Epidemi penyakit coronavirus 19 (COVID-19) sudah memasuki bulan ketiga sejak berawal dari kasus pertama yang terjadi di Kota Wuhan Provinsi Hubei China pada Desember 2019 silam.
Penyakit pneumonia misterius yang awalnya terjadi pada sekelompok orang yang memiliki riwayat perjalanan ke salah satu pasar ikan di Kota Wuhan itu menyebar ke seantero China daratan, dan kemudian ke sejumlah negara dikarenakan mobilitas perjalanan orang-orang pergi dan keluar China. Berbagai kota di China dikarantina, orang-orang berhenti bekerja, anak-anak tidak sekolah, tidak ada aktivitas ekonomi ataupun industri yang beroperasi.
Di China, badai itu telah berlalu. Gelombang virus yang mematikan, menyebar pada orang-orang dengan cepat, dan membuat para tenaga kesehatan kewalahan hingga tertular dan meninggal, kini hampir selesai di Negeri Tirai Bambu tersebut.
Kasus terbanyak di China mencapai puncaknya pada 5 Februari di mana pada hari itu ada 3.893 orang yang terinfeksi dan 66 orang yang meninggal. Namun setelah hari itu berakhir, perlahan-lahan jumlah kasus baru COVID-19 menurun dan terus menurun. Dari yang paling banyak mencapai 3.893 kasus per hari, kini per tanggal 9 Maret 2020 kasus baru di China hanya tinggal 20. Gelombang pertama hampir selesai.
Namun gelombang kedua dari virus yang memiliki nama resmi SARS-CoV 2 ini sedang ganas-ganasnya di sejumlah negara, persis seperti apa yang dilakukan oleh virus tersebut di kampung halamannya China.
Virus baru dari silsilah keluarga corona itu telah menghancurkan ekonomi di China, mulai dari sektor rill hingga pasar keuangan. Industri yang berhenti beroperasi, pelarangan ekspor-impor, pelarangan penerbangan, bahkan pasar saham dengan Indeks Shanghai di China anjlok hingga 7,72 persen saat hari pertama pembukaan pasar setelah libur panjang Hari Raya Imlek.
Begitu gelombang kedua virus corona menyebar ke berbagai negara di dunia, beberapa penerbangan dibatasi dan tidak sedikit kegiatan yang bersifat internasional dihentikan atau ditunda. Kini penyebaran virus corona terbanyak ada di Italia, Korea Selatan, dan Iran.
Sejumlah kota di Italia sudah dikarantina persis seperti yang terjadi di China, liga sepak bola Italia Serie A yang menjadi hiburan pecinta bola di seluruh dunia terpaksa dihentikan. Di wilayah Timur Tengah pun, Arab Saudi sempat menutup kota suci Mekah dan Madinah dari kegiatan ibadah sehingga Kabah yang tak pernah berhenti diputari manusia itu pun kosong melompong. Namun sekarang kegiatan tawaf sudah dibuka kembali hanya untuk penduduk setempat, dan masih ditutup untuk warga negara asing untuk mengantisipasi penyebaran virus corona.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto yang juga ditunjuk sebagai Juru Bicara Pemerintah terkait Penanganan COVID-19 menyebutkan pola penyebaran yang dikenal dengan second wave ini mirip seperti yang terjadi pada virus SARS, virus flu burung H5N1, atau virus flu babi H1N1.
Hingga kini, ratusan ilmuwan di bawah payung WHO masih mempelajari karakteristik virus baru tersebut. Dari virus yang menimbulkan gejala berat hingga mematikan di China, kini virus yang diyakini berasal dari kelelawar tersebut hanya menimbulkan gejala ringan dan memiliki kemampuan menyebar begitu cepat di luar China.
"Virusnya yang melemah, atau daya tahan tubuh kita yang bertambah kuat," kata Yurianto.
Perubahan karakteristik inilah yang diyakini membuat sistem pengawasan dan pemantauan orang-orang yang masuk ke Indonesia menjadi lebih menantang. Karena orang yang sudah terinfeksi virus COVID-19 belum tentu sakit menimbulkan gejala seperti demam yang skrining pertamanya adalah suhu tubuh di atas 37,5 derajat celcius.
Sifat virus pada dasarnya memang dapat bermutasi untuk beradaptasi. Yurianto mencontohkan wabah virus flu babi atau swine flu (H1N1) yang pernah terjadi di Indonesia, yang dulunya mematikan kini hanya menjadi flu musiman biasa.
Yurianto menyebut dari beberapa spesimen yang diperiksa terkait dugaan COVID-19 di laboratorium Balitbang Kemenkes, kebanyakan ditemukan virus H1N1 yang mana pasiennya hanya menderita gejala flu biasa. Artinya, virus flu babi yang dulu mematikan kini hanya menjadi flu musiman di masyarakat Indonesia.
Perubahan-perubahan seperti itu bisa saja terjadi pada virus. Entah itu virus yang bermutasi dengan perubahan sejumlah komponen pada susunan virus itu sendiri, atau kemampuan virus yang melemah.
Contoh lainnya adalah virus flu burung atau H5N1 yang tiba-tiba saja "menghilang" ketika para ilmuwan sudah berhasil menemukan vaksin dan obat-obatan untuk terapinya. Namun ilmuwan meyakini virus flu burung yang telah membunuh sekitar 60 persen dari penderitanya di seluruh dunia itu telah bermutasi dan tak lagi menginfeksi manusia sebagai target inangnya. Kendati demikian, para ilmuwan masih memiliki bermacam teori dan pendapat tentang virus yang membuat ketidakpastian terhadap cerita akhir virus H5N1.
Virus SARS yang merupakan "kakak pertama" dari virus yang menyebabkan COVID-19, diyakini telah berhasil diatasi oleh para tenaga kesehatan dengan mengisolasi dan mengkarantina virus tersebut hingga akhirnya tidak bisa menulari siapapun lagi.
SARS yang muncul pertama kali di China pada akhir 2002 akhirnya berhasil dikendalikan pada Juli 2003. Kasus SARS sempat kembali terjadi pada 2004, namun itu hanya terjadi di laboratorium penelitian yang kemudian kembali bisa diatasi dengan cara isolasi dan karantina virus.
Bagaimana dengan COVID-19?
Berharap virus COVID-19 bermutasi sehingga tidak lagi berbahaya atau bahkan tidak lagi menginfeksi manusia seperti H1N1 dan H5N1 boleh-boleh saja. Tapi Direktur Jendral WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan cara untuk mengendalikan virus bernama resmi SARS-CoV 2 ini adalah dengan memutus rantai penularan sehingga virus tidak bisa menulari ke siapapun lagi.
Seperti kakak pertamanya yang bernama SARS-CoV atau "Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus", SARS-CoV 2 juga harus diisolasi dan dikarantina sehingga tidak bisa menulari siapapun lagi dan kemudian mati.
Oleh karena itu berkali-kali WHO menekankan untuk melawan COVID-19 adalah dengan cara bertindak tegas dan agresif untuk mencari kasus, melakukan pemeriksaan laboratorium, merawat dan mengisolasi pasien, dan melacak riwayat kontak dengan tujuan memutus rantai penularan virus.
Tedros juga mengatakan bahwa untuk mengatasi virus ini membutuhkan keberpihakan politik dari pemimpin setiap negara, komunikasi risiko yang baik dari otoritas kepada masyarakat, serta kolaborasi antar lembaga bahwa ini bukan hanya tugas dari kementerian kesehatan.
Berdasarkan penelitian gabungan yang dilakukan oleh WHO dan otoritas China menyebutkan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah China turut andil dalam pengendalian virus corona jenis terbaru ini. Tedros memuji pendekatan oleh perdana menteri di Singapura yang secara reguler mensosialisasikan kepada masyarakatnya untuk melakukan pencegahan COVID-19, serta upaya-upaya yang telah dilakukannya hingga tidak ada satupun kasus kematian di negara tersebut dari total 160 kasus yang ada.
WHO juga menaruh apresiasi peningkatan upaya yang dilakukan oleh Korea Selatan termasuk mengidentifikasi semua kasus dan riwayat kontak, termasuk pengujian suhu drive-through untuk memperluas jaringan dan mendapatkan kasus yang mungkin terlewatkan. Tedros menegaskan bahwa hal-hal seperti itu yang akan membedakan antara satu kasus dan 100 kasus di dua negara yang berbeda.
Di Indonesia, pemerintah mulai terlihat serius menangani COVID-19 sesuai dengan anjuran WHO. Isolasi dan karantina telah dilakukan oleh pemerintah baik di rumah sakit bagi pasien yang dalam pemantauan, maupun karantina WNI yang berasal dari episentrum penyakit. Dalam proses karantina WNI dari Wuhan maupun ABK Kapal World Dream dan Kapal Diamond Princess, kolaborasi antara Kementerian Kesehatan-BNPB-TNI-Polri berjalan dengan sangat terkoordinir.
"Saat ini, Kementerian Kesehatan melakukan uji laboratorium berkali-kali untuk memastikan positif dan negatifnya seseorang dari virus COVID-19," kata Achmad Yurianto. Bahkan, Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara pun telah menyampaikan imbauan mencuci tangan dengan sabun yang benar untuk mencegah COVID-19 melalui video.
Bahkan hingga level pelacakan riwayat kontak dari setiap kasus, Kementerian Kesehatan yang tadinya melacak kontak hanya dibantu dengan dinas kesehatan daerah pun kini telah mendapatkan bantuan dari Polri dan BIN yang sudah sangat berpengalaman dalam hal menelusuri sesuatu.
Hingga kini total kasus terkonfirmasi positif COVID-19 yang ada di Indonesia sebanyak 27 kasus, yaitu klaster dan subklaster kasus pertama yang merupakan warga Depok, dan sisanya WNI dan WNA yang terinfeksi COVID-19 saat berada di luar negeri dan menderita sakit saat berada di Indonesia.
Ibaratnya, ini adalah perlombaan antara virus dan tiap negara yang terinfeksi. Jika suatu negara siap menghadapi ini dengan bekerja cepat dan agresif, virus itu akan dapat dikendalikan. Namun apabila negara tersebut lambat dalam merespon, COVID-19 akan lebih cepat menginfeksi orang-orang di suatu negara.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
Penyakit pneumonia misterius yang awalnya terjadi pada sekelompok orang yang memiliki riwayat perjalanan ke salah satu pasar ikan di Kota Wuhan itu menyebar ke seantero China daratan, dan kemudian ke sejumlah negara dikarenakan mobilitas perjalanan orang-orang pergi dan keluar China. Berbagai kota di China dikarantina, orang-orang berhenti bekerja, anak-anak tidak sekolah, tidak ada aktivitas ekonomi ataupun industri yang beroperasi.
Di China, badai itu telah berlalu. Gelombang virus yang mematikan, menyebar pada orang-orang dengan cepat, dan membuat para tenaga kesehatan kewalahan hingga tertular dan meninggal, kini hampir selesai di Negeri Tirai Bambu tersebut.
Kasus terbanyak di China mencapai puncaknya pada 5 Februari di mana pada hari itu ada 3.893 orang yang terinfeksi dan 66 orang yang meninggal. Namun setelah hari itu berakhir, perlahan-lahan jumlah kasus baru COVID-19 menurun dan terus menurun. Dari yang paling banyak mencapai 3.893 kasus per hari, kini per tanggal 9 Maret 2020 kasus baru di China hanya tinggal 20. Gelombang pertama hampir selesai.
Namun gelombang kedua dari virus yang memiliki nama resmi SARS-CoV 2 ini sedang ganas-ganasnya di sejumlah negara, persis seperti apa yang dilakukan oleh virus tersebut di kampung halamannya China.
Virus baru dari silsilah keluarga corona itu telah menghancurkan ekonomi di China, mulai dari sektor rill hingga pasar keuangan. Industri yang berhenti beroperasi, pelarangan ekspor-impor, pelarangan penerbangan, bahkan pasar saham dengan Indeks Shanghai di China anjlok hingga 7,72 persen saat hari pertama pembukaan pasar setelah libur panjang Hari Raya Imlek.
Begitu gelombang kedua virus corona menyebar ke berbagai negara di dunia, beberapa penerbangan dibatasi dan tidak sedikit kegiatan yang bersifat internasional dihentikan atau ditunda. Kini penyebaran virus corona terbanyak ada di Italia, Korea Selatan, dan Iran.
Sejumlah kota di Italia sudah dikarantina persis seperti yang terjadi di China, liga sepak bola Italia Serie A yang menjadi hiburan pecinta bola di seluruh dunia terpaksa dihentikan. Di wilayah Timur Tengah pun, Arab Saudi sempat menutup kota suci Mekah dan Madinah dari kegiatan ibadah sehingga Kabah yang tak pernah berhenti diputari manusia itu pun kosong melompong. Namun sekarang kegiatan tawaf sudah dibuka kembali hanya untuk penduduk setempat, dan masih ditutup untuk warga negara asing untuk mengantisipasi penyebaran virus corona.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto yang juga ditunjuk sebagai Juru Bicara Pemerintah terkait Penanganan COVID-19 menyebutkan pola penyebaran yang dikenal dengan second wave ini mirip seperti yang terjadi pada virus SARS, virus flu burung H5N1, atau virus flu babi H1N1.
Hingga kini, ratusan ilmuwan di bawah payung WHO masih mempelajari karakteristik virus baru tersebut. Dari virus yang menimbulkan gejala berat hingga mematikan di China, kini virus yang diyakini berasal dari kelelawar tersebut hanya menimbulkan gejala ringan dan memiliki kemampuan menyebar begitu cepat di luar China.
"Virusnya yang melemah, atau daya tahan tubuh kita yang bertambah kuat," kata Yurianto.
Perubahan karakteristik inilah yang diyakini membuat sistem pengawasan dan pemantauan orang-orang yang masuk ke Indonesia menjadi lebih menantang. Karena orang yang sudah terinfeksi virus COVID-19 belum tentu sakit menimbulkan gejala seperti demam yang skrining pertamanya adalah suhu tubuh di atas 37,5 derajat celcius.
Sifat virus pada dasarnya memang dapat bermutasi untuk beradaptasi. Yurianto mencontohkan wabah virus flu babi atau swine flu (H1N1) yang pernah terjadi di Indonesia, yang dulunya mematikan kini hanya menjadi flu musiman biasa.
Yurianto menyebut dari beberapa spesimen yang diperiksa terkait dugaan COVID-19 di laboratorium Balitbang Kemenkes, kebanyakan ditemukan virus H1N1 yang mana pasiennya hanya menderita gejala flu biasa. Artinya, virus flu babi yang dulu mematikan kini hanya menjadi flu musiman di masyarakat Indonesia.
Perubahan-perubahan seperti itu bisa saja terjadi pada virus. Entah itu virus yang bermutasi dengan perubahan sejumlah komponen pada susunan virus itu sendiri, atau kemampuan virus yang melemah.
Contoh lainnya adalah virus flu burung atau H5N1 yang tiba-tiba saja "menghilang" ketika para ilmuwan sudah berhasil menemukan vaksin dan obat-obatan untuk terapinya. Namun ilmuwan meyakini virus flu burung yang telah membunuh sekitar 60 persen dari penderitanya di seluruh dunia itu telah bermutasi dan tak lagi menginfeksi manusia sebagai target inangnya. Kendati demikian, para ilmuwan masih memiliki bermacam teori dan pendapat tentang virus yang membuat ketidakpastian terhadap cerita akhir virus H5N1.
Virus SARS yang merupakan "kakak pertama" dari virus yang menyebabkan COVID-19, diyakini telah berhasil diatasi oleh para tenaga kesehatan dengan mengisolasi dan mengkarantina virus tersebut hingga akhirnya tidak bisa menulari siapapun lagi.
SARS yang muncul pertama kali di China pada akhir 2002 akhirnya berhasil dikendalikan pada Juli 2003. Kasus SARS sempat kembali terjadi pada 2004, namun itu hanya terjadi di laboratorium penelitian yang kemudian kembali bisa diatasi dengan cara isolasi dan karantina virus.
Bagaimana dengan COVID-19?
Berharap virus COVID-19 bermutasi sehingga tidak lagi berbahaya atau bahkan tidak lagi menginfeksi manusia seperti H1N1 dan H5N1 boleh-boleh saja. Tapi Direktur Jendral WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan cara untuk mengendalikan virus bernama resmi SARS-CoV 2 ini adalah dengan memutus rantai penularan sehingga virus tidak bisa menulari ke siapapun lagi.
Seperti kakak pertamanya yang bernama SARS-CoV atau "Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus", SARS-CoV 2 juga harus diisolasi dan dikarantina sehingga tidak bisa menulari siapapun lagi dan kemudian mati.
Oleh karena itu berkali-kali WHO menekankan untuk melawan COVID-19 adalah dengan cara bertindak tegas dan agresif untuk mencari kasus, melakukan pemeriksaan laboratorium, merawat dan mengisolasi pasien, dan melacak riwayat kontak dengan tujuan memutus rantai penularan virus.
Tedros juga mengatakan bahwa untuk mengatasi virus ini membutuhkan keberpihakan politik dari pemimpin setiap negara, komunikasi risiko yang baik dari otoritas kepada masyarakat, serta kolaborasi antar lembaga bahwa ini bukan hanya tugas dari kementerian kesehatan.
Berdasarkan penelitian gabungan yang dilakukan oleh WHO dan otoritas China menyebutkan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah China turut andil dalam pengendalian virus corona jenis terbaru ini. Tedros memuji pendekatan oleh perdana menteri di Singapura yang secara reguler mensosialisasikan kepada masyarakatnya untuk melakukan pencegahan COVID-19, serta upaya-upaya yang telah dilakukannya hingga tidak ada satupun kasus kematian di negara tersebut dari total 160 kasus yang ada.
WHO juga menaruh apresiasi peningkatan upaya yang dilakukan oleh Korea Selatan termasuk mengidentifikasi semua kasus dan riwayat kontak, termasuk pengujian suhu drive-through untuk memperluas jaringan dan mendapatkan kasus yang mungkin terlewatkan. Tedros menegaskan bahwa hal-hal seperti itu yang akan membedakan antara satu kasus dan 100 kasus di dua negara yang berbeda.
Di Indonesia, pemerintah mulai terlihat serius menangani COVID-19 sesuai dengan anjuran WHO. Isolasi dan karantina telah dilakukan oleh pemerintah baik di rumah sakit bagi pasien yang dalam pemantauan, maupun karantina WNI yang berasal dari episentrum penyakit. Dalam proses karantina WNI dari Wuhan maupun ABK Kapal World Dream dan Kapal Diamond Princess, kolaborasi antara Kementerian Kesehatan-BNPB-TNI-Polri berjalan dengan sangat terkoordinir.
"Saat ini, Kementerian Kesehatan melakukan uji laboratorium berkali-kali untuk memastikan positif dan negatifnya seseorang dari virus COVID-19," kata Achmad Yurianto. Bahkan, Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara pun telah menyampaikan imbauan mencuci tangan dengan sabun yang benar untuk mencegah COVID-19 melalui video.
Bahkan hingga level pelacakan riwayat kontak dari setiap kasus, Kementerian Kesehatan yang tadinya melacak kontak hanya dibantu dengan dinas kesehatan daerah pun kini telah mendapatkan bantuan dari Polri dan BIN yang sudah sangat berpengalaman dalam hal menelusuri sesuatu.
Hingga kini total kasus terkonfirmasi positif COVID-19 yang ada di Indonesia sebanyak 27 kasus, yaitu klaster dan subklaster kasus pertama yang merupakan warga Depok, dan sisanya WNI dan WNA yang terinfeksi COVID-19 saat berada di luar negeri dan menderita sakit saat berada di Indonesia.
Ibaratnya, ini adalah perlombaan antara virus dan tiap negara yang terinfeksi. Jika suatu negara siap menghadapi ini dengan bekerja cepat dan agresif, virus itu akan dapat dikendalikan. Namun apabila negara tersebut lambat dalam merespon, COVID-19 akan lebih cepat menginfeksi orang-orang di suatu negara.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020