Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan telah merencanakan aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Bahkan, Menkopolhukam Mahmud MD menyatakan bahwa ruang lingkup dari aturan yang dimuat dalam PP tersebut terdiri dari cara dan syarat-syarat bagi pemerintah daerah yang ingin melakukan pembatasan gerakan atau disebut lockdown.

Ketua Bidang Advokasi dan Hukum Jaringan Pengusaha Nasional (Japnas) Sumut, Arimansyah, Minggu,  mengatakan, yang paling penting dan telah menjadi perbincangan di masyarakat yakni mengenai isi dari Pasal 55 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan, bahwa selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

"Tak hanya itu, ayat (2) juga menyatakan, tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait. Begitu pun dengan Pasal 8 yang mengatur mengenai karantina dan Pasal 52 mengenai karantina rumah yang pada pokoknya berisi sama dengan Pasal 55 tersebut," katanya.

Menurut Arimansyah, jika melihat dari isi Pasal 55, Pasal 8 dan Pasal 52 tersebut, maka pemerintah memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Tak hanya untuk memastikan ketersediaan bahan pokok ada di pasaran, namun juga harus menyiapkan kebutuhan dasar seluruh masyarakat di wilayah yang ditetapkan lockdown.

Diakuinya, dengan memperhatikan kondisi perekonomian negara yang saat ini tidak stabil, dimana dalam UU disebutkan pendanaan kegiatan penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan salah satunya bersumber dari APBN dan/atau APBD, tentunya untuk membiayai kebutuhan dasar seluruh masyarakat di wilayah yang ditetapkan lockdown sangatlah besar.

"Sudah seharusnya pemerintah memberikan penjelasan pada aturan pelaksana yang telah disusun untuk UU ini. Dimana kewajiban pemerintah adalah hanya sebatas memastikan ketersediaan bahan pokok di pasaran, serta menyiapkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat atau golongan tidak mampu sebagaimana telah dilakukan pemerintah saat ini, dan hal itu juga sejalan dengan konstitusi UUD 1945 yang mewajibkan negara memperhatikan fakir miskin dan anak-anak terlantar," ujarnya.

Arimansyah yang juga berprofesi sebagai pengacara ini mengungkapkan, jika konsekuensi isi Pasal 54, Pasal 8 dan Pasal 52 dibiarkan tanpa dibatasi oleh aturan PP atau aturan pelaksananya, maka setiap orang tanpa memandang golongan jika berada di wilayah yang ditetapkan lockdown dapat menuntut pemenuhan atas kebutuhan dasarnya kepada pemerintah. Apabila pemerintah tidak dapat memenuhinya, maka masyarakat memiliki hak untuk menempuh upaya hukum yang tertera dalam payung hukum 1365 KUH Perdata dan disampaikan kepada pengadilan.

Terkait wabah virus corona yang dinyatakan sebagai pandemik oleh WHO, pemerintah sudah membuat beberapa kebijakan seperti work from home, study from home bahkan beberapa daerah sudah menetapkan local lockdown yakni di Tegal dan Tasikmalaya.

Seharusnya semua itu sudah ada aturannya di UU Kekarantinaan dan Kesehatan. Namun faktanya belum sepenuhnya dijalankan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Misalnya terkait local lockdown atau di dalam UU disebut karantina wilayah ataupun kebijakan work from home dan study from home yang di UU disebut pembatasan sosial berskala besar, seharusnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan ekonomi, dukungan sumber daya, efektifitas dan lainnya.

"Ketika pemerintah sudah menetapkan local lockdown, UU itu telah memberikan tanggung jawab penuh kepada pemerintah pusat yang berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat. Itu berarti masyarakat tak perlu lagi untuk memikirkan mencari nafkah karena semuanya menjadi tanggung jawab pemerintah," ujarnya.

Pewarta: Evalisa Siregar

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020