Panyabungan (Antaranews Sumut) - Drama Panjait Bendera (Penjahit Bendera) yang dipentaskan oleh Sanggar Samisara pada Pekan Raya Sumatera Utara pada Selasa (27/3) yang lalu di Medan mampu menghipnotis para penonton yang hadir pada malam seni budaya Kabupaten Mandailing Natal itu. 

Drama yang diperankan oleh Kurniawan Sandi, Ismi dan 12 pemeran lainnya ini lebih banyak bercerita tentang komtemplasi atas sebuah bendera. Bahwa bendera itu bukan sekedar gabungan warna merah dan putih tetapi idiom-idiom tentang kerdekaan. 

"Bendera bukan sekedar gabungan warna merah dan putih, tetapi juga idiom-idom tentang kemerdekaan," kata Askolani Nasution yang merupakan penulis naskah pada drama itu menjawab ANTARA, kamis. 

Ia mengatakan, mereka yang bekerja setiap hari sebagai penjahit bendera merah putih, acap kali luput dari perhatian. Dimana selama ini manusia sering berpikir tentang hal-hal besar yang sifatnya kosmopolit, tapi acapkali mengabaikan orang-orang kecil yang berjuang menumbuhkan harga diri dan nasionalisme bangsa sendiri. 

"Bayangkan saja, penjait bendera yang upahnya hanya sepuluh ribu rupiah permeter, upah termurah dari seluruh sektor jasa yang ada di Indonesia," katanya. 

Ia membandingkan upah pemecah batu jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan upah seorang penjait bendera. Namun para penjait ini tetap bertahan dengan pekerjaan itu. Karena mereka menumbuhkan nasionalisme, bukan sekedar penghasilan.

"Itu pesan yang diusung melalui drama Panjait Mandera ini," ujarnya. 

Naskah yang ditulis oleh Askolani Nasution dan disutradarai oleh Ali Fikri Pulungan ini, memang diniatkan bukan sekedar sajian hiburan dagelan di acara Malam Pesona Mandailing Natal pada PRSU saja, tetapi diniatkan sebagai seni yang mencerdaskan dan melahirkan kontemplasi berpikir.

Sementara itu, Ketua Sanggar Samisara, Abdul Holik Nasution, menyebutkan, seni sepatutnya membuat orang semakin pintar dan sebuah drama memang bukan sekedar sarana menghibur penonton saja, akan tetapi sebuah seni, apa pun bentuknya harus berupaya menimbulkan renungan sosial dan kemanusiaan, menciptakan kontemplasi berpikir, menguji kembali nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada diri.

"Seperti mengukuhkan integritas kemanusiaan, memudahkan orang menerima dirinya dan orang lain, menenangkan orang menjalani hidup, dan seterusnya," sebut Holik. 

 

Pewarta: Holik

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018