Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sudah mengumumkan para pemuda yang menerima penghargaan dari Gubernur, Edy Rahmayadi atas kepeloporannya dalam mengisi pembangunan di daerah.
Penghargaan tinggi dibidang kepemudaan itu, diberikan pada peringatan hari Sumpah Pemuda ke-91 yang dipusatkan di Lapangan Ika Bina, Kota Rantauprapat, Kabupaten Labuhanbatu.
Sembilan pemuda pelopor yang mendapat penghargaan, di antaranya dari Kabupaten Labuhanbatu bernama Rizky Elvina Sari tentang kepeloporannya dibidang pengelolaan sumber daya alam, lingkungan dan pariwisata.
Selain karena sosoknya paling termuda menerima penghargaan ini, Rizky Elvina Sari memang dikenal memiliki usaha keluarga lokal budidaya ikan lele. Namun latar belakang keluarganya jauh dari usaha bisnis ikan juga mengandalkan hasil perkebunan.
Rizky Elvina Sari adalah remaja kelahiran LinggaTiga, Kecamatan Rantau Selatan, Tanggal 28 Juni 2003. Remaja yang akrab disapa Vina ini, sering aktif di sekolah maupun di lingkungan sekitarnya. Bersama keluarga Vina terus melakukan inovasi peningkatan perekonomian diantaranya, pengelolaan sumber daya alam.
Awal perjalanan karir kepeloporan Vina, berawal dari budidaya ikan lele atau bahasa latinnya clarias sp. Dalam dua dasawarsa terakhir, budidaya ikan lele mulai berkembang di Kabupaten Labuhanbatu.
Usaha itu memang mempunyai prospek yang menguntungkan dan potensial untuk dijalankan. Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa kelebihan dan keunggulan ikan lele dibandingkan ikan tawar lainnya, yakni pertumbuhannya cepat, perawatan lebih mudah, tahan terhadap kondisi air yang kurang baik dan penyakit.
Sedangkan, pangsa pasar ikan lele sangat luas karena nilai gizi tinggi dengan rasa gurih dan harga terjangkau sehingga diminati masyarakat. Selain itu, usaha budidaya ikan lele dapat dilakukan dengan lahan yang luas atau memanfaatkan pekarangan rumah.
Keluarga Vina memulai usaha budidaya ikan lele pada tahun 2010 dan menjadi pekerjaan utama. Selain menjual ikan lele untuk konsumsi, mereka juga menjual bibit ikan atau pembenihan.
Pertumbuhan ikan yang cepat dan lebih hemat, karena ikan lele diberi makanan tambahan diluar pakan pabrikan seperti ayam yang direbus, ampas teri dan daun atau azolla dan keladi. Padat tebar yang tinggi bisa mencapai 300 hingga 400 ekor/m3. Dibandingkan dengan cara konvensional padat tebar ikan hanya berkisar 75 hingga 150 ekor/m3. Hal ini menyebabkan jumlah panen dan keuntungan lebih tinggi dibandingan cara konvensional.
Sementara, panen dengan kolam yang telah menggunakan sirkulasi air menghasilkan sekira 15 hingga 22 ton atau tingkat mortalitas 5 persen, sedangkan cara konvensional hanya 8 hingga 10 ton atau tingkat mortalitas 20 persen saja. Hal ini menyebabkan profit yang dihasilkan dari sistem sirkulasi lebih besar atau ukuran kolam 2 meter x 5 meter sebanyak 6 unit.
Tantangan Pembenahan Lingkungan Sekitar
Sejak usaha keluarganya dimulai, tetangga dan warga sekitar mengeluh aroma yang tidak sedap dari kolam budidaya. Sementara untuk mengganti setiap saat air kolam tidak memungkinkan karena terbatasnya air di kediamannya yang berada di Lingga Tiga.
Semakin berkembangnya usaha budidaya ikan itu, maka aroma yang dihasilkan dari kolam ikan membuat masyarakat semakin resah. Bahkan melaporkan usaha ini ke aparat desa, sehingga terancam tidak dapat beroperasi lagi.
Untuk mencari solusi tepat, dalam dua tahun terakhir Vina giat mencari informasi dari internet maupun buku tentang upaya menghilangkan aroma yang ditimbulkan dari budidaya ikan lele tersebut.
Dari hasil pengamatannya, Vina mengusulkan agar membuat kolam pengendapan air. Tujuan dari kolam pengendapan air ini agar sisa pakan ikan dan kotoran akan mengendap di dasar kolam sehingga aroma tak sedap dapat di tekan.
Sementara, muncul masalah baru yakni berkembangnya jentik nyamuk di dalam kolam pengendapan air. Masyarakat semakin resah dengan bau yang sudah mengganggu diperparah nyamuk yang semakin banyak. Pihak keluarga semakin intensif melakukan pengamatan dengan mencari informasi dari berbagai sumber untuk mengantisipasi persoalan itu.
Dari pengalaman dan informasi yang diperoleh, Vina bersama keluarga sepakat tentang ide sirkulasi air yang hemat biaya. Sistem sirkulasi ini terdiri dari pipa penghubung dan kolam tempat penyaluran air dengan ukuran panjang 100 meter, lebar 80 centimeter dengan kedalaman 20 centimeter yang berbentuk persegi empat dengan satu sekat. Namun, jentik nyamuk masih berkembang biak.
Pihaknya berupaya melakukan perawatan dengan penambahan lumpur secara manual yang dialirkan ke kolam persegi. Kandungan lumpur yang dialirkan akan mengalami sedimentasi di dasar kolam sehingga dapat menyerap aroma yang ditimbulkan. Setelah proses penambahan lumpur yang mengandung tanah bersedimentasi, air dialirkan kedalam kolam persegi maka proses sirkulasi mulai berlangsung.
Diluar dugaan, sistem sirkulasi air yang dilakukan menghasilkan cacing sutera. Cacing sutera atau bahasa latinnya tubifex sp ini sangat dibutuhkan oleh benih ikan dan pecinta ikan hias. Dengan demikian, dari perawatan yang dilakukan dapat menghasilkan inovasi baru yaitu pemanfaatan sistem sirkulasi air kolam untuk budidaya cacing sutera.
Sistem sirkulasi air ini dapat menghilangkan aroma yang mengganggu, sekaligus tempat berkembangbiaknya cacing sutera. Sementara kualitas air kolam terjaga, ikan lele lebih cepat berkembang, masa panen relatif lebih cepat dan terhindar dari penyakit.
Bubidaya cacing sutera dengan modal awal yang tidak sedikit mencakup pembelian bibit, peralatan dan perlengkapannya. Pengawasan dan pemeliharaan juga harus dilakukan sehingga efisiensi dan efektifitas berbanding dengan menggunakan sistem sirkulasi air.
Sedangkan dengan sistem sirkulasi ini, cacing sutera dapat hidup dengan sendirinya tanpa perlakuan dan perawatan khusus. Cacing ini dapat dipanen pada umur 1 hingga 2 bulan dengan menghasilkan sekira 75 kilogram x Rp35 ribu atau Rp2.625.000 setiap bulannya.
Pada umumnya masyarakat akan melakukan budidaya ikan lele dan budidaya cacing sutera secara terpisah, dengan adanya sirkulasi ini maka pembubidaya dapat mengkombinasikan keduanya sehingga menghasilkan cacing sutera sepanjang tahun dan ikan lele dapat panen 4 hingga 5 kali setiap tahun.
Vina bersama keluarga turut menyosialisasikan kepada pembudidaya ikan tentang proses sirkulasi air yang sangat berguna untuk menghilangkan aroma air kolam, bahkan menghasilkan sumber pendapatan baru yaitu budidaya cacing sutera. Mereka juga meyakinkan pembudidaya dengan memanfaatkan pekarangan rumah yang ramah lingkungan dengan profit yang tinggi.
Sistem sirkulasi ini juga sangat sederhana, mudah diaplikasikan dengan biaya yang relatif sedikit. Bahkan budidaya ini dapat dilakukan pada pemukiman yang padat penduduk. Sementara, permintaan cacing sutera semakin pesat karena semakin banyaknya masyarakat yang menggeluti hobby ikan hias dan pembenihan ikan di Kabupaten Labuhanbatu, secara otomatis permintaan pakan ikan hias semakin meningkat.
Demikian, Vina tidak hanya punya usaha budidaya lele, juga cacing sutera. Ia bersama sembilan orang pemuda Sumatera Utara dapat mengisi pembangunan di daerah. Remaja ini juga bertanggung jawab membantu meningkatkan sumber daya alam dan lingkungan.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
Penghargaan tinggi dibidang kepemudaan itu, diberikan pada peringatan hari Sumpah Pemuda ke-91 yang dipusatkan di Lapangan Ika Bina, Kota Rantauprapat, Kabupaten Labuhanbatu.
Sembilan pemuda pelopor yang mendapat penghargaan, di antaranya dari Kabupaten Labuhanbatu bernama Rizky Elvina Sari tentang kepeloporannya dibidang pengelolaan sumber daya alam, lingkungan dan pariwisata.
Selain karena sosoknya paling termuda menerima penghargaan ini, Rizky Elvina Sari memang dikenal memiliki usaha keluarga lokal budidaya ikan lele. Namun latar belakang keluarganya jauh dari usaha bisnis ikan juga mengandalkan hasil perkebunan.
Rizky Elvina Sari adalah remaja kelahiran LinggaTiga, Kecamatan Rantau Selatan, Tanggal 28 Juni 2003. Remaja yang akrab disapa Vina ini, sering aktif di sekolah maupun di lingkungan sekitarnya. Bersama keluarga Vina terus melakukan inovasi peningkatan perekonomian diantaranya, pengelolaan sumber daya alam.
Awal perjalanan karir kepeloporan Vina, berawal dari budidaya ikan lele atau bahasa latinnya clarias sp. Dalam dua dasawarsa terakhir, budidaya ikan lele mulai berkembang di Kabupaten Labuhanbatu.
Usaha itu memang mempunyai prospek yang menguntungkan dan potensial untuk dijalankan. Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa kelebihan dan keunggulan ikan lele dibandingkan ikan tawar lainnya, yakni pertumbuhannya cepat, perawatan lebih mudah, tahan terhadap kondisi air yang kurang baik dan penyakit.
Sedangkan, pangsa pasar ikan lele sangat luas karena nilai gizi tinggi dengan rasa gurih dan harga terjangkau sehingga diminati masyarakat. Selain itu, usaha budidaya ikan lele dapat dilakukan dengan lahan yang luas atau memanfaatkan pekarangan rumah.
Keluarga Vina memulai usaha budidaya ikan lele pada tahun 2010 dan menjadi pekerjaan utama. Selain menjual ikan lele untuk konsumsi, mereka juga menjual bibit ikan atau pembenihan.
Pertumbuhan ikan yang cepat dan lebih hemat, karena ikan lele diberi makanan tambahan diluar pakan pabrikan seperti ayam yang direbus, ampas teri dan daun atau azolla dan keladi. Padat tebar yang tinggi bisa mencapai 300 hingga 400 ekor/m3. Dibandingkan dengan cara konvensional padat tebar ikan hanya berkisar 75 hingga 150 ekor/m3. Hal ini menyebabkan jumlah panen dan keuntungan lebih tinggi dibandingan cara konvensional.
Sementara, panen dengan kolam yang telah menggunakan sirkulasi air menghasilkan sekira 15 hingga 22 ton atau tingkat mortalitas 5 persen, sedangkan cara konvensional hanya 8 hingga 10 ton atau tingkat mortalitas 20 persen saja. Hal ini menyebabkan profit yang dihasilkan dari sistem sirkulasi lebih besar atau ukuran kolam 2 meter x 5 meter sebanyak 6 unit.
Tantangan Pembenahan Lingkungan Sekitar
Sejak usaha keluarganya dimulai, tetangga dan warga sekitar mengeluh aroma yang tidak sedap dari kolam budidaya. Sementara untuk mengganti setiap saat air kolam tidak memungkinkan karena terbatasnya air di kediamannya yang berada di Lingga Tiga.
Semakin berkembangnya usaha budidaya ikan itu, maka aroma yang dihasilkan dari kolam ikan membuat masyarakat semakin resah. Bahkan melaporkan usaha ini ke aparat desa, sehingga terancam tidak dapat beroperasi lagi.
Untuk mencari solusi tepat, dalam dua tahun terakhir Vina giat mencari informasi dari internet maupun buku tentang upaya menghilangkan aroma yang ditimbulkan dari budidaya ikan lele tersebut.
Dari hasil pengamatannya, Vina mengusulkan agar membuat kolam pengendapan air. Tujuan dari kolam pengendapan air ini agar sisa pakan ikan dan kotoran akan mengendap di dasar kolam sehingga aroma tak sedap dapat di tekan.
Sementara, muncul masalah baru yakni berkembangnya jentik nyamuk di dalam kolam pengendapan air. Masyarakat semakin resah dengan bau yang sudah mengganggu diperparah nyamuk yang semakin banyak. Pihak keluarga semakin intensif melakukan pengamatan dengan mencari informasi dari berbagai sumber untuk mengantisipasi persoalan itu.
Dari pengalaman dan informasi yang diperoleh, Vina bersama keluarga sepakat tentang ide sirkulasi air yang hemat biaya. Sistem sirkulasi ini terdiri dari pipa penghubung dan kolam tempat penyaluran air dengan ukuran panjang 100 meter, lebar 80 centimeter dengan kedalaman 20 centimeter yang berbentuk persegi empat dengan satu sekat. Namun, jentik nyamuk masih berkembang biak.
Pihaknya berupaya melakukan perawatan dengan penambahan lumpur secara manual yang dialirkan ke kolam persegi. Kandungan lumpur yang dialirkan akan mengalami sedimentasi di dasar kolam sehingga dapat menyerap aroma yang ditimbulkan. Setelah proses penambahan lumpur yang mengandung tanah bersedimentasi, air dialirkan kedalam kolam persegi maka proses sirkulasi mulai berlangsung.
Diluar dugaan, sistem sirkulasi air yang dilakukan menghasilkan cacing sutera. Cacing sutera atau bahasa latinnya tubifex sp ini sangat dibutuhkan oleh benih ikan dan pecinta ikan hias. Dengan demikian, dari perawatan yang dilakukan dapat menghasilkan inovasi baru yaitu pemanfaatan sistem sirkulasi air kolam untuk budidaya cacing sutera.
Sistem sirkulasi air ini dapat menghilangkan aroma yang mengganggu, sekaligus tempat berkembangbiaknya cacing sutera. Sementara kualitas air kolam terjaga, ikan lele lebih cepat berkembang, masa panen relatif lebih cepat dan terhindar dari penyakit.
Bubidaya cacing sutera dengan modal awal yang tidak sedikit mencakup pembelian bibit, peralatan dan perlengkapannya. Pengawasan dan pemeliharaan juga harus dilakukan sehingga efisiensi dan efektifitas berbanding dengan menggunakan sistem sirkulasi air.
Sedangkan dengan sistem sirkulasi ini, cacing sutera dapat hidup dengan sendirinya tanpa perlakuan dan perawatan khusus. Cacing ini dapat dipanen pada umur 1 hingga 2 bulan dengan menghasilkan sekira 75 kilogram x Rp35 ribu atau Rp2.625.000 setiap bulannya.
Pada umumnya masyarakat akan melakukan budidaya ikan lele dan budidaya cacing sutera secara terpisah, dengan adanya sirkulasi ini maka pembubidaya dapat mengkombinasikan keduanya sehingga menghasilkan cacing sutera sepanjang tahun dan ikan lele dapat panen 4 hingga 5 kali setiap tahun.
Vina bersama keluarga turut menyosialisasikan kepada pembudidaya ikan tentang proses sirkulasi air yang sangat berguna untuk menghilangkan aroma air kolam, bahkan menghasilkan sumber pendapatan baru yaitu budidaya cacing sutera. Mereka juga meyakinkan pembudidaya dengan memanfaatkan pekarangan rumah yang ramah lingkungan dengan profit yang tinggi.
Sistem sirkulasi ini juga sangat sederhana, mudah diaplikasikan dengan biaya yang relatif sedikit. Bahkan budidaya ini dapat dilakukan pada pemukiman yang padat penduduk. Sementara, permintaan cacing sutera semakin pesat karena semakin banyaknya masyarakat yang menggeluti hobby ikan hias dan pembenihan ikan di Kabupaten Labuhanbatu, secara otomatis permintaan pakan ikan hias semakin meningkat.
Demikian, Vina tidak hanya punya usaha budidaya lele, juga cacing sutera. Ia bersama sembilan orang pemuda Sumatera Utara dapat mengisi pembangunan di daerah. Remaja ini juga bertanggung jawab membantu meningkatkan sumber daya alam dan lingkungan.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019