Desakan penyelesaian kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oknum dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU terus bergulir dan kali ini giliran mahasiswa yang menggeruduk kampus yang dipimpin oleh Dekan Muryanto Amin itu. 

Mahasiswa yang berunjuk rasa menamai diri dengan Mahasiswa Bersatu Universitas Sumatera Utara (Mabesu) yang terdiri dari mahasiswa dari berbagai fakultas dan lintas organisasi. 

Sebelum ke Kampus FISIP USU, mahasiswa melakukan longmarch dari Pintu 2 USU. Melakukan orasi terbuka dan memajang poster protes terhadap kampus yang terksan melakukan pembiaran dengan kasus pelecehan seksual itu.

Sampai di Kampus FISIP USU, massa kembali berorasi di tengah lapangan. 

"Kami mendesak agar kampus memberikan sanksi tegas kepada dosen HS yang telah melakukan tindak asusila. Karena jika tidak ini menjadi catatan buruk USU sebagai universitas negeri,”  kata Gubernur Pemerintahan Mahasiswa (Pema) FISIP USU Harry 
Cahya Pratama Purwanto dalam orasinya. 

dalam aksi itu, MABESU menuntut agar dosen "predator" itu dipecat dari kampus sehingga menjadi efek  jera kepada tindak  asusila di kampus. 

Menurut Harry, selama ini pelecehan seksual di kampus terjadi karena ada relasi kuasa terhadap mahasiswa dari dosen. Sehingga dosen memanfaatkan kondisi ini sebagai peluang untuk berbuat asusila kepada mahasiswa.

“Harusnya dunia pendidikan menjadi tempat menjunjung tinggi moralitas. Tapi kenapa masih ada perilaku dosen asusila. Ini tidak bisa ditolerir. Kampus juga harus membuat regulasi sebagai bentuk pencegahan terhadap perilaku dosen yang tidak beretika,” ujar Harry yang juga aktivis HMI itu.

Dekan FISIP USU Muryanto Amin yang ditemui di kantornya mengaku sudah serius menangani kasus ini dan ia juga mendorong jika ada korban lainnya bisa membuat laporan tertulis tentang kebejatan dosen yang dialaminya. 

"Kalau ada lebih dari satu korban, tolong buat laporan tertulis. Saya akan jamin kerahasiaan identitasnya,” ujarnya. 
Menurutnya, sanksi bisa diberikan jika ada bukti pendukung untuk membuktikan kasus pelecehan seksual.

Muryanto pun memberi kesan jika sangat sulit untuk mengumpulkan bukti – bukti kasus pelechan seksual yang dilakukan HS. Makanya dia meminta agar dibuat laporan tertulis. 

Kasus ini pun juga sudah ditangani sejak 2018 lalu. Bahkan dia mengaku, kampus sudah memberikan sanksi tegas kepada dosen agar memperbaiki  perilakunya dan tidak mengulangi. perbuatan itu. Sejak Mei 2018, kasus itu tidak menemukan bukti baru sebelum akhirnya kembali merebak Mei 2019. 

Muryanto juga menunjukkan peraturan yang bisa menjerat pelaku untuk mendapatkan sanksi. Dalam dua minggu terakhir, kampus kembali memulai mengumpulkan bukti-bukti kasus tersebut. 

“Sanksi sudah ada. Karena ini masuk dalam kode etik. Untuk menegakan kode etik itu, harus ada bukti. Kalau ada bukti baru kita akan proses secara proporsional. 

Dalam peraturannya, sanksi yang diberikan bisa mulai dari teguran tertulis, sanksi skorsing, atau sanksi akademik, lalu pemecatan. 

“Harus ada bukti yang kuat proses pemecatan itu.  Mengikuti prosedur untuk pemecatan PNS,” pungkasnya.


 

Pewarta: Donny Aditra

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019