Rokok elektronik seperti Vape dan produk tembakau lainnya ternyata menurut pengamat tidak berbeda dengan rokok konvensional.

"Pemerintah harus membatasi, bahkan melarang, penggunaannya sebagai bentuk upaya perlindungan negara terhadap warganya," kata Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau Ifdhal Kasim melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.

Ifdhal mengatakan negara harus melindungi hak asasi warga negara untuk dapat hidup sehat dan terhindar dari dampak buruk produk yang mengandung zat adiktif.

Dalam diskusi Polemik Rokok Elektronik atau Vape di Indonesia yang diadakan Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau di Jakarta, Kamis (14/3), dikatakan Vape tidak lebih sehat dan aman dibandingkan rokok konvensional.

"Klaim bahwa Vape lebih sehat dan aman sebenarnya tidak tepat. Sebagian besar produk Vape mengandung nikotin sehingga memiliki efek adiktif atau candu bagi penggunanya," kata perwakilan Subdirektorat Pengawasan Produk Tembakau Badan Pengawas Obat dan Makanan Iswandi.

Iswandi mengatakan karena tergolong produk adiktif, sudah ada 98 negara membuat regulasi produk Vape, mulai dari pemasaran, penggunaan serta periklanan, promosi dan pensponsoran.

Ketika rokok konvensional masih menjadi masalah, terbukti dengan peningkatan jumlah perokok pemula usia 10 tahun hingga 18 tahun terus meningkat, Vape muncul menjadi masalah baru.

Riset Kesehatan Dasar 2018 menyatakan angka prevalensi perokok usia 10 tahun hingga 18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen dari 7,3 persen pada 2013.

Padahal, sasaran dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019 adalah penurunan prevalensi perokok usia muda menjadi 5,6 persen.

Meskipun sudah menjadi konsumsi masyarakat dan digunakan berbagai kalangan, Indonesia masih belum memiliki peraturan yang jelas tentang Vape.
 

Pewarta: Antara

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019