Medan, 3/11 (Antara) - Koordinator Program PAN ECO-SOCP Yayasan Ekosistem Leuser, Gabriella Fredricson mengatakan, penemuan spesies orangutan itui awalnya di tahun 2011, saat peneliti dari Universitas di Swiss dan IPB melakukan peneltiian.

Hasil penelitian, kata dia, disebutkan genetika orangutan di Tapanuli lebih dekat dengan genetika orangutan di Kalimantan dibandingkan genetika orangutan di ekosistem Leuser.

Hasil peenlitian itu menjadi menarik karena Tapanuli, Sumut lebih dekat jaraknya dengan ekosistem yang ada di Leuser Aceh.

Untuk lebih memastikan hasil penelitian itu dilanjutkan dengan pengukuran morfologi yakni pengukuran tengkorak dan lainnya.

Hasil peneltian yang dilakukan Antoni Cahyo peneliti dari Universitas Canberra, Australia di tahun 2014 menghasilkan adanya perbedaan yang signifikan antara Orangutan Tapanuli itu dengan orangutan yang ada di Kalimantan maupun yang ada di Leuser Aceh.

Dari sisi ekologi, katanya, Orangutan Tapanuli juga memakan jenis tumbuhan yang belum pernah tercatat sebagai jenis pakan orangutan.

Gabriella menegaskan, dengan populasi yang minim mulai hanya 600 ekor yang tersebar di tiga blok barat di Tapanuli Utara, dan 150 ekor blok timur dan sedikit di Cagar Alam Sibualbuali, maka jumlah Orangutan Tapanuli dinilai sangat penting untuk dikembangkan.

Untuk memperbanyak Orangutan Tapanuli itu, maka, kata dia, yang harus dilakukan adalah harus disambungkan populasi orangutan yang terpisah akibat pertanian ataupun jalan dan lainnya.

"Di banyak negara sudah dibuat koridor untuk satwa seperti terowongan dan jembatan sehingga untuk jangka panjang di Indonesia seperti Tapanuli harus difikirkan,"katanya.

Mewakili Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Hotmauli Sianturi mengatakan,yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana ekosistem Orangutan Tapanuli itu dapat terjaga sehingga kawasan hutan lindung Batangtoru juga harus dilindungi.

Pewarta: Evalisa Siregar

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2017