Akademisi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dr. Adriana Soekandar Ginanjar mengatakan bahwa penting bagi orang tua untuk tidak memberikan target atau ekspektasi berlebih bagi perkembangan anaknya yang memiliki Autism Spectrum Disorders (ASD).
"Orang tua biasanya berpikir kalau anak sudah diterapi dengan baik, anaknya bisa 'normal', atau ada juga yang gunakan kata 'sembuh', tapi saya lebih suka bilangnya 'berkembang secara optimal', karena ini masalahnya di neurologis," kata Adriana kepada ANTARA beberapa waktu lalu, ditulis pada Rabu.
Baca juga: Menggapai optimisme meskipun autis
"Memang susah bagi orang tua untuk menargetkan anak umur sekian harus bisa melakukan hal tertentu, dan memang orang tua harus belajar soal penanganan anaknya seperti apa, targetnya apa, dan jangan serahkan semua ke terapis, karena tiap terapi punya tujuan tertentu," ujarnya menambahkan.
Ada pun sejumlah metode atau terapi yang diterapkan untuk anak autisme biasanya berbentuk terapi individual, ada terapi sensori integrasi, terapi tingkah laku, hingga terapi wicara. Sebelum anak dengan autisme bisa masuk sekolah umum, biasanya orang tua sudah memberikan terapi terlebih dahulu sehingga anak bisa mengejar keterlambatannya.
Baca juga: Cara mengenalkan puasa kepada anak dengan autisme
"Perlu diingat bahwa ada mereka yang bisa mengatasi masalahnya itu, tapi ada juga yang masalahnya tetap ada dan lanjutnya ke sekolah khusus. Penanganan individual perlu dilakukan di awal tapi evaluasi terus dilakukan oleh orang tua , terapis dan guru," kata Adriana.
Di sisi lain, psikolog lulusan Magister Psikologi Terapan Universitas Indonesia Diah A. Witasari mengatakan bahwa orang tua juga perlu realistis akan tumbuh-kembang anak, dibarengi dengan fokus dan risikonya.
Baca juga: Pentingnya "me time" bagi orang tua dengan anak autisme
"Dilakukan sambil jalan. Jangan terlalu (punya ekspektasi) yang gimana-gimana. Setiap anak itu unik. Dia punya proses berkembang sendiri, dan punya keistimewaan sendiri. Ruang itu perlu diisi dengan ekspektasi yang realistis," kata Diah.
Tidak memiliki ekspektasi yang tinggi kepada anak dengan autisme, menurut Diah juga berperan untuk mereduksi rasa lelah dan stres dari orang tua ketika mengasuh anaknya.
"Ini memang berangkat dari diri kita sendiri. Melihat bagaimana anak bertemu potensinya, mengetahui kelebihan dia apa. Karena yang menjadikan (pendampingan) melelahkan adalah karena kita punya ekspektasi tinggi," kata dia.
"Tapi, memang boleh memiliki target tertentu, tapi harusnya disesuaikan dengan keadaan. Memiliki ekspektasi itu wajar, orang tua punya rencana tertentu juga wajar, dan ketika tidak tercapai merasa sedih. Boleh sedih, tapi kita harus bangkit lagi," imbuhnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021
"Orang tua biasanya berpikir kalau anak sudah diterapi dengan baik, anaknya bisa 'normal', atau ada juga yang gunakan kata 'sembuh', tapi saya lebih suka bilangnya 'berkembang secara optimal', karena ini masalahnya di neurologis," kata Adriana kepada ANTARA beberapa waktu lalu, ditulis pada Rabu.
Baca juga: Menggapai optimisme meskipun autis
"Memang susah bagi orang tua untuk menargetkan anak umur sekian harus bisa melakukan hal tertentu, dan memang orang tua harus belajar soal penanganan anaknya seperti apa, targetnya apa, dan jangan serahkan semua ke terapis, karena tiap terapi punya tujuan tertentu," ujarnya menambahkan.
Ada pun sejumlah metode atau terapi yang diterapkan untuk anak autisme biasanya berbentuk terapi individual, ada terapi sensori integrasi, terapi tingkah laku, hingga terapi wicara. Sebelum anak dengan autisme bisa masuk sekolah umum, biasanya orang tua sudah memberikan terapi terlebih dahulu sehingga anak bisa mengejar keterlambatannya.
Baca juga: Cara mengenalkan puasa kepada anak dengan autisme
"Perlu diingat bahwa ada mereka yang bisa mengatasi masalahnya itu, tapi ada juga yang masalahnya tetap ada dan lanjutnya ke sekolah khusus. Penanganan individual perlu dilakukan di awal tapi evaluasi terus dilakukan oleh orang tua , terapis dan guru," kata Adriana.
Di sisi lain, psikolog lulusan Magister Psikologi Terapan Universitas Indonesia Diah A. Witasari mengatakan bahwa orang tua juga perlu realistis akan tumbuh-kembang anak, dibarengi dengan fokus dan risikonya.
Baca juga: Pentingnya "me time" bagi orang tua dengan anak autisme
"Dilakukan sambil jalan. Jangan terlalu (punya ekspektasi) yang gimana-gimana. Setiap anak itu unik. Dia punya proses berkembang sendiri, dan punya keistimewaan sendiri. Ruang itu perlu diisi dengan ekspektasi yang realistis," kata Diah.
Tidak memiliki ekspektasi yang tinggi kepada anak dengan autisme, menurut Diah juga berperan untuk mereduksi rasa lelah dan stres dari orang tua ketika mengasuh anaknya.
"Ini memang berangkat dari diri kita sendiri. Melihat bagaimana anak bertemu potensinya, mengetahui kelebihan dia apa. Karena yang menjadikan (pendampingan) melelahkan adalah karena kita punya ekspektasi tinggi," kata dia.
"Tapi, memang boleh memiliki target tertentu, tapi harusnya disesuaikan dengan keadaan. Memiliki ekspektasi itu wajar, orang tua punya rencana tertentu juga wajar, dan ketika tidak tercapai merasa sedih. Boleh sedih, tapi kita harus bangkit lagi," imbuhnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021