Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia melaporkan 127 akun media sosial penyebar berita bohong (hoaks) ke Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai upaya meredam penyebaran informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Total ada 127 akun media sosial yang sudah kami laporkan ke Kominfo dan 'platfom' yang ada di Indonesia agar segera ditindaklanjuti dengan melakukan 'take down'," kata Ketua Bawaslu RI Abhan Misbah usai seminar nasional bertema "Penegakan Hukum Terhadap Penyebar Berita Hoaks Menghadapi Pemilu 2019" di Wisma Perdamaian, Semarang, Rabu.
Ia menyebutkan kemajuan teknologi komunikasi saat ini membuat semua informasi dapat dengan mudah diterima masyarakat, salah satunya melalui media sosial yang turut menyumbang penyebaran informasi dan diantaranya adalah hoaks.
Berdasarkan data dari Masyarakat Antifitnah Indonesia, selama periode 2015-2018, tren penyebaran hoaks melalui media sosial mengalami peningkatan.
Hingga semester dua 2018 saja, setidaknya ada 997 konten berisi hoaks dan juga ujaran kebencian, sedangkan media sosial yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan konten hoaks adalah Facebook yang mencapai 47,3 persen.
Abhan mengibaratkan media sosial sebagai pedang bermata dua yang memiliki dua sisi positif dan negatif.
Jika dimanfaatkan secara benar, lanjut dia, maka akan memberikan nilai positif, namun jika dipakai untuk hal negatif akan menimbulkan kerugian bagi sejumlah pihak.
"Media sosial sebenarnya sangat efektif di dalam mempengaruhi massa, baik itu hal positif maupun negatif," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa Kemenkominfo mempunyai sistem yang bisa memetakan akun-akun disinformasi dan bersifat hoaks terkait dengan pelaporan 127 akun media sosial penyebar hoaks.
"Dari Kominfo kemudian diberikan ke kami, apakah masuk kategori pidana pemilu atau tidak," katanya.
Ia menegaskan jajaran Bawaslu dan Kemenkominfo berkomitmen akan terus berusaha meredam penyebaran hoaks lewat media sosial.
Kasubdit Cyber Bareskrim Polri Kombes Pol Dani Kustoni menambahkan penyebaran hoaks menjelang pemilu mengadopsi teknik propaganda dari Rusia yakni "firehouse of falsehood" atau menyebarkan berita secara bertubi-tubi dengan frekuensi cukup besar.
"Kami melihat ada informasi yang disebar dengan frekuensi besar, setiap detik ada informasi yang disebar terus menerus," ujarnya.
Dani mengungkapkan kepolisian hanya mewaspadai terkait dengan konten hoaks yang berpotensi menimbulkan konflik yaitu informasi yang dinilai kerawanan konflik cukup tinggi dan ujaran kebencian menyerang pribadi peserta pemilu.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
"Total ada 127 akun media sosial yang sudah kami laporkan ke Kominfo dan 'platfom' yang ada di Indonesia agar segera ditindaklanjuti dengan melakukan 'take down'," kata Ketua Bawaslu RI Abhan Misbah usai seminar nasional bertema "Penegakan Hukum Terhadap Penyebar Berita Hoaks Menghadapi Pemilu 2019" di Wisma Perdamaian, Semarang, Rabu.
Ia menyebutkan kemajuan teknologi komunikasi saat ini membuat semua informasi dapat dengan mudah diterima masyarakat, salah satunya melalui media sosial yang turut menyumbang penyebaran informasi dan diantaranya adalah hoaks.
Berdasarkan data dari Masyarakat Antifitnah Indonesia, selama periode 2015-2018, tren penyebaran hoaks melalui media sosial mengalami peningkatan.
Hingga semester dua 2018 saja, setidaknya ada 997 konten berisi hoaks dan juga ujaran kebencian, sedangkan media sosial yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan konten hoaks adalah Facebook yang mencapai 47,3 persen.
Abhan mengibaratkan media sosial sebagai pedang bermata dua yang memiliki dua sisi positif dan negatif.
Jika dimanfaatkan secara benar, lanjut dia, maka akan memberikan nilai positif, namun jika dipakai untuk hal negatif akan menimbulkan kerugian bagi sejumlah pihak.
"Media sosial sebenarnya sangat efektif di dalam mempengaruhi massa, baik itu hal positif maupun negatif," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa Kemenkominfo mempunyai sistem yang bisa memetakan akun-akun disinformasi dan bersifat hoaks terkait dengan pelaporan 127 akun media sosial penyebar hoaks.
"Dari Kominfo kemudian diberikan ke kami, apakah masuk kategori pidana pemilu atau tidak," katanya.
Ia menegaskan jajaran Bawaslu dan Kemenkominfo berkomitmen akan terus berusaha meredam penyebaran hoaks lewat media sosial.
Kasubdit Cyber Bareskrim Polri Kombes Pol Dani Kustoni menambahkan penyebaran hoaks menjelang pemilu mengadopsi teknik propaganda dari Rusia yakni "firehouse of falsehood" atau menyebarkan berita secara bertubi-tubi dengan frekuensi cukup besar.
"Kami melihat ada informasi yang disebar dengan frekuensi besar, setiap detik ada informasi yang disebar terus menerus," ujarnya.
Dani mengungkapkan kepolisian hanya mewaspadai terkait dengan konten hoaks yang berpotensi menimbulkan konflik yaitu informasi yang dinilai kerawanan konflik cukup tinggi dan ujaran kebencian menyerang pribadi peserta pemilu.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019