Pondok Al-Hidayah, termasuk satu model pondok pesantren yang terbilang unik di daerah Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Didirikan pada tahun 2015 oleh seorang mantan pelaku teroris bernama Khairul Ghazali alias Abu Ahmad Yasin, yang sempat divonis enam tahun atas tindak pidana perampokan Bank CIMB Niaga pada Agustus 2010.
Pondok pesantren ini merupakan buah keinginan kuat Ghazali untuk memutus mata rantai paham radikal.
Ia ingin membimbing anak-anak mantan terorisme yang kerap menjadi korban atas perbuatan keji yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, sehingga menimbulkan rasa dendam lantaran ketidakpahaman dan dikucilkan dari lingkungan, bergelut dalam batin setiap anak yang mengetahui bahwa orang tuanya adalah teroris.
"Melihat banyaknya anak-anak eks teroris yang tidak sekolah atau putus sekolah bahkan menjadi buruh anak, tentunya ini membahayakan karena mereka bisa jadi mengikuti jejak langkah orang tuanya yang salah," ungkap Ghazali, Rabu (8/5).
Ghazali mengatakan, tantangan yang dihadapi pada awal memulai pesantren ini datang dari masyarakat setempat. Banyak dari mereka yang curiga dengan didirikannya pesantren yang menampung anak-anak mantan teroris tersebut.
"Ketika kita sudah memulai tahun pertama, kita didukung oleh pihak keamanan dan negara dalam hal ini oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris) yang tertarik dengan ide-de yang kita buat, sehingga mereka membantu dengan sepenuhnya termasuk membangunkan kelas dan masjid," jelasnya
Pondok pesantren ini hanya memiliki dua lokal dengan jumlah santri sebanyak 25 orang yang merupakan anak dari eks teroris.
"Ditambah enam orang anak dari masyarakat sekitar, itu tujuannya untuk pembauran agar anak-anak ini tidak terstigmalisasi dan tidak ada diskriminasi dalam pendidikan sehingga mereka berbaur dengan anak-anak lainnya," tuturnya.
Proses belajar maupun sistem pendidikan di pondok pesantren ini sama saja dengan sistem pendidikan di sekolah-sekolah lainnya yang berbasis kurikulum dari Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama (Kemenag).
Hanya saja terdapat pelajaran tambahan yaitu Deradikalisasi dan Trauma Healling Centre. Kedua pembelajaran ini, kata Ghazali bertujuan untuk menghilangkan memori anak-anak eks teroris tersebut terhadap kekerasan pascapenangkapan orang tua mereka.
"Ada juga orang tua mereka yang dibunuh, ada yang masuk penjara dan lain sebagainya. Sehingga sudah terpapar dengan paham radikal, dengan kekerasan dan dengan jihad yang salah, nah ini yang kita luruskan," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
Didirikan pada tahun 2015 oleh seorang mantan pelaku teroris bernama Khairul Ghazali alias Abu Ahmad Yasin, yang sempat divonis enam tahun atas tindak pidana perampokan Bank CIMB Niaga pada Agustus 2010.
Pondok pesantren ini merupakan buah keinginan kuat Ghazali untuk memutus mata rantai paham radikal.
Ia ingin membimbing anak-anak mantan terorisme yang kerap menjadi korban atas perbuatan keji yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, sehingga menimbulkan rasa dendam lantaran ketidakpahaman dan dikucilkan dari lingkungan, bergelut dalam batin setiap anak yang mengetahui bahwa orang tuanya adalah teroris.
"Melihat banyaknya anak-anak eks teroris yang tidak sekolah atau putus sekolah bahkan menjadi buruh anak, tentunya ini membahayakan karena mereka bisa jadi mengikuti jejak langkah orang tuanya yang salah," ungkap Ghazali, Rabu (8/5).
Ghazali mengatakan, tantangan yang dihadapi pada awal memulai pesantren ini datang dari masyarakat setempat. Banyak dari mereka yang curiga dengan didirikannya pesantren yang menampung anak-anak mantan teroris tersebut.
"Ketika kita sudah memulai tahun pertama, kita didukung oleh pihak keamanan dan negara dalam hal ini oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris) yang tertarik dengan ide-de yang kita buat, sehingga mereka membantu dengan sepenuhnya termasuk membangunkan kelas dan masjid," jelasnya
Pondok pesantren ini hanya memiliki dua lokal dengan jumlah santri sebanyak 25 orang yang merupakan anak dari eks teroris.
"Ditambah enam orang anak dari masyarakat sekitar, itu tujuannya untuk pembauran agar anak-anak ini tidak terstigmalisasi dan tidak ada diskriminasi dalam pendidikan sehingga mereka berbaur dengan anak-anak lainnya," tuturnya.
Proses belajar maupun sistem pendidikan di pondok pesantren ini sama saja dengan sistem pendidikan di sekolah-sekolah lainnya yang berbasis kurikulum dari Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama (Kemenag).
Hanya saja terdapat pelajaran tambahan yaitu Deradikalisasi dan Trauma Healling Centre. Kedua pembelajaran ini, kata Ghazali bertujuan untuk menghilangkan memori anak-anak eks teroris tersebut terhadap kekerasan pascapenangkapan orang tua mereka.
"Ada juga orang tua mereka yang dibunuh, ada yang masuk penjara dan lain sebagainya. Sehingga sudah terpapar dengan paham radikal, dengan kekerasan dan dengan jihad yang salah, nah ini yang kita luruskan," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019