Jakarta (Antaranews Sumut) - Ahli gizi Dr. Rita Ramayulis, DCN, M.Kes mengatakan kasus obesitas seperti yang terjadi pada Titi Wati, perempuan berbobot 220 kilogram asal Palangka Raya, Kalimantan Tengah, tidak terjadi secara instan, tapi butuh waktu bertahun-tahun akibat dari kebiasaan makan dan pola hidup yang tidak sehat.
"Menjadi gemuk tidak ada yang instan. Tidak ada orang yang tiba-tiba gemuk dalam hitungan hari atau minggu. Jadi orang gemuk itu sedikit demi sedikit tanpa dia sadari. Kasus (Titi Wati) ini sudah bukan lagi masalah diet tapi sudah gangguan organ dan memang harus ditangani secara medis," kata Rita saat dihubungi Antara di Jakarta pada Minggu.
Ketua Asosiasi Sport Nutritionist Association (ISNA) itu mengatakan kebiasaan ngemil bisa menjadi faktor utama seseorang menjadi obesitas. Apalagi jika camilan terdiri dari minuman manis dan makanan yang berminyak.
"Alasannya, minuman manis itu kan kadar gulanya tinggi dan densitasnya tinggi. Coba kalau minum teh manis dengan gula dua sendok, itu tidak akan meninggalkan bekas di lambung tapi energinya bisa mencapai 100 kilo kalori, dibadingkan kalau kita makan timun 100 gram, masuk lambung dan lambung kita penuh, kenyang tapi energi nol karena densitas rendah," katanya.
Jadi, saat orang mengkonsumsi camilan yang lebih banyak mengandung gula tanpa melakukan gerakan tubuh yang bisa membakar kalori sesuai asupan energi maka orang tersebut bisa obesitas karena tumpukan lemak.
"Gula kalau tak terpakai pada akhirnya bisa berubah jadi jaringan lemak, tentunya lewat serangkaian tahapan. Jaringan lemak itu bisa menumpuk di bawah kulit (lemak subkutan), di lingkar pinggang (lemak sentral) dan lemak pada sekitar organ dalam perut (visceral). Ketika orang punya lemak yang berlebih dan tidak diperlukan tubuh maka akan mengganggu metabolisme dan mempengaruhi kerja hormon," katanya.
Oleh sebab itu, dalam kasus Titi Wati, Rita mengatakan sudah perlu penanganan medis karena lemak di tubuh sudah mengganggu metabolisme.
"Ngemil" dengan pemahaman Lebih lanjut Rita mengatakan makan harus disertai dengan pemahaman, termasuk saat menentukan camilan yang ingin dikonsumsi.
"Makan itu butuh pemahaman. Masalah gizi timbul saat orang tak paham dengan makanan. Begitu juga dengan camilan. Camilan pada dasarnya adalah mengkonsumsi makanan di antara makanan utama. Yang berbahaya dari ngemil adalah kepadatan energi yang ada di dalam makanan, semakin tinggi semakin bahaya."
Rita mengatakan sebaiknya camilan melengkapi gizi yang belum sempat dikonsumsi pada makanan utama.
Misalnya sarapan kita buru-buru jadi cuma makan yang banyak karbohidrat dan protein, maka camilan yang kita pilih setelah sarapan sebaiknya kaya sayur dan buah.
Tapi ada orang-orang tertentu yang menganggap cemilan sebagai cara menyenangkan senangkan dan supaya kita punya aktivitas, kalau seperti ini maka pilih makanan yang harus dikunyah berkali-kali misalnya kacang, tapi jangan kacang yang digoreng, pilih kacang yang direbus.
Jadi kesimpulannya adalah pilih camilan yang kandungan gulanya rendah dan tidak diproses dengan cara digoreng. Utamakan yang jenisnya protein, buah dan sayur bukan karbohidrat dan tepung.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
"Menjadi gemuk tidak ada yang instan. Tidak ada orang yang tiba-tiba gemuk dalam hitungan hari atau minggu. Jadi orang gemuk itu sedikit demi sedikit tanpa dia sadari. Kasus (Titi Wati) ini sudah bukan lagi masalah diet tapi sudah gangguan organ dan memang harus ditangani secara medis," kata Rita saat dihubungi Antara di Jakarta pada Minggu.
Ketua Asosiasi Sport Nutritionist Association (ISNA) itu mengatakan kebiasaan ngemil bisa menjadi faktor utama seseorang menjadi obesitas. Apalagi jika camilan terdiri dari minuman manis dan makanan yang berminyak.
"Alasannya, minuman manis itu kan kadar gulanya tinggi dan densitasnya tinggi. Coba kalau minum teh manis dengan gula dua sendok, itu tidak akan meninggalkan bekas di lambung tapi energinya bisa mencapai 100 kilo kalori, dibadingkan kalau kita makan timun 100 gram, masuk lambung dan lambung kita penuh, kenyang tapi energi nol karena densitas rendah," katanya.
Jadi, saat orang mengkonsumsi camilan yang lebih banyak mengandung gula tanpa melakukan gerakan tubuh yang bisa membakar kalori sesuai asupan energi maka orang tersebut bisa obesitas karena tumpukan lemak.
"Gula kalau tak terpakai pada akhirnya bisa berubah jadi jaringan lemak, tentunya lewat serangkaian tahapan. Jaringan lemak itu bisa menumpuk di bawah kulit (lemak subkutan), di lingkar pinggang (lemak sentral) dan lemak pada sekitar organ dalam perut (visceral). Ketika orang punya lemak yang berlebih dan tidak diperlukan tubuh maka akan mengganggu metabolisme dan mempengaruhi kerja hormon," katanya.
Oleh sebab itu, dalam kasus Titi Wati, Rita mengatakan sudah perlu penanganan medis karena lemak di tubuh sudah mengganggu metabolisme.
"Ngemil" dengan pemahaman Lebih lanjut Rita mengatakan makan harus disertai dengan pemahaman, termasuk saat menentukan camilan yang ingin dikonsumsi.
"Makan itu butuh pemahaman. Masalah gizi timbul saat orang tak paham dengan makanan. Begitu juga dengan camilan. Camilan pada dasarnya adalah mengkonsumsi makanan di antara makanan utama. Yang berbahaya dari ngemil adalah kepadatan energi yang ada di dalam makanan, semakin tinggi semakin bahaya."
Rita mengatakan sebaiknya camilan melengkapi gizi yang belum sempat dikonsumsi pada makanan utama.
Misalnya sarapan kita buru-buru jadi cuma makan yang banyak karbohidrat dan protein, maka camilan yang kita pilih setelah sarapan sebaiknya kaya sayur dan buah.
Tapi ada orang-orang tertentu yang menganggap cemilan sebagai cara menyenangkan senangkan dan supaya kita punya aktivitas, kalau seperti ini maka pilih makanan yang harus dikunyah berkali-kali misalnya kacang, tapi jangan kacang yang digoreng, pilih kacang yang direbus.
Jadi kesimpulannya adalah pilih camilan yang kandungan gulanya rendah dan tidak diproses dengan cara digoreng. Utamakan yang jenisnya protein, buah dan sayur bukan karbohidrat dan tepung.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019