Lupus yang dikenal sebagai penyakit seribu wajah sehingga diagnosisnya di fasilitas kesehatan tingkat satu sering terlewatkan, sebenarnya bisa dideteksi sehingga pasien tak jatuh pada kecacatan atau bahkan kematian.

Oleh karena itu, menurut dr. Theresia Sandra Diah Ratih, dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2PTM) Kementerian Kesehatan mengatakan, masyarakat perlu mengenali sejak dini apa itu lupus dan di sisi lain pemerintah meningkatkan akses layanan berkualitas terutama terkait deteksi dini serta meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan.

"Kami menyebarluaskan informasi pada masyarakat apa itu lupus dan bagaimana bisa mengenalinya sejak dini, meningkatkan akses layanan kesehatan berkualitas terutama deteksi dini dan tindak lanjut, meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan terutama pengenalan (lupus)," ujar dia webinar peringatan Hari Lupus Sedunia 2021, Senin.

Baca juga: H-3 Lebaran, Polres Tapsel cek objek wisata

Sandra meyakini, walaupun lupus sulit didiagnosis tetapi seiring bertambahnya pengetahuan masyarakat dan tenaga kesehatan melalui pemberian edukasi misalnya dari pertemuan-pertemuan bersama pakar kesehatan, maka diagnosis bisa tegak lalu sistem rujukan, sistem kesehatan dan akses terutama orang dengan lupus dapat lebih baik.

"Kami akan akan coba memperbaiki sistem rujukan sehingga orang dengan lupus bisa mengakses kesehatan dengan lebih baik," kata dia.

Secara umum, pemerintah menerapkan strategi khusus dalam pengendalian penyakit tidak menular yang fokus pada tiga kelompok yakni populasi sehat, berisiko dan penyandang. Populasi sehat diupayakan bisa tetap sehat, lalu populasi berisiko misalnya karena pola makan tak sehat, obesitas dan kebiasaan merokok bisa didorong agar tak menjadi populasi sakit.

Sementara populasi penyandang, diusahakan bisa menjaga kesehatannya sehingga tidak jatuh pada kondisi disabilitas atau bahkan mengarah pada kematian.

Periksa lupus sendiri atau SALURI

Ketua IDAI cabang Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus dokter di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Sumadiono menuturkan, lupus bisa mengenai berbagai organ tubuh mulai dari ujung rambut hingga kaki sehingga tenaga kesehatan punya peluang salah mendiagnosis gejalanya.

Di sisi lain, tak semua pasien mengalami gejala butterfly rash atau ruam kemerahan di batang hidung dan melebar ke dua pipi yang menjadi ciri paling kentara lupus.

"Apabila ada suatu gejala butterfly rash atau gambaran seperti kupu-kupu hampir semua orang tahu itu lupus, tetapi itu tidak selalu terjadi dan bisa salah diagnosis. Pasien ada merah-merah di kulit tetapi tidak di wajah bisa didiagonis dermatitis, eczema dan lainnya. Kemudian gejala psikiatri dianggap gangguan jiwa, kejang-kejang (dianggap gangguan saraf), masalah paru atau jantung. Betapa sulitnya untuk mengetahui gejala utama lupus," kata dia.
 
Ilustrasi SALURI dari Kementerian Kesehatan (p2ptm.kemkes.go.id)


Untuk memudahkan deteksi dini, Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah mengeluarkan informasi SALURI atau periksa lupus sendiri berisi 11 pertanyaan terkait lupus yang harus dijawab sendiri.

Ke-11 pertanyaan ini antara lain;
1. Apakah Persendian Anda sering terasa sakit, nyeri atau bengkak lebih dari 3 bulan?
2. Apakah jari tangan dan/ jari kaki pucat, kaku atau tidak nyaman di saat dingin?
3. Apakah Anda pernah menderita sariawan lebih dari 2 minggu?
4.  Apakah Anda mengalami kelainan darah seperti : anemia, leukositopenia, atau trombositopenia?
5. Pernahkah pada wajah Anda terdapat ruam kemerahan berbentuk kupu-kupu yang sayapnya melintang dari pipi ke pipi?
6. Apakah Anda sering demam di atas 38º C dengan sebab yang tidak jelas?
7.  Apakah Anda pernah mengalami nyeri dada selama beberapa hari saat menarik nafas?
8. Apakah Anda sering merasa sangat lelah dan sangat lemas, bahkan setelah cukup beristirahat?
9.  Apakah kulit Anda hipersensitif terhadap sinar matahari?
10. Apakah terdapat protein pada pemeriksaan urin Anda?
11. Pernahkah Anda mengalami serangan kejang?.

Apabila seseorang menjawab "ya" untuk minimal empat dari 11 pertanyaan, maka ada kemungkinan dia terkena lupus sehingga sebaiknya segera berkonsultasi ke dokter untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.



Masalah lain lupus

Sumadiono mengatakan, masalah lupus ternyata tak semata sulitnya diagnosis tetapi juga hal-hal lain seperti data tidak selalu lengkap, obat-obatan terkadang tidak ditanggung BPJS, manajemen komprehensif beberapa obat terkadang tak tersedia di rumah sakit sehingga pasien harus beli di luar.

Kemudian, masalah tumbuh kembang pada anak, banyak anak yang mengalami obesitas, malnutrisi, perawakan pendek, gangguan tulang dan lainnya.

Masalah lainnya, transportasi, rumah tinggal, gangguan psikologis dan psikiatri, gangguan mobilitas atau gerakan, rehabilitasi medis, hingga home visit.

Founder Yayasan Syamsi Dhuha Foundation, Dian Syarif menuturkan, orang dengan lupus sangat membutuhkan obat yang bisa menekan imunnya yang berlebihan. Obat ini memegang peranan vital dalam meredakan lupus, namun terkendala masalah harga yang tinggi.

"Kami identifikasi, masalah tidak terjangkaunya harga obat. Waktu itu, ada satu obat yang menghabiskan Rp1,5 juta per bulan," tutur dia.

Oleh karena itu, dia dan tim sejak tahun 2006 mulai mengadvokasi pemerintah terkait harga obat dan ketersediaan obat agar mudah diakses para odapus (orang dengan lupus).

Dari sisi angka kasus, Sumadiono yang mengambil spesialisasi anak itu mengatakan, saat ini di RSUP Dr. Sardjito terdapat 150-200 pasien anak sementara dewasa sekitar 300-350 orang.

Kemudian, berdasarkan gender, pasien dewasa sekitar 10 persen-nya laki-laki dan 90 persen perempuan, sementara pada pasien anak, 85 persen-nya perempuan dan sisanya laki-laki.

"Kami tidak tahu mengapa lebih banyak perempuan," kata Sumadiono.

Di tengah masalah yang masih melingkupi penanganan dan deteksi lupus, Founder Yayasan Lupus Indonesia sekaligus penyandang lupus selama 34 tahun terakhir, Tiara Savitri berkomitmen terus sosialisasi dan kepada masyarakat dan mengajak teman-teman dengan lupus bisa hidup berkualitas.

Sosialisasi sendiri bisa dimulai dari informasi terkait lupus, deteksi dini yang diharapkan dapat membantu orang dengan lupus dan tenaga kesehatan mengenali lupus sehingga tidak berujung pada keparahan atau bahkan kematian akibat penyakit tak ditangani dengan baik.
 

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021