Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menegaskan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui penetapan Perpres 64/2020 telah mempertimbangkan putusan Mahkamah Agung (MA).
“Penetapan dari Perpres 64 Tahun 2020 ini sangat mempertimbangkan keputusan MA dan pemerintah sangat memahami,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Askolani mengatakan kenaikan iuran yang dimulai pada 1 Juli 2020 tidak hanya bertujuan untuk membiayai defisit BPJS Kesehatan, melainkan memprioritaskan perlindungan kesehatan masyarakat Indonesia.
Baca juga: BPJS Kesehatan akan tindak tegas faskes terbukti langgar perjanjian kerja sama
Ia melanjutkan, revisi Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan menjadi Perpres 64/2020 sangat dibutuhkan karena disesuaikan dengan kondisi terkini yaitu layanan kesehatan harus lebih baik, berkesinambungan, dan mencakup seluruh masyarakat Indonesia.
Perpres 64/2020 memiliki dua konsep dasar yaitu pertama adalah jangka pendek yang mengandung tujuan utama untuk memperbaiki struktur iuran dan meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran.
Kedua adalah jangka panjang yaitu menyiapkan serangkaian kebijakan secara menyeluruh dengan merasionalisasikan manfaat program sesuai kebutuhan dasar kesehatan, penerapan satu kelas perawatan yang terstandarisasi di semua faskes, serta penyederhanaan tarif layanan.
Kemudian juga optimalisasi coordination of benefit (CoB), penerapan skema pendanaan global budget yaitu rumah sakit mendapatkan anggaran dari BPJS Kesehatan untuk membiayai kegiatan selama setahun, dan cost sharing.
“Revisi dari Perpres sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian kepada pengelolaan kesehatan JKN ke depan,” ujarnya.
Askolani menekankan kebijakan ini mengedepankan kebaikan bersama yaitu menjaga kesinambungan program JKN dalam jangka pendek dan panjang serta perbaikan pelayanan agar manajemen BPJS dan RS dapat lebih baik.
“Ini sesuai amanat UU bahwa penyesuaian tarif dimungkinkan untuk dilakukan dua tahun sekali jadi pemerintah melihat kemungkinan ini lalu disesuaikan dengan kondisi aktual dan kondisi masyarakat keseluruhan,” katanya.
Tak hanya itu, Askolani mengatakan kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah hadir dalam membantu pelayanan jaminan kesehatan khususnya untuk masyarakat miskin yaitu dengan ditanggungnya sebagian iuran peserta PBPU dan BP kelas III.
Dalam Perpres 64/2020 untuk kelas III pada 2020 tetap Rp25.500 karena pemerintah memberikan subsidi Rp16.500 yang merupakan gap iuran dari Rp42 ribu, sementara pada 2021 peserta hanya membayar Rp35 ribu.
“Jadi kelas III dilakukan relaksasi jumlahnya Rp16.500 ini dimasukkan ke dalam anggaran 2020 yang sudah dianggarkan sebanyak Rp3,1 triliun," ujarnya.
Sementara itu, ia menuturkan keikutsertaan masyarakat pada program JKN akan dijalankan menjadi satu pintu melalui pemerintah pusat sehingga peserta PBI yang selama ini dibebankan ke APBD akan menjadi tanggungan pemerintah pusat.
"Jadi even pemda mengusulkan nanti akan dikoordinasikan oleh pusat untuk meyakinkan bahwa kewajiban dan pelayanan BPJS maupun RS betul betul seimbang dan konsisten,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
“Penetapan dari Perpres 64 Tahun 2020 ini sangat mempertimbangkan keputusan MA dan pemerintah sangat memahami,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Askolani mengatakan kenaikan iuran yang dimulai pada 1 Juli 2020 tidak hanya bertujuan untuk membiayai defisit BPJS Kesehatan, melainkan memprioritaskan perlindungan kesehatan masyarakat Indonesia.
Baca juga: BPJS Kesehatan akan tindak tegas faskes terbukti langgar perjanjian kerja sama
Ia melanjutkan, revisi Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan menjadi Perpres 64/2020 sangat dibutuhkan karena disesuaikan dengan kondisi terkini yaitu layanan kesehatan harus lebih baik, berkesinambungan, dan mencakup seluruh masyarakat Indonesia.
Perpres 64/2020 memiliki dua konsep dasar yaitu pertama adalah jangka pendek yang mengandung tujuan utama untuk memperbaiki struktur iuran dan meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran.
Kedua adalah jangka panjang yaitu menyiapkan serangkaian kebijakan secara menyeluruh dengan merasionalisasikan manfaat program sesuai kebutuhan dasar kesehatan, penerapan satu kelas perawatan yang terstandarisasi di semua faskes, serta penyederhanaan tarif layanan.
Kemudian juga optimalisasi coordination of benefit (CoB), penerapan skema pendanaan global budget yaitu rumah sakit mendapatkan anggaran dari BPJS Kesehatan untuk membiayai kegiatan selama setahun, dan cost sharing.
“Revisi dari Perpres sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian kepada pengelolaan kesehatan JKN ke depan,” ujarnya.
Askolani menekankan kebijakan ini mengedepankan kebaikan bersama yaitu menjaga kesinambungan program JKN dalam jangka pendek dan panjang serta perbaikan pelayanan agar manajemen BPJS dan RS dapat lebih baik.
“Ini sesuai amanat UU bahwa penyesuaian tarif dimungkinkan untuk dilakukan dua tahun sekali jadi pemerintah melihat kemungkinan ini lalu disesuaikan dengan kondisi aktual dan kondisi masyarakat keseluruhan,” katanya.
Tak hanya itu, Askolani mengatakan kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah hadir dalam membantu pelayanan jaminan kesehatan khususnya untuk masyarakat miskin yaitu dengan ditanggungnya sebagian iuran peserta PBPU dan BP kelas III.
Dalam Perpres 64/2020 untuk kelas III pada 2020 tetap Rp25.500 karena pemerintah memberikan subsidi Rp16.500 yang merupakan gap iuran dari Rp42 ribu, sementara pada 2021 peserta hanya membayar Rp35 ribu.
“Jadi kelas III dilakukan relaksasi jumlahnya Rp16.500 ini dimasukkan ke dalam anggaran 2020 yang sudah dianggarkan sebanyak Rp3,1 triliun," ujarnya.
Sementara itu, ia menuturkan keikutsertaan masyarakat pada program JKN akan dijalankan menjadi satu pintu melalui pemerintah pusat sehingga peserta PBI yang selama ini dibebankan ke APBD akan menjadi tanggungan pemerintah pusat.
"Jadi even pemda mengusulkan nanti akan dikoordinasikan oleh pusat untuk meyakinkan bahwa kewajiban dan pelayanan BPJS maupun RS betul betul seimbang dan konsisten,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020