Tanjungbalai, (Antaranews Sumut)  - Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudji Astuti diminta meninjau ulang Permen Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkap Ikan, karena tidak sesuai dengan kondisi perairan pantai timur Sumatera.
         
Hal ini terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) nelayan, Komisi B DPRD Tanjungbalai, Syahbandar Perikanan, PSDKP dan Polair Tanjungbalai terkait aksi unjuk rasa ratusan nelayan kerang, Rabu, di gedung DPRD setempat.
           
Dalam RDP itu, perwakilan nelayan Syarifuddin Harahap mengungkapkan bahwa telah terjadi pengaplingan laut oleh kelompok nelayan gurita warga Silo Laut Kabupaten Asahan dengan memasang tiang pancang sejauh 4 mil dari bibir pantai.
           
Selain itu, alat tangkap gurita milik nelayan warga Silo Laut dibiarkan berbulan-bulan bahkan tahunan berada di dalam laut sehingga membuat nelayan kerang warga Tanjungbalai tidak bisa berusaha dan terancam kelaparan.
           
"Terhadap masalah ini sudah pernah terjadi pertikaian antarnelayan warga Asahan dan Tanjungbalai. Bentrokan terjadi dengan dalih alat tangkap atau tank kerang dilarang Permen 71 tersebut," ungkap Syafaruddin Harahap.
           
Senada disampaikan Ryanda Pratama, pemasangan tiang pancang dengan maksud sebagai batas zona penangkapan dinilai sangat merugikan sedikitnya 1.200 orang warga Tanjungbalai yang bekerja sebagai nelayan kerang untuk mengihidupi keluarga.
           
Agar tidak menjadi polemik berkepanjangan dan mencegah konflik antarsesama nelayan, maka pemerintah diminta untuk memberikan kepastian hukum sebagai bentuk keadilan terhadap kelangsungan hidup nelayan kerang.
           
"Demi kelangsungan hidup anak, istri dan keluarga kami, institusi berwenang diharapkan meninjau ulang Permen tersebut dan memberikan jaminan keamanan kepada nelayan kerang yang saat ini terancam keselamatannya oleh kelompok nelayan gurita warga Asahan," ujarnya.

Baca juga: Ratusan nelayan kerang unjuk rasa
           
Menanggapi aspirasi dan keluhan nelayan, berbagai tanggapan muncul baik dari DPRD maupun institusi terkait seperti PSDKP, Polair dan Syahbandar Perikanan yang intinya masalah tersebut hanya bisa diselesaikan dengan melakukan revisi peraturan atau menerapkan kearifan lokal.
         
Menurut anggota dewan Suhibbon Sinaga, Kepmen Kelautan 71 tidak sesuai dengan geografis perairan selat seperti di pantai timur Sumatera sehingga perlu direvisi. Laut adalah milik NKRI, tidak satu pihak pun bisa mengklaim milik Asahan mau pun Tanjungbalai.
           
Anggota dewan M.Nur Harahap mengatakan, pertikaian antarnelayan itu bisa selesai jika pemerintah daerah Kabupaten Asahan dan Kota Tanjungbalai duduk bersama membahas sekaligus mencarikan solusi untuk menghentikan polemik tersebut.
           
"Masalah ini terkait sosial masyarakat, demi mencegah konflik sosial antarsesama nelayan, kedua pemerintah daerah dan instansi vertikal serta pihak keamanan harus sepakat membuat kearifan lokal," ujar M.Nur Harahap politisi Golkar itu.
         
 Pihak PSDKP bersikukuh sebagai institusi pemerintah yang bekerja sesuai peraturan sebagai hukum yang berlaku. Sedangkan memberikan jaminan keamanan bagi nelayan bukan tugas atau tanggung jawab PSDKP.
           
Sementara itu, pihak Polair Tanjungbalai menyatakan tetap melakukan pengawasan untuk memberikan rasa aman kepada nelayan.*

Pewarta: Yan Aswika

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018