Target pembangunan 1,25 juta unit "Rumah Jokowi" untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) pada 2019 terancam dan bahkan diyakini tidak tercapai karena anggaran sudah habis.

"Jangankan 1,25 juta, satu juta pun tidak bisa dicapai tahun ini kalau anggaran yang sudah habis tidak segera ditambah," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Sumut Bidang Properti Tomi Wistan di Medan, Kamis.

Padahal 2018 realisasi pembangunan rumah MBR sudah melampaui target 1 juta hingga menjadi 1,1 juta unit.

Oleh karena melampaui target di 2018, maka pada 2019 Presiden Jokowi menargetkan pembangunan MBR bisa 1,25 juta unit.

Di tengah keinginan menaikkan pembangunan rumah MBR, tetapi anggaran dana dari Subsidi Selisih Bunga (SSB) justru turun.

Kalau pada tahun  2018 untuk sebesar 283.000 unit atau masing masing 58.000 unit Fasilitas Likuiditas (FLPP)
dan 225.000 SSB, maka di tahun 2019 menurun menjadi hanya 100.000 unit untuk SSB dan FLPP sebanyak 68.868 unit atau kalau ditotal 168.868 unit

Padahal harusnya dengan mengacu pada banyaknya permintaan rumah MBR, anggaran pemerintah dinaikkan sekitar 20 persen di tahun 2019 atau mencapai sekitar 330.000 untuk FLPP dan SSB.

"Dengan total kuota di tahun 2019 yang hanya 168.868, maka itu artinya hanya sebesar sekitar 50 persen dari jumlah yang seharusnya," ujar Tomi.

Pengembang juga semakin khawatir karena di tahun 2020 kuota MBR diusulkan naik menjadi 110.000 unit untuk FLPP.

"Jumlah untuk SSB belum diketahui berapa jumlahnya.Seandainya tidak ada SBB, maka kuota tahun 2020 diperkirakan akan habis di bulan Mei -Juni. Kondisi itu semakin parah," katanya.

Dengan tidak tercapai, maka harapan
Presiden Joko Widodo bisa menurunkan angka "backlog" (selisih pasokan dan permintaan) rumah, ujar Tomi yang mantan Ketua REI Sumut itu, juga tidak tercapai.

Mantan Wakil Sekjen DPP REI itu menyebutkan, dampak tidak berjalannya program MBR juga  berdampak luas.

Mulai pekerja bangunan yang menjadi pengangguran, kontraktor yang kehilangan pekerjaan/proyek, pengembang yang terbelit utang bank  hingga masyarakat yang tidak bisa memiliki rumah karena tidak bisa melakukan akad kredit

Tomi menyebutkan, kondisi properti saat ini sangat "memukul" pengusaha properti yang memang berharap dari proyek pembangunan.MBR setelah  sektor komersial melambat dalam beberapa tahun terakhir.

"Kuota anggaran yang telah habis membuat  pengembang rumah sederhana terpaksa menghentikan pembangunan rumah bersubsidi," katanya.

Dia mengakui,  pengembang sebenarnya masih dapat memindahkan kredit dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) ke skema Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).

Namun, langkah itu juga bukan solusi tepat karena  masih aturan SLF nya belum maksimal didukung oleh pemda dan batas pengajuan hanya hitungan minggu yaitu sampai 25 Oktober 2019 dengan kuota 12.000 untuk BTN.

"Solusi tepat dalam waktu dekat ini adalah Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) harus segera mengucurkan tambahan anggaran seperti yang dijanjikan Menkeu  sekitar Rp2 triliun," ujarnya

Walau, ujar Tomi, dana Rp2 triliun itu hanya untuk sekitar 15.000 unit dan untuk dua bulan.

"Pemerintah diminta peka soal masalah properti yang dihadapi saat ini.Masalah itu tidak lagi semata menyangkut perlambatan properti, tetapi sudah menyangkut hubungan ekonomi sosial kemasyarakatan," ujar  Tomi.

Pewarta: Evalisa Siregar

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019