Pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara mengkritik kebijakan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara yang mewajibkan warga untuk membayar lahan eks HGU PTPN 2 yang telah hapusbuku.

Kebijakan yang tidak pro rakyat ini disebut kental aroma punglinya, karenanya Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) harus pro aktif untuk meninjau pengalihan lahan PTPN 2 tersebut pasca HGU berakhir.

Kepala Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Edi Yunara, Kamis, menyatakan secara hukum administrasi negara dan hukum perusahaan lahan eks HGU yang telah dihapusbukukan secara hukum bukan lagi sebagai aset negara dan tidak ada kewajiban hukum bagi pemegang hak yang baru untuk membayar sejumlah uang.

Terkait hal ini, Edi menilai kebijakan Kanwil BPN Sumut yang mewajibkan warga untuk membayar lahan eks HGU PTPN 2 yang telah hapusbuku merupakan tindakan pungli.

“Jika kebijakan itu dilakukan berarti BPN telah melakukan pungli, tepatnya pungli yang dilegalkan karena bertentangan dengan hukum administrasi negara, hukum perusahaan,” kata Edi Yunara.

Ia mengatakan KPK harus pro aktif untuk mencari tahu ada apa dibalik keluarnya kebijakan yang bertentangan dengan hukum tersebut. Menurut Edi, ini perlu dilakukan KPK karena sarat dengan aroma korupsi.

“Kebijakan BPN ini sarat dengan korupsi, maka kita minta KPK untuk meninjau pengalihan lahan eks HGU PTPN 2,” katanya.

Edi menerangkan kalau eks HGU masih dianggap aset perusahaan dan wajib dibayar tanahnya, maka semua pemegang HGU akan berkelit menguasai lahan sambil menunggu pembayaran setelah HGUnya berakhir.

Menurut dia, inilah sumber konflik pertanahan yang terjadi selama ini. "Pembiaran lahan eks HGU oleh PTPN 2 dengan menunda-nunda hapusbuku sebenarnya juga merupakan sebuah pelanggaran karena menghalangi daerah dan masyarakat untuk memperoleh manfaat dari pengelolaan tanah tersebut sebagai penerima hak berikut atas tanah tersebut," jelasnya.

Baru-baru ini, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara mengingatkan warga yang lahannya masuk dalam daftar nominatif penghapusbukuan lahan eks HGU PTPN 2 seluas 2.216 hektare, agar segera menunaikan kewajibannya membayar sesuai harga yang telah ditetapkan Kantor Jasa Penilai Publik (KJJP).

BPN memberi tenggat waktu empat bulan sejak Mei hingga Agustus bagi warga yang ingin menguasai lahan bekas PTPN 2 untuk membayar ke KJJP. Jika sudah dilakukan, maka KJJP akan mengirimkan surat kepada warga berupa pemberitahuan biaya wajib dibayarkan untuk penghapusbukuan.

Kalau dalam tenggat waktu yang ditentukan ternyata warga bersangkutan tidak juga membayarkan besaran biaya seperti yang disampaikan KJPP, maka itu sama artinya proses penghapusbukuan aset PTPN 2 dibatalkan. Sehingga, status tanahnya akan kembali seperti sebelumnya yakni tanpa status sama nasibnya dengan aset eks HGU yang 3.300 hektare yang belum diproses.

Kebijakan BPN Sumut ini memicu perlawanan di tingkat petani, karenanya kebijakan tersebut diminta untuk dikaji ulang dan direvisi.

Wakil Ketua Kelompok Tani Sada Nioga, Desa Lau Bekeri, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, Marlan Sinulingga mengatakan kebijakan penghapusbukuan tersebut jelas sangat tidak bisa diterima.

“Kami sangat tidak setuju, dari mana uang kami membayarnya. Kalau dibayar ke PTPN 2, apa hak mereka? Sementara kami sudah menguasai lahan sejak zaman Belanda. Lahan itu merupakan peninggalan nenek moyang kami, tapi kenapa disuruh pula membayar,” ujar Marlan didampingi Yusuf Sembiring sebagai Sekretaris Kelompok Tani Sada Nioga.

Ketua Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Sumut, Trieyanto Sitepu juga mengkritik dan mempertanyakan kebijakan BPN Sumut ini.

Trieyanto mengatakan dalam persepsi JPKP, eks HGU merupakan tanah negara bukan lagi aset BUMN berdasarkan Undang Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Kemudian, Pasal 49 ayat 2 menyatakan, barang milik negara harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan. “Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai untuk tanah. Jadi Pasal 12 ayat 1 huruf (g) dan (h) menyatakan, pemegang hak usaha berkewajiban untuk menyerahkan tanah HGU kepada negara setelah hak guna usaha tersebut hapus. Dan menyerahkan sertifikat hak guna usaha yang telah dihapus tersebut kepada kepala kantor pertanahan,” bebernya.

“Jadi, ketika PTPN 2 sudah habis hak guna usahanya, itu harus dikembalikan kepada negara. Sertifikat HGU tersebut, jadi kalau dianggap aset negara, bagaimana mungkin HGUnya sudah dikembalikan kepada negara masih dianggap sebagai aset PTPN 2 ? Kalau kita lihat semangat Pasal 33 ayat 3 tadi,” imbuhnya.

Yang jadi pertanyaan mereka, apakah sudah mengikuti kaedah akuntansi yang baik. Selain itu, dalam diktum ketiga dan keempat Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 42, 43, 44, tahun 2002, serta Surat Keputusan Kepala BPN nomor 10 tahun 2004 menyatakan, menyerahkan pengaturan penguasaan pemilikan, pemanfaatan, penggunaan tanah tersebut kepada gubernur yang selanjutnya diproses sesuai ketentuan yang berlaku setelah memperoleh izin pelepasan aset Menteri BUMN.

“Kalau dia dikatakan izin pelepasan aset Menteri BUMN, berarti itu terkesan mengenyampingkan Pasal 33 Ayat 3 tadi. JPKP dalam hal ini, akan meminta kepada Presiden Republik Indonesia agar dapat melakukan peninjauan kembali atas diktum ketiga dan keempat surat keputusan Kepala BPN nomor 42, 43, 44 tahun 2002,” tegasnya.

Pewarta: Rel

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019