. Dalam hal ini, IPK tidak dimaksudkan untuk mengukur nilai budaya suatu daerah, melainkan untuk mengukur kinerja pembangunan kebudayaan.

IPK diharapkan dapat memberikan gambaran pembangunan kebudayaan secara lebih holistik dengan memuat 7 dimensi, yakni: (1) dimensi ekonomi budaya; (2) dimensi pendidikan; (3) dimensi ketahanan sosial budaya; (4) dimensi warisan budaya; (5) dimensi ekspresi budaya; (6) dimensi budaya literasi; dan (7) dimensi kesetaraan gender.

Ketujuh dimensi tersebut menunjukkan bahwa pembangunan kebudayaan memiliki ruang lingkup yang cukup luas dan bersifat lintas sektor. Berdasarkan IPK Tahun 2018, pembangunan kebudayaan Indonesia cukup baik, namun masih perlu terus ditingkatkan.

Nilai IPK pada tingkat nasional dengan rentang nilai 0 – 100 sebesar 53,74. Adapun nilai untuk setiap dimensi sebagai berikut: dimensi ekonomi budaya (30,55), dimensi pendidikan (69,67), dimensi ketahanan sosial budaya (72,84), dimensi warisan budaya (41,11), dimensi ekspresi budaya (36,57), dimensi budaya literasi (55,03), dan dimensi kesetaraan gender (54,97).

Dimensi ketahanan sosial budaya memiliki nilai paling tinggi, sementara dimensi ekonomi budaya memiliki nilai paling rendah dibandingkan dengan dimensi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan kebudayaan Indonesia dalam mempertahankan dan mengembangkan identitas, pengetahuan, dan praktik budaya pada kehidupan sosial cukup baik.

Namun kontribusi kebudayaan dalam mendukung pembangunan ekonomi masih perlu terus ditingkatkan. Sementara nilai IPK pada tingkat provinsi menunjukkan, bahwa masih terdapat 21 provinsi memiliki IPK di bawah angka nasional.

Provinsi DI Yogyakarta memiliki nilai Indeks Pembangunan Kebudayaan paling tinggi (73,79), dan Provinsi Papua memiliki Indeks Pembangunan Kebudayaan paling rendah (46,25). Sebagai salah satu instrumen yang mampu mengukur sejauh mana keberhasilan pembangunan kebudayaan secara komprehensif, IPK merupakan wujud nyata perhatian pemerintah bersama para pemerhati budaya dalam menjaga sinergitas kontribusi unsur kebudayaan pada pembangunan nasional.

Untuk pertama kalinya penghitungan IPK dilakukan pada tahun 2018 dengan menggunakan berbagai sumber informasi yang sebagian besar berasal dari Susenas MSBP 2018 dengan menggunakan pendekatan rumah tangga.

Deli Serdang adalah “kampung besar” di antara kota besar lainnya di Sumatera Utara. Kehadiran Majelis Kebudayaan Deli Serdang (MKDS) yang sebentar lagi resmi berdiri, diharapkan sebagai garda depan menjadi mitra pemerintah di sektor kebudayaan.

Sinergitas dan kontribusi dari kalangan budayawan di MKDS diniatkan menghantarkan semua kebutuhan kebudayaan kepada pemerintah guna dikelola selaras dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Pernyataan Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Deli Serdang, H. Khoirum Rijal ST, MAP yang mengatakan perlunya database kebudayaan, rasanya sudah sangat tepat untuk diaminkan.

Apalagi dikaitkan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Deli Serdang ke-75, Tahun 2021 (1 Juli 1946 - 1 Juli 2021), maka hadirnya MKDS menjadi kado kecil buat negeri Bhineka Perkasa Jaya tersebut sebagai mitra (big data) di bidang kebudayaan guna menguatkan ketahanan budaya.

*) Penulis adalah budayawan, jurnalis, tinggal di Deli Serdang

Pewarta: Drs Jenda Bangun *)

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021