Plasma darah konvalesen yang diharapkan dapat menjadi salah satu calon obat COVID-19 tidak banyak membantu pasien menyembuhkan dirinya dari penyakit menular tersebut, demikian hasil uji klinis di India.
Hasil uji klinis, yang telah diterbitkan di BMJ British Medical Journal, Jumat, menunjukkan plasma konvalesen tidak dapat mengurangi tingkat kematian pasien COVID-19.
Plasma konvalesen, yang mengandung antibodi dari pasien sembuh, diberikan pada pasien COVID-19 sebagai salah satu opsi pengobatan.
Baca juga: Menlu Belgia masuk ICU karena COVID-19
Temuan itu diperoleh dari uji klinis yang diikuti oleh lebih dari 400 pasien COVID-19 yang diopname di rumah sakit.
Hasil uji klinis itu pun menunjukkan kemunduran upaya mencari obat COVID-19, meskipun Presiden Amerika Serikat Donald Trump, pada Agustus 2020 sempat menyebut plasma konvalesen sebagai "terobosan bersejarah".
Otoritas kesehatan di Amerika Serikat dan India telah mengizinkan penggunaan plasma konvalesen untuk kebutuhan darurat.
Sementara itu, negara-negara lainnya, termasuk, masih mendorong pasien sembuh untuk menyumbangkan plasma darahnya sehingga --jika nanti terbukti efektif-- pasien COVID-19 dapat langsung menggunakan obat tersebut.
"Hasil uji klinis ... menunjukkan plasma darah hanya sedikit berdampak pada pasien mengingat (sistem kekebalan tubuh, red) pasien dapat melawan virus, tetapi (plasma darah, red) ini tidak dapat membantu pasien untuk memulihkan diri setelah terserang penyakit menular itu," kata ahli biologi molekuler dari University of Reading, Simon Clarke.
"Singkatnya, tidak ada manfaat secara klinis yang diperoleh pasien (setelah diberikan plasma darah konvalesen, red)," kata dia.
Uji klinis di India diikuti oleh 464 pasien COVID-19 dewasa dengan gejala sakit menengah dan mereka semua dirawat di rumah sakit dalam kurun waktu April sampai Juli 2020.
Para peserta uji klinis kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang menerima dua kali transfusi plasma darah dan mereka yang tidak.
Tujuh hari setelah transfusi, mereka yang menerima plasma konvalesen menunjukkan perbaikan pada beberapa gejala, seperti sesak napas dan kelelahan, kata sejumlah peneliti, dan mengarah pada peningkatan aspek yang disebut sebagai "konversi negatif", tanda antibodi tengah bekerja melawan virus.
Namun, hasil itu tidak lantas menunjukkan plasma darah dapat mengurangi tingkat kematian dan tidak juga mampu meningkatkan kondisi pasien dengan gejala penyakit parah dalam waktu 28 hari.
"Performa plasma konvalesen dalam uji klinis ini mengecewakan, tetapi tidak begitu mengejutkan," kata profesor bidang virologi dari University of Reading, Ian Jones.
Ia mengatakan plasma darah kemungkinan punya khasiat lebih jika langsung diberikan ke pasien tidak lama setelah ia terkonfirmasi positif COVID-19.
Jones pun mendorong peneliti lainnya untuk melanjutkan uji klinis terhadap plasma konvalesen sebagai salah satu obat COVID-19 potensial. Namun, ia menyarankan agar penelitian selanjutnya melibatkan para pasien COVID-19 yang baru saja didiagnosis terkena COVID-19.
"Kita belum punya obat yang dapat mencegah kondisi pasien memburuk, dan sampai ini jadi salah satu opsi (pengobatan, red), pesan pentingnya, kita harus tetap berusaha agar tidak tertular virus," kata dia.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
Hasil uji klinis, yang telah diterbitkan di BMJ British Medical Journal, Jumat, menunjukkan plasma konvalesen tidak dapat mengurangi tingkat kematian pasien COVID-19.
Plasma konvalesen, yang mengandung antibodi dari pasien sembuh, diberikan pada pasien COVID-19 sebagai salah satu opsi pengobatan.
Baca juga: Menlu Belgia masuk ICU karena COVID-19
Temuan itu diperoleh dari uji klinis yang diikuti oleh lebih dari 400 pasien COVID-19 yang diopname di rumah sakit.
Hasil uji klinis itu pun menunjukkan kemunduran upaya mencari obat COVID-19, meskipun Presiden Amerika Serikat Donald Trump, pada Agustus 2020 sempat menyebut plasma konvalesen sebagai "terobosan bersejarah".
Otoritas kesehatan di Amerika Serikat dan India telah mengizinkan penggunaan plasma konvalesen untuk kebutuhan darurat.
Sementara itu, negara-negara lainnya, termasuk, masih mendorong pasien sembuh untuk menyumbangkan plasma darahnya sehingga --jika nanti terbukti efektif-- pasien COVID-19 dapat langsung menggunakan obat tersebut.
"Hasil uji klinis ... menunjukkan plasma darah hanya sedikit berdampak pada pasien mengingat (sistem kekebalan tubuh, red) pasien dapat melawan virus, tetapi (plasma darah, red) ini tidak dapat membantu pasien untuk memulihkan diri setelah terserang penyakit menular itu," kata ahli biologi molekuler dari University of Reading, Simon Clarke.
"Singkatnya, tidak ada manfaat secara klinis yang diperoleh pasien (setelah diberikan plasma darah konvalesen, red)," kata dia.
Uji klinis di India diikuti oleh 464 pasien COVID-19 dewasa dengan gejala sakit menengah dan mereka semua dirawat di rumah sakit dalam kurun waktu April sampai Juli 2020.
Para peserta uji klinis kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang menerima dua kali transfusi plasma darah dan mereka yang tidak.
Tujuh hari setelah transfusi, mereka yang menerima plasma konvalesen menunjukkan perbaikan pada beberapa gejala, seperti sesak napas dan kelelahan, kata sejumlah peneliti, dan mengarah pada peningkatan aspek yang disebut sebagai "konversi negatif", tanda antibodi tengah bekerja melawan virus.
Namun, hasil itu tidak lantas menunjukkan plasma darah dapat mengurangi tingkat kematian dan tidak juga mampu meningkatkan kondisi pasien dengan gejala penyakit parah dalam waktu 28 hari.
"Performa plasma konvalesen dalam uji klinis ini mengecewakan, tetapi tidak begitu mengejutkan," kata profesor bidang virologi dari University of Reading, Ian Jones.
Ia mengatakan plasma darah kemungkinan punya khasiat lebih jika langsung diberikan ke pasien tidak lama setelah ia terkonfirmasi positif COVID-19.
Jones pun mendorong peneliti lainnya untuk melanjutkan uji klinis terhadap plasma konvalesen sebagai salah satu obat COVID-19 potensial. Namun, ia menyarankan agar penelitian selanjutnya melibatkan para pasien COVID-19 yang baru saja didiagnosis terkena COVID-19.
"Kita belum punya obat yang dapat mencegah kondisi pasien memburuk, dan sampai ini jadi salah satu opsi (pengobatan, red), pesan pentingnya, kita harus tetap berusaha agar tidak tertular virus," kata dia.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020