Dokter dari Departemen Penelitian dan Pengembangan PT Harsen Laboratories dr Herman Sunaryo Msc mengatakan penggunaan obat anthelmintik (obat infeksi cacing) Invermectin dapat menjadi alternatif pengobatan COVID-19.
"Masyarakat mungkin tidak tahu mengenai Ivermectin ini, karena di Indonesia obat ini lebih sering untuk veteriner. Tetapi keprihatinan terhadap pasien COVID-19 yang meninggal tanpa obat telah menggerakkan para dokter di Peru, Dominica, Bangladesh dan India untuk menggunakan Ivermectin," ujar Herman dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (28/10)
.Baca juga: Biofarma akan terima 15 juta dosis bulk vaksin Sinovac November 2020
Ia mengatakan selain obat tersebut sudah off paten, dapat digunakan oleh manusia dan harganya juga murah, aman dan efektif. Sejumlah negara Amerika Selatan juga telah menggunakan Ivermectin sebagai pengobatan dan tindakan pencegahan setelah penelitian laboratorium awal menunjukkan bahwa obat itu dapat menghilangkan COVID-19.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat atau Food and Drug Administration (FDA) sebelumnya juga menegaskan perlu pengujian lanjutan untuk memastikan apakah Ivermectin dapat mencegah atau mengobati COVID-19. Ivermectin sendiri sudah disetujui untuk infeksi parasit.
"Kami bersedia melakukan uji Klinis untuk Invermectin sebagai pengobatan COVID-19. Jika mendapatkan lampu hijau dari pemerintah kami bersedia tanpa harus dibiayai oleh pemerintah untuk melakukan uji klinis terhadap Ivermectin. Dengan demikian kami dapat turut berkontribusi pada kesehatan masyarakat khususnya di kondisi pandemi ini," kata dia.
Baca juga: Bio Farma cegah pemalsuan vaksin COVID-19
Jika Ivermectin terbukti dapat menolong pasien COVID-19 maka diperkirakan masyarakat hanya akan mengeluarkan biaya sekitar Rp5.000 per tablet.
"Itu sangat terjangkau, apalagi melihat riwayat jurnal dan pengobatan sebelum di negara lain hanya dibutuhkan tiga tablet dengan dosis 12mg untuk pengobatan orang dewasa," ujarnya.
Penggunaan Ivermectin untuk memerangi COVID-19 akan tergantung pada hasil pengujian pra-klinis lebih lanjut dan pada akhirnya uji klinis. Ivermectin ditemukan pada 1975. Obat tersebut awalnya digunakan untuk mengobati hewan ternak dan peliharaan yang sakit akibat parasit misalnya heartworm.
Pada perkembangannya, sejak 1981 obat itu telah digunakan untuk mengobati manusia yang sakit akibat infeksi parasit juga, misalnya river blindness yang disebabkan Onchocerca volvulus, strongyloidosis dan lain sebagainya.
Bahkan, FDA telah menyetujui penggunaan Ivermectin untuk penyakit akibat parasit pada manusia. Demikian juga WHO yang memasukkan Ivermectin dalam daftar obat penting pada tahun yang sama.
"Sampai sekarang penggunaan Ivermectin sudah miliaran dosis dan tidak ada laporan efek samping yang berbahaya dan keamanannya baik," ujar Herman.
Saat pandemi COVID-19 merebak, bulan April 2020 peneliti Monash University, Australia menerbitkan penelitian mengenai Ivermectin. Obat tersebut dinyatakan dapat menghambat perkembangan COVID-19 dalam biakan sel.
Dalam penelitian tersebut RNA virus berkurang 93 persen hingga 99,8 persen dalam waktu 24 jam. Efek itu juga bertahan sampai 72 jam dalam pembiakan sel (invitro). Itu yang menjadi awal penggunaan Ivermectin untuk infeksi COVID-19.
Sejumlah negara yakni Peru, Republik Dominica, Bangladesh dan India telah menggunakan obat tersebut. Salah satu sumber dalam jurnal penelitian berjudul A Case Series of 100 COVID-19 Positive Patients Treated with Combination of Ivermectin and Doxycycline.
Selain itu, sebuah studi kolaboratif yang dipimpin oleh Monash Biomedicine Discovery Institute (BDI) dengan Institut Infeksi dan Imunitas Peter Doherty (Doherty Institute), perusahaan patungan dari Universitas Melbourne dan Rumah Sakit Royal Melbourne, telah menunjukkan bahwa obat anti-parasit seperti cacing gelang Ivermectin yang sudah tersedia di pasaran dapat membunuh virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dalam waktu 48 jam.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
"Masyarakat mungkin tidak tahu mengenai Ivermectin ini, karena di Indonesia obat ini lebih sering untuk veteriner. Tetapi keprihatinan terhadap pasien COVID-19 yang meninggal tanpa obat telah menggerakkan para dokter di Peru, Dominica, Bangladesh dan India untuk menggunakan Ivermectin," ujar Herman dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (28/10)
.Baca juga: Biofarma akan terima 15 juta dosis bulk vaksin Sinovac November 2020
Ia mengatakan selain obat tersebut sudah off paten, dapat digunakan oleh manusia dan harganya juga murah, aman dan efektif. Sejumlah negara Amerika Selatan juga telah menggunakan Ivermectin sebagai pengobatan dan tindakan pencegahan setelah penelitian laboratorium awal menunjukkan bahwa obat itu dapat menghilangkan COVID-19.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat atau Food and Drug Administration (FDA) sebelumnya juga menegaskan perlu pengujian lanjutan untuk memastikan apakah Ivermectin dapat mencegah atau mengobati COVID-19. Ivermectin sendiri sudah disetujui untuk infeksi parasit.
"Kami bersedia melakukan uji Klinis untuk Invermectin sebagai pengobatan COVID-19. Jika mendapatkan lampu hijau dari pemerintah kami bersedia tanpa harus dibiayai oleh pemerintah untuk melakukan uji klinis terhadap Ivermectin. Dengan demikian kami dapat turut berkontribusi pada kesehatan masyarakat khususnya di kondisi pandemi ini," kata dia.
Baca juga: Bio Farma cegah pemalsuan vaksin COVID-19
Jika Ivermectin terbukti dapat menolong pasien COVID-19 maka diperkirakan masyarakat hanya akan mengeluarkan biaya sekitar Rp5.000 per tablet.
"Itu sangat terjangkau, apalagi melihat riwayat jurnal dan pengobatan sebelum di negara lain hanya dibutuhkan tiga tablet dengan dosis 12mg untuk pengobatan orang dewasa," ujarnya.
Penggunaan Ivermectin untuk memerangi COVID-19 akan tergantung pada hasil pengujian pra-klinis lebih lanjut dan pada akhirnya uji klinis. Ivermectin ditemukan pada 1975. Obat tersebut awalnya digunakan untuk mengobati hewan ternak dan peliharaan yang sakit akibat parasit misalnya heartworm.
Pada perkembangannya, sejak 1981 obat itu telah digunakan untuk mengobati manusia yang sakit akibat infeksi parasit juga, misalnya river blindness yang disebabkan Onchocerca volvulus, strongyloidosis dan lain sebagainya.
Bahkan, FDA telah menyetujui penggunaan Ivermectin untuk penyakit akibat parasit pada manusia. Demikian juga WHO yang memasukkan Ivermectin dalam daftar obat penting pada tahun yang sama.
"Sampai sekarang penggunaan Ivermectin sudah miliaran dosis dan tidak ada laporan efek samping yang berbahaya dan keamanannya baik," ujar Herman.
Saat pandemi COVID-19 merebak, bulan April 2020 peneliti Monash University, Australia menerbitkan penelitian mengenai Ivermectin. Obat tersebut dinyatakan dapat menghambat perkembangan COVID-19 dalam biakan sel.
Dalam penelitian tersebut RNA virus berkurang 93 persen hingga 99,8 persen dalam waktu 24 jam. Efek itu juga bertahan sampai 72 jam dalam pembiakan sel (invitro). Itu yang menjadi awal penggunaan Ivermectin untuk infeksi COVID-19.
Sejumlah negara yakni Peru, Republik Dominica, Bangladesh dan India telah menggunakan obat tersebut. Salah satu sumber dalam jurnal penelitian berjudul A Case Series of 100 COVID-19 Positive Patients Treated with Combination of Ivermectin and Doxycycline.
Selain itu, sebuah studi kolaboratif yang dipimpin oleh Monash Biomedicine Discovery Institute (BDI) dengan Institut Infeksi dan Imunitas Peter Doherty (Doherty Institute), perusahaan patungan dari Universitas Melbourne dan Rumah Sakit Royal Melbourne, telah menunjukkan bahwa obat anti-parasit seperti cacing gelang Ivermectin yang sudah tersedia di pasaran dapat membunuh virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dalam waktu 48 jam.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020